11.20.2010

Would You Marry Me?

Pernikahan,....
Entah kenapa hal ini jadi pokok bahasan yg selalu menarik untuk gw komentari dengan berbagai kalimat-kalimat sinis gw. Dua insan berbeda jenis kelamin (pada tau lah negara kita ini agak-agak kurang liberal dalam membebaskan warga negaranya berhomo-ria) memadu kasih dan berkomitmen saling mengikat, meng-cover, menjaga, menyayangi dan apapun itu dalam sebuah ikatan dan fase hidup baru (yg menurut gw tampak amat horor) yg disebut "PERNIKAHAN". 

Oh man!!!
It's mean that... gw harus mantengin wajah lu yg gt2 doank tiap gw mau bobok dan lagi-lagi gw harus mendapati ada wajah lu disamping gw pas gw terjaga atau terbangun dari tidur gw. Itu sangat-SANGAT membosankan (bagi saya, khususnya) sodara-sodara. Belum lagi tar suatu saat gw jadi tau, kebiasan-kebiasaan buruk pasangan gw yg sebelumnya dapat ditutupinya dg sukses selama kita pacaran. Nah iya kalo kebiasaan buruknya remeh-temeh kayak suka ngupil tiap 5 menit sekali, atau kentut kemana-mana, atau bobok sambil ngigau, nah kalo dia punya kebiasaan ngeri semacam, nidurin gw sambil bawa-bawa pecut ama pisau main a la SM, atau hobi menghina-dina gw, atau apalah itu berbagai macam kebiasaan horor lainnya... 

APAKABAR MASA DEPAN INDAH GW???

Yg ada baru dapet 2 minggu nikah, besoknya jenasah gw udah ditemukan dalam kondisi tergantung di bawah kusen dengan kondisi setengah telanjang saking desperate-nya gw!!

OGAH!!!

Ralat...
"OGAH DULU DAH!"

Gw nikahnya ntar-ntar aja. Nunggu ada someone yg katanya Mr Right One yg bisa menjungkir-balik isi perut n kepala gw, yg kemudian membuat gw pada akhirnya bukan hanya mau untuk dinikahi, tapi nekat ngancem minta dinikahi karena takut kehilangan dia.
So pathetic sweet..

Sebenernya sih alasan gw ogah nikah banyak,...
salah satunya karena gw begitu sering melihat dengan mata kepala gw sendiri kekejaman di dlm dunia yg ditemui org-org dekat gw setelah mereka menikah dg sosok yg sungguh (pada awal dulu) mereka kagumi dan mereka banggakan lebih dari apapun. Gw jadi prihatin,... kemana perginya cinta yg melandasi pernikahan mereka ya?

Apa kabar nasib rancangan masa depan yg dulu mereka susun saat mereka (masih) saling jatuh cinta?

Gw juga suka ngeri kalau harus bayangin, gw melahirkan anak gw dengan kondisi suami gw suka lompat dari satu pelukan - ke pelukan lain, mencari debaran-debaran baru dr perempuan lain. Gw merasa gak sanggup harus menentang maut untuk melahirkan malaikat kecil gw tanpa ada suami gw disamping gw, genggam tangan gw erat-erat. Gw bakal sengsara, bahkan bisa-bisa gw malah dendam dengan malaikat kecil yg harusnya gw besarkan dia dengan penuh kasih sayang. 

Terlalu pelik masalah-masalah manusia masa kini...
Ada yg suaminya suka jajan di luar, ada yg istrinya  gak aware ma  keluarga, ada yg  suka  aborsi, ada yg suka obral romatisme... 

Sadar gak sih kita ini membuat hidup kita sendiri menemui karmanya??

Pernikahan idaman gw tu sangat mendekati kata "sempurna"

Sarapan dan dinner di satu meja yg sama
Salam awal hari yg manis
Pengertian
Pemahaman
Menghargai
Melengkapi
Cinta Kasih
Keseimbangan
Percaya dan kejujuran

...sejumlah hal yg menurut manusia masa kini (lagi) sangat AMAT susah untuk diberikan pada sosok (yg katanya) mereka cintai.

Karena simpelnya, cinta itu lebih kepada bagaimana kita memberi...
yg kemudian bergeser makna menjadi, Bagaimana kamu bisa memberi...

menyedihkan...

11.05.2010

Selangkah Menuju "Sembuh"

Hari ini gw sedang merenungi satu kata

"Bersyukur"

Kata ortu gw, gw ni kurang bersyukur. Kata temen-temen gw, ge ni kadang lupa bersyukur. Selama ini gw merasa gw adalah sosok "victim" nasib. Dimana gw selalu merasa terpojok dalam segala kondisi dan gw harus menderita seorang diri.

Setelah gw renungi lagi...
Kesalahan gw mayan fatal...
"gw merasa demikian karena emang selama ini gw nggak pernah menyadari dan mensyukuri apapun yg sudah gw dapet"


Gw punya cowok yg udah setia ama gw, eh gw putusin karena cuman ngelihat sisi kekurangan dia yg memang membuat gw nggak nyaman untuk beberapa saat.

Gw punya badan bagus kondisinya, eh malah gw rusak pake nikotin dan cafein berlebihan, trus gw memperdosakan nasib gw yg membuat gw terus ngerasa stress  all day long , all the time, yg kemudian ngebuat gw merasa perlu  "bantuan" dari kedua zat tengik itu.

Gw marah sama Mummy gw yang perfeksionis gila-gilaan dan selalu menuntut, gw marah dan gw minggat dari rumah, tanpa gw sadari di sisi lain, bahwa gw kurang bersyukur gw masih punya sosok seorang ibu yang masih mengakui gw sebagai anak sulungnya yang paling pinter.

Gw selalu sirik liat temen-temen gw yg suka pamer perna keliling negara, sedangkan gw mentok2 cuman Bali ato Jogja. Disitu gw sadar gw kurang bersyukur walaupun di Bali atau Jogja gw menikmati moment itu dengan suasana hangat kekeluargaan. Hal yg lebih berharga yg seharusnya lebih patut gw banggakan ketimbang muter-muter di negeri orang pake bahasa internasional yg kadang membuat lidah gw keseleo bahkan salah urat saking pegel melafalkannya dg cara yg "seharusnya" benar.

Banyak lagi. Banyak banget malah. Bersyukur emang susah.

Yeah!!! Everything is too hard to do...tapi tetep aja, dengan mudah kita bisa mengatakannya dengan cara yg paling bijak. Sumpah topeng banget!

Gw jadi inget ma temen kost gw. Seorang cewek katolik yg bener-bener menjadi inspirasi gw untuk beberapa saat belakangan ini. Pertama, dia tu bisa banget ngebuat lawan bicaranya merasa nyaman dengan apapun yg akan kami bicarakan nanti. Kedua, dia selalu sukses buat orang lain menjadi back to the "Mood" setelah terguncang jiwanya. ketiga, gw sedang terpesona dg caranya mensyukuri segala hal yg sedang dimilikinya. Hal yg paling susah gw lakukan. Dikit-dikit bunyi "puji tuhaaaannn" dengan ekspresi hangat yg bener-bener menggambarkan rasa syukurnya yg tulus, bahkan sampe muncul tulisan gede di jidatnya yg mulus "beneran ini gw bersyukuuur banget"  

Lu gimana? 
Lu udah mensyukuri apapun yg melekat pada diri lu?

11.03.2010

Physical Abuse

Kekerasan fisik mengacu pada luka yang dengan sengaja dikenakan atau usaha- usaha yang dengan sengaja pula untuk meracuni seorang anak. Kekerasan fisik biasanya intrafamilial dan mungkin terjadi secara tunggal maupun diikuti dengan kekerasan seksual, pengabaian ataupun kekerasan emosional. Sejumlah studi menemukan bahwa terdapat level yang tinggi dari komorbiditas antara physical abuse dan neglect (Belsky, 1993). Ini mungkin disebabkan oleh suatu faktor resiko kontekstual umum yang diasosiasikan dengan kedua tipe dalam maltreatment.

EPIDEMOLOGY

Estimasi dari prevalensi atas kekerasan fisik pada anak-anak tergantung pada definisi yang digunakannya. Sejumlah toleransi pada definisi tersebut, insiden yang lebih besar. Jika semua kasus mengenai hukuman jasmani telah diklasifikasi, maka insidennya lebih dari 60% (Gelles, 1987). Jika hanya luka-luka serius saja yang diidentifikasi oleh departemen kecelakaan dimasukkan, maka figure tersebut akan menjadi di bawah 1%. Gelles (1987) menemukan bahwa suatu kecelakaan tahunan nasional sebesar 10,7% di US untuk definisi physical abuse yang dikeluarkan secara rutin oleh hukuman jasmani.

EFFECTS
Kekerasan fisik pada anak memiliki konsekwensi fisik dan psikologis dalam jangka waktu pendek maupun panjang (Lynch and Roberts, 1982; Ciccheti and Toth, 1995; Malinosky-Rummell an Hansen, 1993). Konsekwensi fisik dari abuse termasuk ketakutan, disfigurement, kerusakan neurologis, kerusakan visual atau auditoris dan kegagalan dalam tahap perkembangan. Ketika sejumlah besar efek tersebut menipis seiring waktu, maka sebagian besar akan tetap berlaku ketika memasuki usia dewasa.
Konsekwensi psikologis jangka panjang termasuk, negative self-evaluative beliefs, problem dengan perkembangan bahasa dan kompetisi kognitif, problem dengan affect regulation, dan kelebihan yang dihubungkan dengan masalah perilaku internal dan eksternal dan kesulitan membentuk suatu relasi (hubungan).

Negative self-evaluative beliefs termasuk harga diri rendah, dan self efficacy yang rendah. Penurunan kognitif dan bahasa termasuk perkembangan yang tertunda kemunculannya dalam sejumlah kemampuan dan penggunaan bahasa; pencapaian akademis yang rendah; dan level yang rendah dalam permainan simbolik. Kesulitan Affect regulation menemukan ekspresi dalam eksternalisasi masalah prilaku seperti kemarahan yang tidak terkontrol dan agresi. Masalah affect regulation juga ditemukan pada ekspresi dalam internalisasi permasalahan perilaku seperti depresi, anxiety, sangat memenuhi perilaku dalam menghadapi autoritas dan self-harm. 

Kesulitan membangun hubungan (Relationship Difficulties), mungkin berhubungan dengan perkembangan dari korban kekerasan internal working model dari hubungan dengan care-giver, merupakan awal yang jelas dalam penyiksaan anak yang bersifat anxious-avoidant atau kedekatan yang tidak diorganisasikan pada care-giver terdekat mereka. Sejumlah besar anak dan remaja yang kabur dari rumah pernah mengalami kekerasan fisik. Akhir-akhir ini, kesulitan untuk membangun hubungan terjadi dengan peers. Externalising behavior problem meliputi kenakalan remaja, agresi, kejahatan domestic, child abuse dan substance abuse. Internalising behavior problems meliputi self-injury, bunuh diri, anxiety, depresi dan somatisasi. Kesulitan penyesuaian jangka panjang dalam membuat dan memelihara hubungan yang intim juga merupakan suatu hasil yang mungkin untuk individu yang disiksa, semisal anak-anak.Penundaaan kognitif dan bahasa dalam jangka panjang yang dialami sejumlah anak anak korban abuse mengawali dalam suatu kasus pada pendidikan jangka panjang dan vocational problems.

ASSESSMENT

Terdapat sejumlah prosedur yang pasti atau kriteria untuk mendiagnosis atau memvalidasi kasus-kasus physical child abuse. Petunjuk-petunjuk bertukar dari satu negara ke negara lain. Bagaimanapun juga bentuk checklist berisi sejumlah aitem yang meningkatkan kecurigaan terhadap physical child abuse. Jika kekerasan fisik pada anak dicurigai telah terjadi, penting untuk meminta persetujuan dari orang tua untuk menyususun tes kesehatan penuh dari anak seketika itu juga dan meminta ijin untuk menghubungi agensi yang terlibat. Jika tes medis memberikan alasan-alasan yang serius untuk mencurigai adanya abuse atau keluarga menolak untuk memberi  ijin mengikuti tes kesehatan menyeluruh, fokus utama bisa dengan mengamankan dengan segera anak yang bersangkutan pada Rumah Sakit atau menempatkannya dalam perhatian subtitutif. Prosedur ini akan memerlukan psikolog untuk mengikuti petunjuk local untuk bertindak sebagai penghubung dengan departemen pelayanan sosial dan pelayanan pediatric medis. 

Pada tahap ini, dimana suatu kebijakan atau perundang-undangan menuntut kewajiban melaporkan kasus child abuse pada agensi hukum local, sementara laporan harus dibuat. Hal ini dapat menghasilkan dalam penelitian polisi yang mengawali untuk menjadi tuntutan melawan orang tua yang melakukan abuse.         
Hal ini biasanya menurut undang-undang tanggung jawab dari Departemen Pelayanan Sosial untuk menyusun konferensi kasus dan merencanakan asesmen yang komperhensif mengenai kasus tersebut dengan pandangan perencanaan jangka panjang.

Di beberapa daerah, ini hanya pada tahap itu saja yang dapat melibatkan psikolog klinis. Psikolog klinis mungkin diminta untuk berkontribusi pada assessment dari faktor resiko dalam kasus tersebut, dan untuk menasehati atau berkontribusi pada suatu program yang bertujuan untuk mengurangi resiko abuse yang lebih lanjut ketika anak dikembalikan pada pengawasan orang tua.  Dalam dua area ini psikolog klinis dapat membuat suatu kontribusi yang signifikan untuk mengatur kasus mengenai kekerasan fisik pada anak-anak.

Checklist dari aitem-aiten yang menunjukkan suspect dari
kekerasan fisik pada anak

Locus (tempat)    Aitem       Injury   
·1    Sejumlah tanda memar dan retak pada bayi kurang dari 1 tahun
·2    Berbagai macam luka pada tahap-tahap variasi dari resolusi
·3    Memar dengan pola jari, ikatan tali atau cubitan
·4    Sundutan rokok
·5    Luka siraman air panas
·6    Tanda gigitan
·7    Tanda botak dari rambut yang telah ditarik
·8    Luka pada tulang panjang, seperti retak karena pilinan
·9    Luka di kepala dari pemukulan atau menggoncang kepala atau punggung
·10    Cambukan
·11    Mata menghitam
·12    meracuni   
     
Previuos Injuries    
·13    Sejarah dalam luka yang terulang-ulang
·14    Sejarah berkunjung pada sejumlah RS yg berbeda untuk luka-luka anak       
 
Account of the recent injury    
·15    Anak menyatakan bahwa orang tuanya dengan sengaja melukainya
·16    Ortu memberi tanggung jawab yang samar dari sebuah kecelakaan yang menyebabkan luka
·17    Orangtua menyalahkan pihak ketiga (baby sitter)
·18    Ortu menyatakan luka disebabkan oleh diri anak sendiri      
 
Parent’s relationship with assessment team    
·19    Penundaan dalam mencari-cari bantuan
·20    Lebih besar perhatian pada diri ortu sendiri daripada pada anak
·21    Defensive tanggung jawabnya dari luka yang di derita anak
·22    Keinginan untuk segera pergi sebelum assessment lengkap
·23    Menolak member ijin tim untuk menghubungi agensi lain yang terlibat dalam kasusnya
·24    Permasaalahan co-operatif dengan tim assessment dan menolak untuk member informasi      
Supporting Evidence   
·25    Anak menunjukkan suatu kemampuan untuk mencirikan fakta dari fantasinya
·26    Terdapat sejumlah saksi dari perilaku abuse yang nyata
·27    Anak memiliki karakteristik personal yang menempatkannya pada resiko untuk mengalami kekerasan fisik   

 
Wilayah-wilayah dimana seorang psikolog klinis dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan untuk mengatur dan mengelolah kasus-kasus kekerasan fisik pada anak. Seperti risk assessments dan risk-reduction programmes kemungkinan dapat didasarkan melalui proses evaluasi pada anak, keluarga, guru, dan juga dalam konteks sistem sosial yang lebih luas dimana kekerasan pada anak itu terjadi (Reder and Lucey, 1995). Hal ini sangat berguna melalui wawancara untuk mendapatkan gambaran tentang insiden kekerasan, yang dengan itu dapat memahami factor-faktor pembentuk kekerasan. Seperti memahami implikasi yang jelas untuk dilakukan treatment dan tindakan preventif untuk kekerasan yang belum terjadi. Sebagai tambahan untuk proses evaluasi yang lebih mendetail, hal ini juga sangat berguna untuk membentuk sebuah proses evaluasi lebih luas dalam mengetahui resiko dan faktor-faktor protektif berkaitan dengan kekerasan fisik pada anak.

MEREKA ULANG PERISTIWA KEKERASAN

Sebuah bagian penting dari assessment yang komprehensif mengenai kasus-kasus dimana kekerasan pada anak terjadi adalah mereka ulang bagaimana peristiwa itu terjadi.  Untuk membantu proses assessment, sebuah model percontohan dari bagaimana rangkaian tindakan kekerasan itu dapat terjadi telah dicantumkan pada bagan 19.1. Model tersebut disusun berdasarkan pengembangan empiris dari literature (frude, 1990). Saat-saat kekerasan paling sering terjadi dalam respon menuju perilaku pemicu oleh anak dimana pengalaman orang tua dinilai sebagai tindakan aversif. Hasil survey menunjukkan perilaku pemicu yang sering terjadi adalah:
  1. Menangis
  2. Mengompol
  3. Menolak makan
  4. Mencuri
  5. Berbohong
  6. Agresi
Tindakan kekerasan yang paling banyak adalah pertentangan kedisiplinan antara anak dan orang tua, dimana orang tua menggunakan hukuman fisik atas perilaku pemicu yang dimunculkan anak. Orang tua bermaksud menghukum anak atas kesalahan yang dilakukan, dan senantiasa menggunakan hukuman fisik sejak tipikal hukuman seperti ini menjadi metode kedisiplinan para orang tua. Bagaimanapun juga, hukuman itu menjadi keras atau berat disebabkan tingkat emosional atau kemarahan yang tinggi dan juga kekurang mampuan untuk menahan diri. Tingkat kemarahan tinggi yang mengakibatkan tindakan kekerasan orang tua dipengaruhi oleh tingginya dorongan dan penilaian orang tua atas perilaku pemicu yang dimunculkan oleh anak. Jika dorongan atau kemarahan orang tua tinggi sebelum perilaku pemicu muncul, hal tersebut kemudian dapat dilimpahkan pada anak.

    Orang tua yang mengalami konflik rumah tangga atau terlibat dalam situasi pekerjaan yang stressful, baik keluarga atau komunitas dapat melimpahkan dorongan dan kemarahan mereka ke dalam sebuah bentuk hukuman pada anak. Dalam situasi lain, ketika orang tua terlibat dalam pengulangan, atau siklus eskalasi dari stress yang ditimbulkan konflik dengan anak, perilaku pemicu mungkin menjadi akhir dari pola interaksi yang negatif.

    Sebelum menuju ke tindakan kekerasan, orang tua biasanya menilai perilaku anak mereka secara parsial dan cenderung negatif, dan penilaian ini mendorong pada tingkat kemarahan yang lebih tinggi. Biasanya, seperti penilaian termasuk unsure balas dendam, negatif, global, serta intensi stabil kepada anak sebagai sebuah motivasi untuk perilaku pemicu anak.  Orang tua yang secara fisik melakukan kekerasan pada anak mereka gagal untuk menahan bentuk kemarahan ekstrim yang mereka alami dalam merespon perilaku pemicu anak mereka. Orang tua yang tidak melakukan tindakan kekerasan pada anak mereka, memiliki rasa empati atas posisi anak  atau menggunakan metode self-talk untuk mengontrol emosi mereka. Orang tua yang melakukan kekerasan pada anak mereka mempunyai kesulitan untuk berempati pada anak dan mungkin menggunakan self-talk untuk meningkatkan penilaian negatif mereka dan oleh karena itu kemarahan mereka juga meningkat. Peningkatan intensitas kekerasan dari hukuman fisik dimana melatarbelakangi tindakan kekerasan mungkin dapat mengurangi kepekaan akan bahaya yang ditimbulkan dari tindakannya.
 
    Secara alami, tindakan kekerasan juga dipengaruhi oleh bentuk hukuman yang diterima oleh orang tua ketika masih anak-anak; tipikal model hukuman yang digunakan orang tua dengan anaknya; atau alasan orang tua menghukum anak. Tindakan kekerasan yang dilakukan seringkali memiliki kesamaan dengan yang dialami orang tua ketika masih menjadi anak. Kesamaan mungkin muncul dari pola hubungan agresif sebagai model kerja dari care-giving relationship yang diinternalisasi, dan kemudian lebih banyak memunculkan peran sebagai aggressor daripada korban. Tindakan kekerasan yang biasanya dilakukan seperti memukulkan tongkat di tangan dimungkinkan dapat meningkat menjadi memukulkan tongkat di wajah. Secara alami  tindakan kekerasan dipengaruhi oleh alasan, dapat dibedakan berdasarkan 5 alasan berikut:
 
Instrumental                     : membungkam anak agar berhenti menangis
Simbolik/instrumental       : menyiram mulut anak karena berbohong atau mengumpat
Ucapan mengancam        : “aku akan menaruhmu di perapian”Balas dendam             : “kamu memukul dia, dan aku akan memukulmu, dan melihat bagaimana kamu merasakannya juga”
Mengambil kesempatan   : Orang tua menggunakan apa yang sedang dipegangnya atau disekitarnya

    Membantu orang tua untuk membangun sebuah model dari peristiwa kekerasan adalah sebuah forum yang sangat berguna yang dengan ini bisa untuk mengukur bagaimana orang tua bertanggung jawab atas kekerasan atau melanjutkan untuk menolak sebagai bentuk tanggung jawab.

RESIKO DAN FAKTOR-FAKTOR PROTEKTIF

 
    Meluaskan perekaan ulang dari tindakan kekerasan pada anak, cakupan yang lebih luas dari hipotesis mungkin timbul fitur-fitur particular dari anak, orang tua dan konteks sosial yang lebih luas yang berkontribusi pada resiko untuk kekerasan anak. Kekerasan fisik pada anak adalah bukan hasil dari satu factor resiko. Selebihnya, kekerasan terjadi ketika ada akumulasi dari factor-faktor resiko yang melebihi kapasitas pengaruh baik dari factor-faktor protektif dalam kasus (Carr, 1997; Belsky, 1993; Cicchetti and Toth, 1995). Resiko potensial dan faktor-faktor protektif dengan karakteristik, didiskusikan dalam seksi awal di efek dari kekerasan, mempengaruhi penyesuaian efek jangka pendek atau jangka panjang dari kekerasan fisik pada anak dan resiko dari pengulangan kekerasan. Berikut ini beberapa factor, yang masuk dalam kerangka kerja dalam  bagan 19.2, berdasarkan pengembangan empiris dari literature oleh Belsky (1995), Cicchetti dan Toth (1995), Kolko (1996), dan Osofsky (1995), sebagai diskusi dari factor-faktor berikut.

FAKTOR-FAKTOR PERSONAL ANAK

    Karakteristik personal pada anak mungkin menempatkan diri mereka pada resiko kekerasan dan penyesuaian masalah dalam jangka panjang. Anak yang secara fisik mengalami tindakan kekerasan rata-rata berusia muda (0-5 tahun) dan baik laki-laki atau perempuan sama-sama terepresentasikan. Hal ini berbeda dari kekerasan seksual, dimana perempuan yang berusia lebih dewasa lebih sering menjadi korban. Perbandingan dari anak yang mengalami tindakan kekerasan dan tidak menunujukkan bahwa atribut-atribut anak seringkali terasosiasikan dengan kekerasan. Tentu saja, beberapa studi tidak dapat mengidentifikasi secara langsung dari karakteristik anak, yang mana yang merupakan resiko dari kekerasan dan yang mana yang hasil dari kekerasan. Pemeriksaan atas faktor-faktor ini memunculkan dugaan bahwa beberapa karakteristik anak di bawah ini kemungkinan menjadi faktor-faktor munculnya kekerasan ketika menjadi tuntutan tambahan  pada orang tua mereka: ketidakdewasaan, berat badan kelahiran di bawah normal, hambatan perkembangan, penyakit berkala, kesulitan control emosi, perilaku agresif dan bertentangan.

    Anak-anak yang mengalami kekerasan pada umur yang sangat dini dan tidak mengalami kerusakan yang bersifat neurologis memiliki hasil yang lebih baik. Self-esteem yang tinggi, internal locus of control, self-efficacy yang tinggi, dan gaya tribut yang bersifat optimistik dapat menjadi faktor protektif personal yang penting. Faktor protektif personal penting yang lainnya untuk penyesuaian jangka panjang, termasuk defense mechanism yang matang dan fungsional coping strategies, faktanya kemampuan problem-solving yang baik dan merupakan kapasitas untuk membuat dan mengatur hubungan pertemanan.


PARENTAL FACTORS

    Karakteristik personal dari orang tua mungkin menempati urutan resiko melakukan kekerasan secara fisik (physically abusing) anak-anak. Orang tua muda nampaknya lebih nampak melakukan tindakan kekerasan dibandingkan dengan orang tua yang lebih tua. Ketika banyak studi melaporkan bahwa kekerasan fisik umumnya dilakukan oleh ibu, ayah kemungkinan lebih melakukan tindakan kekerasan pada anak-anak ketika fenomena dipelajari dari sudut pandang kesempatan.
 
    Orang tua dengan tingkah laku pro-aggressive nampak lebih melakukan tindakan kekerasan terhadap anak-anak. Mekanisme dari transmisi kemungkinan melibatkan kedua perkembangan dari karakteristik kepribadian tertentu yang membuat hal tersebut nampak bahwa agresi akan digunakan pada inteaksi care-giving yang penuh dengan stres, dan introjeksi dari model internal working  dalam hubungan care-giving yang melibatkan agresi. Jenis dari mekanisme pembelajaran mungkin melibatkan, termasuk modelling, feinforcement langsung dari tingkah laku agresif, coercion training, dan inconsistency training.
 
    Psychological disorder termasuk depresi, kepribadian borderline, dan penyalahgunaan obat-obatan, nampak lebih umum diantara para orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadp anak-anak mereka. Bagaimanapun juga, emosional regulasi yang rendah (yang membawa mereka menuju depresi, agresi, dan substance misuse) dan kemampuan empati yang rendah merupakan dua dari komponen terpenting dari boarder psychological disorder dari pandangan peningkatan resiko. Kemampuan empati yang rendah adalah merupakan fakta handicap bagi orang tua. Regulasi emosi yang rendah juga merupakan handicap, karena orang tua mungkin memiliki kesulitan dalam memprioritaskan kebutuhan untuk merespon anak mereka dalam meregulasi tingkat emosional anak-anak mereka.
 
    Penyesuaian pola asuh yang baik, yang berlawanan, adalah faktor protektif. Dimana, orang tua memiliki internal locus of control, self-efficacy yang tinggi, dan gaya tribut yang bersifat optimistik, mature defences, functional coping strategies, dan kapasitas untuk berempati dengan anak mereka, kemudian mereka menjadi sumber yang lebih baik untuk mengatur jumlah dari perhatian anak secara konstruktif.


PARENT-CHILD RELATIONSHIP FACTORS

Hubungan antara orang tua dan anak dalam kekersan fisik (physical abuse) berada dalam tipe konfliktual. Riset dalam attachment, sosial kognisi dan interaksi behavioural menawarkan sejumlah kegunaan klinis dalam hubungan konfliktual orang tua-anak. Banyak orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak mereka tidak memiliki sensitivitas pengalaman pengasuhan bagi kebutuhan-kebutuhan mereka, dan juga memiliki pengalaman bahwa orang tua merupakan dasar yang aman untuk mengekplorasi dunia.
 
    Kebiasaan orang tua yang keras terhadap anak mereka didahului oleh serangkaian kognitif negatif. Serangkaian kognitif ini membimbing orang tua yang keras memiliki standar tinggi yang tidak realistis dalam tingkah laku anak-anak mereka dan bias negatif dalam menilai anak mereka sehingga mereka menganggap banyak dari tingkah laku anak mereka sebagai sesuatu yang negatif. Orang tua yang melakukan tindakan kekerasan pada anak mereka dikontrol oleh punishment, bukan reinforcemen positif.


MARITAL FACTORS

    Konflik, ketidakstabilan, ketidak puasan, pola tingkah laku negatif, sistem kepercayaan yang negatif, dan lemahnya komunikasi serta kemampuan problem solving merupakan hal yang utama dari hubngan pernikaha yang menempatkan pemuda pada resiko child abus, reccurance abuse,dan kemudian abus-related adjusment problem. Konflik yang tidak terselesaikan merupakan suatu hal yang sangat biasa diantara orang tua yang melakukan tindakan kekerasan secara fisik pada anak-anak. Konflik menunjukkan ketidakstabilan secara struktur , yang ditandai dengan sejarah dari berbagai perpisahan dan tingkat komitmen yang rendah, yang mencerminkan hubungan ini. Kepuasan yang rendah merupakan hal lain yang terdapat dalam hubungan ini, karena orang tua sering merasa kesulitan untuk menemukan kebutuhan mereka masing-masing bagi sebuah tingkatan penerimaan yang intim dan ketidakjelasan distribusi kekuatan. Konflik tentang intimacy sering menunjuk pada perempuan dalam hubungan ini lebih kepada intimacy psikologis dan laki-laki lebih kepada intimacy fisik. Konflik tentang kekuatan dapat muncul dalam diskusi mengenai pembagian pekerjaan rumah tangga dan bagaimana menggunakan uang.


SOCIAL NETWORK FACTORS
 
Kebudayaan barat mentoleransi tingkatan yang tinggi dari kekerasan dalam media hiburan, olah raga, coporal punishment, dan penal system. Status sosio ekonomi yang rendah, kemiskinan, pengangguran, orang tua tunggal, dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan seluruh faktor bagi kekerasan terhadap anak. Status sosioekonomi yang rendah dapat membawa mereka untuk melakukan tindakan kekerasan karena hal ini berhubungan dengan keseluruhan stress hidup yang lebih besar dan sedikit sumber seperi program day-care, creches, dan nursery. Orang-orang dengan status sosioekonomi yang rendah mungkin memiliki perkembangan kemampuan verbal yang baik untuk penyelesaian konflik, dan hal ini mungkin membawa mereka untuk menggunakan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik. Alternatif ketiga adalah bahwa orang dengan status sosioekonomi yang rendah menyelenggarakan kepercayaan pengasuhan pro-aggressive yang melegitimasi hukuman fisik.


TREATMENT SYSTEM FACTORS

    Sejumlah hal dari treatment system, yang termasuk keluarga, treatment team, dan melibatkan profesional dan kelembagaan, mungkin menempatkan anak-anak di dalam resiko pengulangan kekerasan, respon yang rendah pada treatment, atau kesulitan penyesuaian abuse-related. Penolakan dari masalah-masalah keluarga; penolakan dari pelaku kekerasan untuk menerima tanggung  jawab dari kekerasan; penolakan dari formulasi treatmen dari tim; dan penolakan untuk berkooperasi dengan rencana treatmen dapat dilihat sebagai faktor-faktor resiko. Dimana terdapat sejumlah koordinasi diantara profesional yang terlibat, hal ini meningkatkan resiko kekerasan lebih jauh.
    
    Berlawanan dengan faktor-faktor resiko ini, jenis-jenis tertentu dari sistem treatmen mungkin dilihat sebagai seuatu perlindungan sejauh mana mereka mengurangi resiko dari kekeran yang lebih jauh, dan kemungkinan dari perubahan positif dalam lingkungan psikososial anak, yang kemudian untuk mengurangi resiko dari masalah abuse-related jangka panjang.


COMPERHENSIVE ASSESSMENT SCHEDULE

    Tujuan dalam pengaturan kasus dalam kekerasan fisik anak adalah untuk menyediakan lingkungan yang lebih aman, yang menunjang perkembangan dan kesempatan untuk menunjang hubungan dengan kedua orang tua, dengan gangguan minimum dan perubahan dalam lingkungan anak-anak, menyediakan penunjang seperti hubungan dengan orang tua tidak menempatkan anak-anak pada resiko kekerasan yang lebih jauh.
Assesment yang komprehensif harus meliputi seluruh faktor-faktor resiko dalam serangkaian model bersamaan dengan rekonstruksi dari kejadian yang bersifat kekerasan mengikuti serangkaian model sekuensial. Rekonstruksi dari kejadian yang bersifat kekerasan akan membantu menunjukkan faktor-faktor mana yang perlu dirubah dalam upaya untuk memberikan keamanan pada anak-anak untuk kembali dengan kedua orang tuanya. Secara ideal, assesmen yang komprehensif harus ditunjukkan oleh sebuah tim daripada seorang profesional tunggal, terhadap serangkaian sesi observasi dan wawancara.
 
    Jadwal ini berdasarkan pada sejumlah prinsip-prinsip. Pertama, hal ini mengasumsikan bahwa untuk menilai sejumlah faktor-faktor yang terlibat dalam kasus-kasus kekerasan pada anak, setiap anggota keluarga signifikan atau profesional yang terlibat dalam jaringan anak yang mengalami kekerasan harus diwawancarai untuk memberikan pandangan mereka tentang faktor resiko, kejadian kekerasan, dan bagaimana dia memberikan kontribusi untuk mencegah episode-episode kekerasan yang lebih jauh. Kedua, hal ini mengasumsikan bahwa spesialis medis atau assesment psikologis dari anak dan secara tertentu dari orang tua mungkin diperlukan. Ketiga, hal ini mengasumsikan bahwa hal ini diperlukan, dalam rangkan wawancara, dan mengobservasi interaksi antara anggota kunci dalam jaringan.

JUDGING TREATIBILITY

 
    Masalah dari treatibility dari kasus-kasus melibatkan perhatian khusus, karena ketersediaan bukti menyarankan bahwa tidak semua keluarga dimana kekerasan pada keluarga muncul dapat bermanfaat dari treatment. Serangakaian check list yang terdapat di dalam tabel menunjukkan serangakaian kerangka kerja dalam menilai kapasitas yang dimiliki keluarga untuk dicocokkan dengan treatment.hal ini didasarkan pada literatur evaluasi efficacy dari program rehabilitasi di area ini. Dimana orang tua bertanggung jawab atas tindakan kekerasan, peduli dalam memnemukan kebutuhan anak, dan peduli untuk meningkatkan well-being mereka, kemampuan untuk berubah, dan prognosis yang baik.

      Komponen-komponen dari paket comprehensive child-protection assesment yang digunakan dalam kasus kekerasan fisik pada anak

   Wawancara individu dengan orang tua untuk menilai penerimaan atau penolakan terhadap[ pertanggungjawaban tindakan kekerasan, kemampuan pola asuh dan pengurangan, sumber daya personal dan masalah, rekonstruksi dari tindakan kekerasan dan persepsi yang relevan terhadap semua faktor-faktor resiko.
      
    Interaksi orang tua dan anak ---   Sesi observasi interaksi antara ornag tua dan anak untuk menilai aspek positif dari pengasuhan dan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan interaksi orang tua dan anak
Dengan kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan pengabaian, percobaan bagi terapi orang tua dan anak untuk menilai pertanggung jawaban orang tua pada pengawasan behavioral untuk meningkatkan jumlah perubahan positif dan menguangi jumlah perubahan-perubahan negatif.      
 
    Pasangan menikah  ---  Wawancara pernikahan menilai faktor resiko pernikahan, terutama komunikasi yang terhubung dan kemampuan problem solving dalam menghadapi masalah child-care dan manajemen konflik

    Sebuah percobaan (dua sesi) dari terapi pasangan, untuk menilai respon pelatihan komunikasi yang terhubung dan kemampuan problem solving dalam menghadapi masalah child-care dan manajemen konflik. Assesment psikometrik dari setiap persepsi tentang hubungan pernikahan (jika diperlukan)      
 
Akomodasi keluarga ---  Mengunjungi kediaman suatu keluarga untuk menilai kepadatan, kebersihan, keamanan rumah bagi anak-anak, dan kesempatan bagi kesesuaian unur stimulasi bermain dan kognitif      
 
    Peran dari extended family ---  Wawancara secara indvidu dengan anggota lainnya untuk menilai penerimaan atau penolakan dari kekerasan, persepsi faktor resiko, rekonstruksi tindakan kekerasan jika diperlukan,kemampuan child-care wawancara dengan keluarga lainnya untuk mengamati kualitas dari hunungan mereka dan menilai potensi dukungan.
      
    Peran dari profesional lain yang terlibat    Wawancara individual dengan profesional yang terlibat dari kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan keadilan untun melihat pandangan secara mahir tentang rsiko dan sumber-sumber dalam keluarga, dan keterlibatan potensi masa depan dalam mendukung keluarga atau menyediakan pelayanan
 
    Wawancara gabungan dengan sumber dasar komunitas lainnya seperti oeang tua dimana anak tersebut berada, bantuan rumah, befriender, pemimpin dari ibu dan anak-anak, pengarah perawatan atau fasilitas harian, dll. Untuk mengobservasi hubungan pada orang tua dan mengukur potensi dari dukungan keluarga di masa depan.    


TREATMENT
 
    Dimana keluarga ditemukan paling tidak 3 kondisi yang disarankan dimana mereka mungkin merespon secara positif pada treatment, rencana terapiutik dapat dikembangkan yang secara jelas berhubungan untuk mencapai sesuatu, identifikasi tujuan-tujuan nyata juga diperlukan dalam assesment ini.
Teratment didalam keluarga dimana kekerasan pada anak muncul, guna memiliki tujuan yang jelas, melibatkan paket intervensi multisistematik termasuk sejumlah intervensi yang terdapat dalam tabel. Bagaimanapun juga penting untuk memprioritaskan beberapa komponen. Paling tidak memprioritaskan komponen-komponen juga penting. Prioritas harus selalu diberikan pada treatmen intensif family-based dengan orang tua, dan anak yang mengalami tindakan kekerasan. Tujuan utama dari intervensi ini harus mencegah munculnya lingkaran negatif dari interaksi dan mempromosikan perubahan positif antara orang tua dan anak. Idealnya, hal ini harus melibatkan kontak yang intensif sampai pada tiga sesi per minggu selama periode tiga bulan. Intervensi dengan target orang tua dan mengatur kesulitan personal untuk meningkatkan pengetahuan child-care mereka merupakan prioritas kedua. Input intensif untuk anak dalam perawatan sehari-hari atau seting perawatan merupakan prioritas ketiga. Masalah pernikahan merupakan prioritas keempat, dan interventi terhadap sistem yang lebih besar termasuk jumlah keluarga merupakan urutan kelima dalam prioritas.

    Checklist dari empat kondisi yang memprediksikan respon treatemen positif dalam keluarga dimana kekerasan pada anak muncul

1. Acceptance of responsibility for abuse    

  1. Apakah orang tua menerima tanggung jawab bagi kekerasan atau pengabaian?
  2. Apakah orang tua menyalahkan anak mereka dalam memprofokasi tindakan kekerasan?
  3. Apakah orang tua menolak bahwa tindakan kekerasan muncul?      

2. commitment to meeting their child’s need 
  1. Apakah orang tua menerima bahwa mereka harus merubah gaya pola asuh dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan anak mereka?
  2. Apakah orang tua peduli dengan penggunaan sumber daya lokal yang tersedia untuk meningkatkan kemampuan pola asuh mereka?
  3. Apakah orang tua dapat menempatkan kebutuhan anak mereka terlebih dahulu dibandingkan kebutuhan mereka sendiri?      

3. commitment to improving their own psychological well-being    

  1. Apakah orang tua menerima bahwa masalah psikologis mereka menjanjikan kapasitas mereka untuk menemukan kebutuhan anak mereka?
  2. Apakah orang tua menolak bahwa mereka memiliki masalah psikologis?
  3. Apakah orang tua peduli untuk menggunakan sumber bantuan yang tersedia untuk meningkatkan well-being psikologis mereka?      
4. ability to change   
  1. Apakah orang tua memiliki kemampuan kognitif untuk belajar kepentingan kemampuan untuk menemukan kebutuhan anak-anak mereka?
  2. Apakah orang tua memiliki fleksibilitas personal untuk merubah kebiasaan pola asuh mereka?
  3. Apakah orang tua memiliki kekuatan emosional untuk mengikuti program parenting , program konseling, home visiting atau program self-help group, yang memerlukan toleransi bagi frustasi?
  4. Apakah orang tua memiliki kapasitas untuk mengatur sebuah hubungan yang kooperatif dengan kelompok profesional lokal yang akan menawarkan paket rehabilitasi child-protection secara keseluruhan?      
  • Will definitely benefit from treatment  ---  Empat kondisi ditemukan      
  • Will possibly benefit from treatment   ---  Tiga kondisi ditemukan      
  • Unlikely to benefit from treatment      ---  Dua atau kondisi lebih sedikit ditemukan      

Terapi yang berkonsentrasi pada interaksi orang tua dan anak
 
    Tujuan dari terapi yang memfokuskan pada interkasi orang tua dan anak adalah agar seluruh keluarga mengetahui bahwa penyimpangan perilaku orang tua terhadap anak, tidak lagi menyangkal ini, diharapkan untuk menebus / memperbaiki ketidakadilan, dan diharapkan untuk mengambil langkah nyata sehingga tidak lagi menimbulkan penyimpangan. Program-program campur tangan orang tua, di mana kesimpulan mendasar penaksiran dan langsung   mengacu pada sasaran keseluruhan, telah dipusatkan pada masalah-masalah pengasuhan yang sangat spesifik, dengan satu target telah dipecahkan pada waktu menggunakan asas-asas perilaku yang teratur. Asas tersebut berguna dalam memandu perkembangan program-program tersebut.  Pakar –pakar psikologi harus bekerja atau berinteraksi dengan orang tua secara intensif( 1 sampai 3 pertemuan tiap minggu selama 3 bulan). Sedapat mungkin pertemuan dilakukan di rumah daripada di klinik. Selama pertemuan, seorang terapis berperan sebagai pelatih. Orang tua dan anak dilatih bagaimana menjalani hubungan baik dan menghindari hubungan negative. Di sela pertemuan, orangtua dan anak berlatih apa yang telah dipelajari. Sebagai keberhasilan pencapaian tujuan keluarga., frekuensi pertemuan dikurangi. 

    Perilaku –perilaku sasaran harus sangat spesifik dan mudah dihitung, jadi perkembangan bisa dengan mudah diawasi oleh orangtua dengan menggunakan system perekaman yang mudah. Sasaran-sasaran kecil harus dipecahkan sebelum sasaran besar dicoba. Sasaran umum bagi keluarga dengan pra sekolah termasuk pengembangan sebuah susunan peranan orang tua dan anak yang postif, seperti dijelaskan dalam bahasan sebelumnya, dan terkait di dalamnya; mengembangkan rutinitas sebelum tidur seperti yang dijelaskan sebelumnya; mengatur waktu pemberian makan tanpa bertengkar. Untuk setiap sasaran yang mempengaruhi atau berpengaruh mengurangi sebuah perilaku negative/ pertengkaran (seperti orang tua berteriak kepadfa anak atau anak menangis) sebuah sasaran positif harus juga selalu digunakan ( seperti memeluk anak/ anak bermain).

    Untuk sasaran perilaku positif, seharusnya berdampak pada pengembangan rutinitas sehari-hari yang jelas mempengaruhi sasaran ini. Oleh karena itu, jika sasaran adalah orangtua dan anak untuk bermain bersama selama 15 menit per hari menggunakan keahlian-keahlian  sebagai pendukung permainan, sebuah rutinitas diperlukan untuk mengembnagkan dimana orangtua dan anak dalam persiapannya untuk periode 15 menit ini pergi ke ruang tertentu pada waktu tertentu setiap hari dan berlari melewati tahap – tahap pertukaran tertentu yang bersifat mencegah.  Sebagai contoh, ketika seorang anak menangis ketika ibunya sedang menjawab telpon, sang ibu menginterpretasikan tangisan ini sebagai sebuah bentuk penghalangan dari sang anak atas dirinya untuk berbicara dengan saudara perempuannya di telpon. Sang ibu diajak untuk melihat kembali situasi tersebut sebagai keadaan dimana sang anak terkejut dengan bunyi telpon dan kecewa akan kehilangan perhatian eksklusif ibunya.
 
    Relabelling atau menjuluki kembali melibatkan penggunaan kata sifat yang bernilai positif daripada yang negatif. Contohnya, seorang ibu yang menjuluki anaknya “nakal” setiap kali menangis, didorong untuk mengubah julukan yang internal, stabil, dan global ini dengan julukan yang situasional, seperti ‘Kau sering menangis ketika lapar, bukan?.” Skill menjuluki dia atas merupakan hal y ang harus dipelajari oleh orang tua yang telah melakukan kekerasan terhadap anaknya untuk memperbaiki  set kognitif negatif mereka. Set kognitif negatif juga dapat dilawan melalui pelaksaan rutinitas yang positif.
 
    Konflik pernikahan juga dapat dicegah dengan melakukan rutinitas orang tua-anak yang positif. Pengasuh utama harus diberikan   peran yang spesifik dalam rutinitas antisipasi yang mendahului episode interaksi pengasuhan anak yang positif, kalau tidak, akan ada resiko bahwa rutinitas tersebut akan terganggu oleh konflik di dalam pasangan tersebut. Dalam beberapa contoh, ayah mungkin berniat untuk mengambil peran sebagai pengasuh utama, dalam hal ini, ibu perlu dilatih bagaimana menghukum ayah dalam peran tersebut . Shaping harus digunakan sebagai metode terapiutik utama. Yaitu, pemberian penghargaan terhadap  perkiraan berturut-turut atas perilaku target. Terapis harus memuji orangtua dan anak untuk perkiraan berturut-turut atas interaksi positif. Orangtua harus dibimbing untuk memuji anak
 
    Penekanan utama harus pada penggunaan penghargaan atau bantuan positif untuk membentuk perilaku dan mencapai target. Orangtua harus dipuji oleh terapis dan dilatih tentang bagaimana menggunakan reward termasuk pujian, bintang, dan hadiah untuk anak-anak yang dapat mengumpulkan sejumlah bintang.
Punishment harus dihindari, dan orang tua harus dibimbing untuk bagaimana mengantisipasi perilaku masalah pada anak, berusaha untuk menghindarinya dengan mengalihkan perhatian si anak atau mengabaikan perilaku masalah jika muncul.
 
    Orangtua harus didorong untuk mencaga kemajuan rekor dan untuk merayakan dalam mencapai target.    
 
Intervensi yang berfokus pada orang tua
 
    Intervensi individual untuk orang tua dibagi menjadi 2 kategori umum. Yang pertama adalah intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan keterampilan mengasuh dan pengetahuan tentang perkembangan anak. Yang kedua, adalah intervensi yang ditujukan untuk membantu orang tua dalam mengatasi permasalahan psikologis lain, yang secara eksklusif tidak berhubungan dengan peran pengasuhan seperti, managemen kemarahan, regulasi mood dan penyalahgunaan narkoba. Kelas pengembangan anak dan keterampilan mengasuh orang tua lebih efektif ditawarkan dalam sebuah format kelompok orang tua yang homogen. 
 
    Kelas kemampuan regulasi kemarahan dan mood, harus dapat memberikan kepada orang tua bagaimana cara mengkonseptualisasi pada situasi tertentu, dimana ketika mereka  marah, sedih, ataupun khawatir secara tidak terkontrol, kemudian memberikan mereka cara mengontrol emosi mereka dalam situasi tersebut. Dalam hal ini kerangka perilaku kognitif banyak digunakan. Dengan tehnik kognitif orang tua didorong untuk mengembangkan kontrol atas emosional mereka dengan cara mengubah pemikiran mereka yang dapat menyebabkan mood negatif. Orang tua pertama kali dilatih untuk mengidentifikasi latar belakang situasi yang menyebabkan emosi negatif seperti kemarahan, takut dan kesedihan. Kemudian pelatihan difokuskan untuk menolong orang tua untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh dirinya sendiri dalam situasi-situasi tersebut, dan untuk memperhatikan bagaimana  pikiran pikiran otomatis ini, menetapkan keadaan emosi mereka. Contoh: seorang ibu yang menerima pujian dari seorang temannya terkait dengan sikapnya terhadap anaknya. Terkadang, seorang ibu berfikir, bahwa pujian dari teman tersebut, adalah bentuk dari rasa belas kasihan yang ditujukan kepadanya. Tugas psikolog di sini adalah, memberikan alternative pikiran lain yang positif, kepada si ibu, agar bisa memandang suatu permasalahan dilihat dari sudut pandang  kognitif lainnya. Atau mengingatkan bahwa ibu tersebut mungkin juga pernah memberikan yang terbaik bagi anaknya. Dengan begitu, pikiran negatif pun juga akan berkurang. 
 
    Intervensi perilaku untuk kemarahan, perilaku, dan kecemasan, membantu orang tua dengan memberikan rutinitas baru yang mematahkan pola perilaku yang berkaitan dengan mood negatif. Orang tua dilatih untuk mengidentifikasi pemicu situasi-situasi kemarahan dan menggunakan beberapa strategi penghindaran ketika mereka menghadapi pemicu situasi tersebut, seperti: meninggalkan ruangan, menghitung sampai sepuluh, atau melakukan latihan relaksasi. Selain itu, kejadian menyenangkan sehari-hari dijadwalkan untuk mengatasi permasalahan kesedihan. Sedangkan pada kecemasan, bermacam-macam metode perilaku seperti pelatihan relaksasi, desensitisasi sistematik digunakan untuk menolong mereka dalam mengatasi emosi negatif.
Terapi individu atau group untuk orang tua yang bertujuan untuk membantu meregulasi keadaan negatif, difokuskan kepada tema –tema interpersonal sebagaimana tehnik-tehnik regulasi emosi perilaku dan kognitif tertentu.

Intervensi yang difokuskan kepada anak

    Intervensi berfokus anak, bertujuan untuk menstimulasi perkembangan kognitif dan bahasa anak, seperti, membantu kepercayaan diri, khususnya pada kasus dimana kekerasan fisik telah muncul sebagai bagian dari pola interaksi orang tua-anak termasuk penolakan dan kekerasan emosional. Program-program ini sangat baik dijalankan sebagai proyek berbasis kelompok prasekolah dengan pengajar rendah: rasio murid dan kurikulum bahasa serta kognitif disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Orang tua harus mempunyai keterlibatan maksimum dalam proyek ini, memahami dasar utama dari program , metode pengajaran dan kurikulum, dan diberikan nasihat tentang bagaimana memperluas stimulasi program ke kehidupan sehari-hari anak.

    Dengan anak yang lebih tua, kepercayaan negatif, dan kepercayaan tentang kekuatan dan kekerasan dalam hubungan yang berkembang secara perlahan-lahan sebagai respon dari pengalaman kekerasan dapat dilakukan dalam terapi individu atau kelompok. Tujuan dari dari terapi ini adalah untuk menolong anak-anak memahami bahwa kekerasan tidak disebabakan oleh mereka. Bahwa mereka tidaklah tak berharga, bahwa mereka tidaklah tak berdaya dan bisa tegas terhadap orang-orang dewasa, bahwa perbedaan dalam hubungan dapat diselesaikan dengan cara yang tegas namun tanpa kekerasan, mereka dapat menemukan cara pribadi untuk memaafkan orangtuanya.


Intervensi yang Berfokus Kepada Pasangan 

     Intervensi pernikahan terfokus pada menolong pasangan untuk menyelesaikan konflik tanpa menyebabkan kemarahan yang salah dialamatkan pada anak-anak. Berikut terdapat 4 komponen yang melambangkan intervensi pasangan yang efektif. Yaitu, latihan keterampilan komunikasi; pelatihan penyelesaian masalah, latihan perubahan perilaku; dan pelatihan dalam keterbukaan diri yang efektif, empati dan pengembangan untuk memahami sesuatu menjadi pola relasional yang menopang pertentangan kekerasan dan ketidakpuasan. Tiga komponen pertama tersebut ada dalam tradisi terapi pernikahan behavioural dan yang ke-empat telah berkembang dari tradisi yang sistemik.
 
    Keseluruhan strategi pelatihan pasangan dalam memperbaiki ketrampilan interpersonal adalah untuk menjelaskan ketrampilan dan menunjukkan bagaimana pentingnya mereka dalam menangani secara bersama-sama tugas-tugas yang sangat melelahkan dalam mengurus anak.kemudian pasangan yang bersangkutan diundang untuk menunjukkan level terkini mereka dalam perkembangan level dengan mengambil isu yang non-emotif dan komunikasi atau problem-solving seputar hal tersebut. Terapis kemudian memberikan feedback, pertama dengan menunjukkan kompetensi dari pasangan itu dan kemudian menunjukkan area-area dimana peningkatan harus dilakukan. Ketika pasangan itu menunjukkan kompetensi dalam mengatasi isu-isu non-emotif, mereka diundang untuk mengembangkan pembahasan isu-isu emotif. Terapis menginterupsi ketika mereka melanggar aturan-aturan problem-solving atau komunikasi yang baik dan memandu mereka kembali dalam jalur yang benar. Pekerjaan rumah yang berkaitan dengan latihan ketrampilan-ketrampilan tersebut juga diberikan.
 
    Dalam pelatihan komunikasi, pasangan perlu dilatih untuk saling mendengarkan dan saling mengirimkan pesan yang jelas. Kemampuan mendengarkan terdiri dari memberikan perhatian tanpa menginterupsi, meringkas poin-poin utama yang dibuat oleh partner mereka, dan memeriksa bahwa mereka telah paham secara akurat. Ketrampilan yang diperlukan untuk pesan yang jelas terdiri dari membahas sebuah permasalahan dalam satu waktu; jelas dan ringkas; berfokus pada poin tertentu; mengorganisirnya secara logis; menyampaikannya secara jelas; memeriksa bahwa mereka telah paham; memberikan ruang untuk balasan.
 
    Problem-solving meliputi menjelaskan kesulitan-kesulitan yang besar, samar, dan kompleks sebagai rangkaian permasalahan-permasalahan kecil yang jelas; mencari pilihan dalam menyelesaikan permasalahan yang kecil tersebut satu per satu; memikirkan keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan; menyetujui rencana aksi bersama-sama; mengimplementasikan rencana; me-review prpgress; merevisi rencana semula jika ternyata tidak berhasil; dan merayakannya jika berhasil.
 
    Ketika pasangan tersebut telah dipandu dalam dasar-dasar ketrampilan komunikasi dan problem-solving, mereka diundang untuk mencoba menggunakannya dalam mengatasi permasalahan emotif yang berkaitan dengan tanggung jawab bersama pengasuhan anak. Terapis harus memberikan pujian untuk penggunaan ketrampilan tersebut secara benar, dan mengembalikannya ke dalam jalur yang benar jika mereka gagal dalam melaksanakan ketrampilan komunikasi dan problem-solving secara benar.
    
    Untuk keluarga-keluarga dimana kekerasan terhadap anak pernah terjadi, inti kepercayan mengenai bagaimana agar kebutuhan dapat tercapai merupakan rintangan utama dalam pemecahan masalah dan mencapai kesepakatan yang dapat diterima. Orang tua dalam keluarga semacam ini cenderung membingkai permasalahan dalam  artian bagaimana mereka dapat memperoleh apa yang mereka butuhkan, daripada bagaimana kedua belah pihak, yaitu pasangan orang tua dan si anak dapat memperoleh kebutuhannya sebanyak mungkin. Tema yang biasanya adalah bahwa setiap orang tidak dapat memperoleh semua kebutuhannya, dan jika seseorang kebutuhannya terpenuhi, hal itu pastilah merupakan hasil dari mengorbankan kebutuhan orang lain yang tak terpenuhi. Ide lain yang berhubungan dengan hal di atas adalah bahwa dalam setiap negosiasi dalam pemenuhan kebutuhan anggota keluarga selalu akan ada pemenang dan yang kalah. Bagi para terapis, ide bahwa setiap orang bisa menang haruslah ditekankan setiap saat secara konstan.
   
Perilaku rutin yang merusak adalah rintangan kedua untuk menyelesaikan permasalahan dan mencapai kesepakatan yang dapat diterima. Rutinitas tersebut termasuk prasangka negatif yang disengaja kepada partner seseorang tanpa diperiksa dahulu kebenarannya dan malah mencela, menyalahakan, menyebut nama, dan mengutip contoh-contoh kesalahan yang telah dilakukannya di satu sisi, dan di sisi lain menjadi murung. Seringkali kemarahan sebagai hasil dari tipe perilaku di atas disalahalamatkan kepada anak.
 
    Menolong partner mengenali perilaku rutin tersebut beserta polanya serta pikiran dan perasaan yang menopangnya merupakan bagian penting dari intervensi pasangan. Ketika hal-hal tersebut dapat dikenali, alternatif-alternatif untuk hal-hal tersebut akan dapat dikembangkan. Sebagian besar dari rutinitas tersebut berdasarkan ketakutan bahwa kebutuhan mereka terutama yang berhubungan dengan kekuatan dan harga diri akan gagal. Terapis dapat menolong pasangan untuk mengembangkan kemampuan empati dan menyingkap diri sendiri dengan menginterview mereka tentang perasaan dirasakan dan mengempatinya. Pasangan kemudian dilatih untuk saling menginterview tentang perasaan yang dirasakan dan saling mengempati.
    
    Perilaku pertukaran menawarkan sebuah cara untuk mengenalkan tindakan timbal-balik yang lebih positif menjadi sebuah hubungan yang ditandai oleh pola-pola timbal-balik hukuman dan konflik. Hal tersebut melibatkan pengundangan pasangan untuk mendaftar aktivitas-aktivitas positif tertentu yang bisa dikerjakan oleh partner mereka untuk menunjukkan bahwa dirinya peduli dengan mereka. Item-item tersebut harus disusun dengan menggunakan kalimat yang positif dan harus berfokus pada argument terkini. Pasangan diundang untuk meletakkan daftar tersebut di tempat yang terlihat di dalam rumah dan untuk membuat sebuah komitmen untuk melakukan beberapa dari item yang ada di dalam daftar untuk pasangan mereka setiap harinya. Tetapi, penyusunan yang berpamrih haruslah dihindari. Idenya adalah untuk meningkatkan pertukaran positif di dalam konteks etika niat baik daripada kontrak yang berpamrih.
 
    Ketika pasangan terlibat dalam pertukaran ya ng lebih positif, menggunakan ketrampilan berkomunikasi dan problem-solving, dan melibatkan diri dalam empati dan penyingkapan diri afektif, menyelesaikan permasalahan pengasuhan anak akan menjadi jauh lebih santai dan jauh dari hasil yang dapat mengakibatkan kekerasan.

Intervensi pada Sistem yang Lebih Luas

    Intervensi pada system yang lebih luas bertujuan untuk mengurangi tekanan dan meningkatkan dukungan sosial. Intervensi seperti ini harus disesuaikan dengan ekologi keluarga sebagaimana yang telah dipetakan dalam proses assessment. Berikut ini adalah contoh umum dari intervensi yang ada dalam kategori ini: bekerja dengan keluarga yang lebih besar untuk meningkatkan jumlah dukungan yang mereka tawarkan kepada pengasuh utama anak; menyusun tindakan untuk menempatkan diri sebagai teman, sebuah konselor melalui layanan kunjungan ke rumah untuk orang tua yang terisolasi; menyusun pertisipasi dalam kelompok local dukungan orang tua mandiri; mengorganisir tempat untuk anak dan pengasuh dalam kelompok ibu dan balita local; mengenalkan keluarga pada kelompok pengasuhan bayi; dll.

Reaksi Countertransference dan Polarisasi dalam Tim Terapi
 
    Bekerja dengan kasus kekerasan tehadap anak menimbulkan perasaan yang kuat pada diri kita semua. Pada kasus-kasus kekerasan terhadap anak, dua reaksi Countertransference yang paling umum adalah menyelematkan anak dan menyelamatkan orang tua. Pada reaksi sebelumnya, kepentingan utamanya adalah untuk melindungi anak bagaimanapun juga dan menolak segala macam kewajiban yang mungkin dipunyai anak kepada orang tua. Pada reaksi selanjutnya, kepentingan utamanya adalah untuk melindungi orang tua dari celaan para professional lain, dan menolak setiap cacat orang tua. Para professional yang berada dalam system yang sama yang mengadaptasi dua reaksi Countertransference ini cenderung mempertentangkan dan memiliki kesulitan untuk saling bekerja sama dengan keluarga yang mereka tearpi. Mengenali proses polarisasi ini dan membahasnya secara terbuka merupakan salah satu cara untuk mencegah kesulitan bekerja sama.

PENCEGAHAN
 
    Para psikolog klinis memiliki peran yang sangat penting dalam merancang dan mengimplementasikan program-program pencegahan utama terhadap kekerasan pada anak, kekerasan dan pengabaian emosional. Program-program seperti itu membidik seluruh populasi dari siswa SMP melalui penawaran kelas-kelas keahlian khusus orang tua berbasis sekolah. Sebagai alternatif, mereka bisa berfokus kepada orang tua yang sedang menantikan kelahiran anaknya dengan menawarkan program-program pengasuhan pra kelahiran berbasis rumah sakit. Pilihan ketiga adalah dengan memeriksa populasi orang tua dengan anak yang masih kecil untuk mengidentifikasi kasus-kasus dalam resiko dengan tujuan untuk menawarkan pemeriksaan yang positif dalam program intervensi. Program intervensi seperti itu terdiri dari kelas pelatihan orang tua, pelayanan dukungan kunjungan ke rumah yang intensif, program stimulasi pra sekolah untuk anak. Semua program pencegahan dengan kunjungan ke rumah harus didasarkan pada ekologi, konseptualisasi mutifaktor pada kekerasan dan pengabaian pada anak.

Emptyness

Terkadang kita perlu memaknai kekosongan. Dimana dalam kekosongan kita akan mencari-cari keberadaan itu sendiri. Mencari pemahaman mengapa harus ada kosong yang menyita sebagian tempat dalam hidup kita. Tak kah ironis memberi tempat kepada kekosongan pada sebagian ruang hidup yang sangat berarti bagi kita yang hidup? Mengapa harus kita sisakan sebagian ruang kepada kosong sekalipun? Tak kah ini berarti bahwa kosong itu sendiri memiliki makna tersendiri bagi diri kita masing-masing? Lalu bagaimana kita maknai kekosongan dalam hidup kita? Ataukah kekosongan itu sendiri yang akan kita biarkan memaknai keberadaannya dan bahkan mungkin memaknai sebagian dari hidup kita.

Aku menginginkan segala kebermaknaan dalam hidupku. Aku mungkin termasuk dalam salah satu dari sekumpulan manusia yang menginginkan untuk  tak melewatkan sejenakpun waktu hidupku tanpa makna. Karenanya aku belajar memaknai segala apapun yang kulihat dengan pemaknaanku sendiri. Mungkin memang terlalu sempit dan picik, tapi setidaknya aku memaknai secuil demi secuil hidupku dan tak melewatkannya tanpa memberikan suatu makna atau sekedar value.


Aku memaknai kekosongan sebagai sedikit jeda untuk berkaca kedalam diri, menggali segala hal yang mungkin menjadi dedengkot dari kekosongan itu sendiri, memaksanya keluar dan mengingatnya sebagai suatu kenangan atau lebih baik lagi bila aku mau menerimanya sebagai sedikit pelajaran hidup. Tapi nampaknya dan yang terasa memang begitu susah untuk menerima dan membuka hati untuk kebenaran yang senyatanya. Aku harus selalu mengalami pertentang hebat setiap kali aku harus melakukan sedikit koreksi mengenai apapun itu yang pernah kupikir sebagai suatu kesalahan atau ke-tak layak-an. Melawan diri sendiri memang suatu hal yang sangat tak menyenangkan, setidaknya itu berlaku padaku, pada hidup dan pikiranku.


Seperti saat ini, tengah malam dimana aku merasakan ada sesuatu yang dibetot dengan paksa dari dalam diriku tanpa aku ketahui apakah hal itu. Bisa ku katakan aku mengalami suatu kehampaan yang perlahan menjelma menjadi suatu kekosongan. Bagiku, kekosongan itu sendiri terlahir dari suatu kehampaan yang berperan sebagai pioneer. Lalu muncul sebuah tanya yang melahirkan sejumlah kalimat-kalimat tanya lain. Suatu pertanyaan pokok yang menuntut jawaban tentang, 

“Apa yang tercabut dariku saat ini?”

Suatu pertanyaan yang muncul karena adanya suatu kehampaan dalam diriku yang merasa ada suatu atau sejumlah ke-tak biasa-an, dan mengganggu jelasnya. Suatu perasaan yang kurang lebih seperti adanya satu ruang hampa yang tiba-tiba muncul karena adanya kepergian dari sesuatu yang ntah apa itu. Aku merasakan adanya kehilangan yang tak begitu konkrit menampakkan wujud dari apa yang telah kuhilangkan atau mungkin menghilang dengan sendirinya dari diriku. Hal yang telah membuat aku begitu tak merasa nyaman saat ini, hal yang seakan memaksaku mengingat sesuatu yang tak pernah kusadari keberadaannya sebelumnya. Bagaimana aku bisa memahami ini? Sedangkan kehampaan yang kurasakan adalah kehampaan akan suatu ketidak-berwujudan yang juga tak ku ketahui dengan jelas apakah ini. Aku merasa harus memaknainya walau aku tak bisa begitu saja menerka – nerka apakah yang kurasakan telah hilang.

Aku merasa begitu dibingungkan dengan ke-tak berwujud-an dari hal yang telah hilang ini. Bila perasaan seperti ingin menemukan sesuatu dan segera menggenggamnya erat – erat ini ku deskripsikan sebagai keresahan, maka ku katakan bahwa saat ini aku sedang merasa resah, karena aku merasa harus segera membawa pulang lagi apa yang tlah hilang ini. Aku merasa ada yang memberi tahu bahwa aku tlah mengalami kehilangan  sebagai langkah awal dari kehampaan, yang kemudian melahirkan kekosongan , tanpa memberi tahuku apakah yang telah hilang begitu saja tanpa kusadari apakah itu. Tak kah ini sangat meresahkan juga bagi kalian? Dimana kalian harus mencari-cari hal yang tak pasti wujud dan macamnya.

Kali ini kumaknai kekosongan ini sebagai pencarian kembali dari apa yang telah mebuatku merasa begitu hampa.


Memang sebuah pemaknaan dan pemikiran yang sempit dan picik. Tapi setidaknya aku tak melewatkan kekosongan ini dengan makna yang benar-benar kosong, sehingga kosong bagiku adalah suatu hal yang masih memiliki dan butuh untuk diberi makna sendiri.


Dan saat ini kusadari bahwa asal dari kehampaan yang ku alami ini adalah bercokol dari kehilanganku akan suatu saat dimana aku bisa bersama dengan seseorang yang benar-benar ku rindukan kepulangannya. 

GANGGUAN SOMATOFORM DAN DISOSIATIF

Latar Belakang

Diawali dalam DSM-III klasifikasi mulai didasari perilaku yang dapat diamati, bukan berdasarkan asumsi etiologi. Dalam gangguan anxietas, tanda – tanda kecemasan sangatlah jelas, namun kecemasan tidak secara otomatis dapat diamati dalam gangguan somatoform dan disosiatif. 

Dalam gangguan somatoform, individu mengamati simptom – simptom fisik yang mengindikasi kerusakan fisik atau disfungsi, yang terkadang cukup dramatis, namun secara fisiologis tidad ditemukan kerusakan apapun. Dalam gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, memori dan identitas. Munculnya dua gangguan ini umujmnya berkaitan dengan pengalaman yang penuh stress, dan kedua gangguan ini terkadang muncul secara bersamaan. 

Gangguan Somatoform

Secara istilah soma berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform, masalah – masalah psikologis muncul dalam bentuk gangguan fisik. Simptom – simptom fisik gangguan somatoform, yang tidak dapat dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam kesadaran, diduga terkait dengan faktor – faktor psikologis, diperkirakan kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab psikologis.

 A.1. Gangguan Nyeri, Gangguan Dismorfik Tubuh dan Hipokondriasis

Pada gangguan nyeri, seseorang mengalami rasa sakit atau nyeri yang menyebabkan distress dan kerusakan yang significant; faktor – faktor psikologis dianggap berperan penting dalam muncul, Menetap dan parahnya rasa nyeri. Rasa nyeri dapat memiliki keterkaitan temporal dengan semacam konflik atau stress, atau memungkinkan individu menghindari aktivitas yang tidak menyenangkan dan mendapatkan perhatian atau simpati yang tidak diperoleh jika individu tersebut dalam keadaan sehat. Diagnosis akurat sulit ditegakkan kartena pengalaman rasa nyeri subjektif selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis; yaitu, rasa nyeri rasa nyeri bukan sekedar pengalaman sensori, seperti penglihatan dan pendengaran. Dengan demikian memutuskan rasa sakit menjadi nyeri somatoform merupakan hal yang sulit. Pasien yang rasa sakitnya dilandasi gangguan fisik dapat menunjukkan bagian yang sakit secara lebih spesifik, memberikan deskripsi sensiri rasa sakitnya secara lebih rinci, dan mengaitkan rasa sakit tersebut secara lebih jelas dengan berbgai kondisi yang meningkatkan atau mengurangi rasa sakit (Adler dkk., 1997).
  Pada gangguan dismorfik tubuh seseorang diupenuhi kekhawatiran dengan kerusakan penampilan yang hanya dalam bayangannya atau dilebih – lebihkan, seringkali pada wajah, contohnya; kerutan wajah, bulu diwajah yang terlalu lebat serta bentuk atau ukuran hidung. Beberapa pasien dengan gangguan ini dapat  menghabiskan waktu selama berjam – jam secara kompulsif setiap hari untuk mengecek kerusakan atau kekurangan tersebut, bercermin. Sedangkan sejumlah apsien lain berusaha menghindari perhatian mengenai kerusakan atau kekurangan tersebut dengan cara membuang semua cermihn yang ada dirumah mereka atau dengan menutupi atau menyamarkan bagian – bagian yang dianggap mengalami kekurangan atau kerusakan, contohnya, dengan mengenakan pakaian yang longgar (Albertini & Phillips, 1999). Beberapa yang lain bahkan sampai mengurung diri dirumah agar tidak diketahui orang masalah kerusakan yang dianggapnya. Gangguan ini menjadi pemicu stress atau stressor yang menyebabkan seseorang sampai bunuh diri. Gangguan dismorfik tubuh umunya terjadi pada perempuan, umumnya berawal pada masa remaja akhir, dan sering kali komorbid dengan depresi, phobia sosial dan gangguan kepribadian (Phillips & McElroy, 2000; Veale dkk., 
1996).
Hipokondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu terpreokupsi mengalami suatu penyakit serius yang menetap, terlepas dari keputusan medis yang menyatakan sebaliknya. Gangguan ini umunya muncul pada masa dewasa awal, dan cenderung memiliki perjalanan yang kronis. Teorinya adalah mereka (pasien tsb) bereaksi secara berlebihan terhadap sensasi fisik biasa dan abnormalitas minor, seperti; denyut jantung yang tidak teratur, berrkeringat, batuk yang tidak sering, setitik rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti keyakinan mereka. Konsisten dengan pemikiran ini, ketika diminta memberikan kemungkinan penyebab suatu sensasi fisik, seperti merasa jantungnya berdebar, orang – orang memiliki skor tinggi dalam suatu pengukuran hipokondriasis lebih memiliki kemungkinan dibanding yang lain untuk mengatribusikan sensasi tersebut terhadap suatu penyakit (MacLeod, Haynes & Sensky, 1998). Hipokondriasis sering muncul bersama gangguan anxietas dan gangguan mood yang mengarahkan beberapa peneliti berpikir bahwa hipokondriasis bukan merupakan gangguan tersendiri, namun sebagai suatu simptom dari gangguan lain (Noyes, 1999). Hipokondriasis tidak dibedakan secara tepat dari gangguan somatisasi, yang juga dicirikan oleh riwayat panjang mengenai keluhan penyakit medis (Noyes dkk., 1994).
A.2. Gangguan Konversi
Dalam gangguan konversi, simptom – simptom sensori atau motorik seperti kehilangan penglihatan secara mendadak atau kelumpuhan, mengindikasikan suatu penyakit dengan kerusakan neurologis atau sejenisnya, walaupun organ – organ tubuh dan sistem saraf dalam kondisi baik. Individu dapat mengalami kelumpuhan separuh atau seluruhnya pada lengan atau kaki; kejang dan gangguan koordinasi; kulit terasa tertusuk, perih atau menggeletar; insensitivitas terhadap rasa sakit; hilang atau lemahnya pengindraan, yang disrbut anasthesia, walaupun secara fisiologis mereka normal. Aphonia, hilangnya suara dan hanya dapat berbicara dengan berbisik dan Anosmia, hilangnya atau melemahnya indra penciuman atau simptom – simptom konversi lain.
Sifat psikologis dalam simptom – simptom kenversi juga tercermin dalam fakta munculnya simptom – simptom tersebut secara mendadak dalam berbagai situasi penuh tress, yang sering kali memungkinkan individu menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab, atau mendapatkan perhatian yang diinginkan. Istilah konversi bermula dari Freud, yang berpendapat bahwa energi insting yang ditekan dialihkan ke dalam saluran sensori – motorik yang menganggu fungsi normal. Dengan demikian, kecemasan dan konflik psikologis diyakini diubah menjadi simptom – simptom yang mereka alami, juga tidak mengaitkan simptom – simptom tersebut dengan situasi apapun yang penuh stress yang mereka alami.
    Histeria, istilah ini awalnya digunakan untuk menggambarkan apa yang saat ini disebut sebagai gangguan konversi, memiliki sejarah panjang yang dapat ditelusuri hingga ke tulisan – tulisan awal mengenai perilaku abnormal. Sedangkan Hipocrates menganggapnya sebagai masalah perempuan yang dikarenakan jalannya uterus keseluruh tubuh. Dalam bahasa yunani, hysteria berarti “rahim”. Berjalannya uterus diasumsikan sebagai keinginan tubuh untuk menghasilkan anak.
Simptom – simptom konversi umumnya berkembang pada masa remaja atau dewasa awal. umumnya setelah terjadinya suatu stress dalam kehidupan. Suatu episode dapat berakhir secara mendadak, namun cepat-lambat gangguan tersebut kemungkinan akan kembali, dalam bentuk awalnya atau dalam suatu simptom yang memilik sifat dan tempat yang berbeda. Gangguan konversi juga sering kali komorbid dengan berbagai diagnosis lain pada Aksis I, contohnya, depresi dan oenyalah gunaan zat, dan dengan gangguan kepribadian, terutama gangguan kepribadian ambang historik (Binzer, Anderson dan Kullgren, 1996; Rechlin, Loew& Jorashky, 1997).

A.3. Gangguan Somatisasi

Pada tahun 1859 seorang dokter berkebangsaan Prancis, Pierre Briquet menggambarkan suatu sindrome yang pada awalnya diberi nama sesuai dengan namanya, Syndrome Briquet, dan kini dalam DSM-IV-TR disebut gangguan somatisasi. Keluhan somatik yang berulang dan banyak memerlukan perhatian medis, namun tidak memiliki sebab fisik yang mendasari munculnya gangguan ini. Untuk memenuhi kriteria diagnostik, individu penderita harus mengalami keempat hal dibawah ini:
Empat simptom rasa sakit dibagian yang berbeda (kepala, punggung, sendi)
Dua simptom ghastrointestinal (diare dan mual)
satu simpton seksual selain rasa sakit (tidak berminat pada hubungan seksual, disfungsi erektil);
Satu simptom pseudoneurologis (seperti yang terjadi dalam gangguan konversi)
DSM-IV-TR menctat bahwa simptom – simptom spesifik gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya. Terlebih lagi, gangguan tersebut dinilai lebih sering muncul pada budaya yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka (Ford,1995).
Gangguan somatisasi umumnya bermula pada masa dewasa awal (Cloninger dkk., 1986). Walaupun mungkin tidak sestabil seperti yang dijelaskan dalam DSM karena satu studi mutakhir hanya sepertiga dari pasien yang menderita somatisasi masih memenuhi kriteria diagnostik ketika diukur kembali 12 bulan kemudian (Simon & Gureje,1999).
A.4. Etiologi Gangguan Somatoform
Etiologi Gangguan Somatisasi

    Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa saqkit dan nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi merupakan manifiestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem – sistem tubuh. Sejalan dengan pemikiran bahwa terdapat faktor kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki level kortisol yang tinggi, suatu indikai bahwa mereka berada di bawah tekanan (Rief dkk., 1998). Bila keberfungsin normal terganggu, pola maladaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.
Teori Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi

Gangguan konversi memiliki posisi utama dalam psikoanalisis karena ketika menangani kasus – kasus inilah Freud mengembangkan sebagian besar konsep utama psikoanalisis. Gangguan konversi memberika kesempatan besar padanya untuk menggali konsep ketidaksadaran. Freud menyatakan  bahwa gangguan konversi pada perempuan berakar pada elektra kompleks dimasa kanak – kanak yang belum terselesaikan karena adanya suatu represi. Pada periode lanjut dalam hidup seseorang yang bersangkutan, kepuasan seksual atau peristiwa – peristiwa khusus akan membangkitkan impuls-impuls yang ditekan tersebut dan akan menyebabkan kecemasan. Kecemasan kemudian diubah dan dikonversikan menjadi simptom – simptom fisik.
Teori Perilaku Mengenai Gannguan Konversi 
Suatu penjelasan mengenai terjadinya gangguan konversi disampaikan oleh Ullman dan Krasner (1975). Mereka menganggap bahwa gangguan konversi sebagai malingering. Orang yang bersangkutan menunjukkan simptom – simptom untuk mencapai suatu tujuan. Mereka berpendapat, orang yang mengalami gangguan konversi berusaha berprilaku sesuai dengan konsepsinya mengeni perilaku seseorang yang menderita suatu penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik dan sensorik.
Faktor-faktor Sosial dan Budaya dalam Gangguan Konversi 
Kemungkinan berperannya faktor – faktor sosial dan budaya ditunjukkan dari penurunan tajam insiden gangguan konversi selama abad terakhir. Penurunan insiden reaksi konversi ini kemudian dapat diatribusikan pada tatakrama seksual secara umum lebih longgar. Meningkatnya kecanggihan psikologis dan medis dalam budaya abak ke-20, yang lebih toleran terhadap kecemasan dibanding pada disfungsi yang secara fisiologis tidak masuk akal.


Faktor-Faktor Biologis dalam Gangguan Konversi 
Walaupu faktor genetik dianggap penting dalam terjadinya gangguan konversi, peneliti tidak mendukung anggapan tersebut. Slater (1961) meneliti tingkat kesesuaian pada 12 pasang kembar identik dan 12 pasang kembar fraternal. Salah satu dari dua orang tersebut diindikasi mengalami gangguan ini, namun tak satupun orang dari mereka yang menunjukkan suatu reaksi konversi. Dengan demikian, faktor-faktor geneti, berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan sejauh ini, tampaknya tidak memiliki peran penting. Secara bersama – sama, berbagai penemuan tersebut mengindikasikan bahwa faktor – faktor biologis dalam gangguan konversi harus diteliti lebih dalam.
A.5. Terapi Untuk Gangguan Somatoform     
  • Terapi Keluarga
  • Teknik pemaparan dan pencegahan respon
  • Terapi Kognitif
  • Biofeedback
  • Tekning Training Relaksasi
  • Psikoterapi Suportif
  • Terapi Remedial/Edukatif

TERAPI HYPOCHONDRIASIS

pendekatan kognitif-behavioral telah terbukti efektif untuk mengurangi berbagai masalah hipokondrial
ditujukan untuk menstrukturisasi pemikiran pesimistik semacam itu.
mengarahkan perhatian selektif pasien ke simptom – simptom fisik dan tidak mendorong pasien mencari kepastian medis bahwa ia tidak sakit
TERAPI PAIN DISORDER 
Penanganan efektif untuk gangguan rasa nyeri terdiri dari hal – hal berikut :
Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya berada dalam pikiran pasien;
Pelatihan relaksasi;
menghadiahi pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri (menahan rasa nyeri).

GANGGUAN DISOSIATIF. 
Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru. Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi normal dibawah kendali kesadaran) antara lain: ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate sensations), kontrol terhadap gerakan tubuh dan lain-lain. Dalam penegakan diagnosis gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang menyebabkan kegagalan mengkordinasikan identitas, memori persepsi ataupun kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.

Gangguan Disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam masyarakat. Tetapi juga Gangguan Disosiatif ini tidak jarang ada dalam kasus-kasus psikiatri. Prevelensinya hanya 1 berbanding 10.000 kasus dalam populasi. Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan Disosiasi bisa terkena oleh orang di belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.

PENYEBAB 
Gangguan Disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif.
Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa :
- Kepribadian yang Labil.
- Pelecehan seksual.
- Pelecehan fisik.
- Kekerasan rumah tangga ( ayah dan ibu cerai ).
- Lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan.
Identitas personal terbentuk selama masa kecil, dan selama itupun, anak-anak lebih mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma walaupun itu terjadi pada orang lain.
TANDA dan GEJALA

Pada Gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari kehari atau bahkan jam ke jam.
Gejala umum untuk seluruh tipe gangguan disosiatif, meliputi :
- Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian dan orang,
- Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan,
- Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata (derealisasi).
- Identitas yang buram,
- Depersonalisasi

KOMORBIDITAS :

Orang-orang dengan gangguan disosiatif beresiko besar mengalami komorbis/komplikasi, yang terdiri dari :
- Mutilasi diri.
- Gangguan seksual.
- Alkoholisme.
- Depresi.
- Gangguan saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur.
- Gangguan kecemasan.
- Gangguan makan.
- Sakit kepala berat.
Gangguan disosiatif juga selalu dihubungkan dengan penyulit yang signifikan. Orang-orang dengan kondisi seperti ini sering tidak dapat mengelola emosi dan stress dengan baik. Dan reaksi disosiatifnya dapat menyebabkan teman-temannya mengaggap dirinya aneh.
FAKTOR RESIKO 
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun emosional semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan disosiatif. Anak-ana dan dewasa yang juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatic, semisalnya perang, bencana, penculikan, dan prosedur medis yang infasif juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya gangguan disosiatif ini.



PENGGOLONGAN 
Amnesia Disosiatif.
Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres. Sering kali memori yang hilang mencakup semua peristiwa selama kurun waktu tertentu setelah peristiwa traumatic. Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya. Informasi-informasi tersebut tidak hilang secara permanent namun tidak dapat diingat kembali saat episode amnesia. Selama periode amnesia perilaku orang yang bersangkutan biasa saja, kecuali bahwa hilangnya memori dapat menyebabkan seseorang mengalami disorientasi atau bepergian tanpa tujuan.

Fugue Disosiatif.
Fugue disosiatif yang berasal dari bahasa latin fugure yaitu “melarikan diri”, adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru. Fugue umumnya terjadi setelah seseorang mengalami stress berat. Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru. Walaupun memerlukan waktu yang lamanya bervariasi, namun biasanya individu dapat pulih secara total; individu yang bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama ia mengalami amnesia.

Gangguan Depersonalisasi.
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.     Episode yang sama kadangkala terjadi dalam beberapa gangguan lain; skizofrenia, serangan panic dan gangguan stress pasca trauma dan gangguan kepribadian ambang. Gangguan depersonalisasi biasanya berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis, yaitu, dialami dalam waktu yang lama. Komorbiditas dengan gangguan kepribadian yang sering terjadi, juga gangguan anxietas dan depresi.

Gangguan Identitas Disosiatif.
Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda. Kadangkala terdapat satu kepribadian primer dan penanganan biasanya diperuntukkan bagi kepribadian primer. Kesenjangan memori umum terjadi dan biasanya karena sekurang-kurangnya satu kepribadian tidak memiliki kontak dengan yang lain. Kepribadian yang berbeda juga harus bersifat kronis (berlangsung lama) dan parah (menyebabkan kehidupan penderita terganggu).

Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a.     Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas.
b.     Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang.
c.     Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.
Gangguan identitas disosiatif biasanya berawal pada masa kanak-kanak, dan gangguan ini lebih sring terjadi pada wanita daripada pada pria. Penegakan diagnosis lain seperti depresi, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan somatisasi sering terjadi. GID umumnya disertai sakit kepala, penyalahgunaan zat, fobia, halusinasi, upaya bunuh diri, disfungsi seksualitas, perilaku melukai diri sendiri, dan juga symptom-simptom disosiatif lain seperti amnesia dan depersonalisasi.


ETIOLOGI

     Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.

Etiologi GID. 

Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (Gleaves, 1996). Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.

TERAPI 
     Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres. Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
             Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut. Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989) Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian. Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri. Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom. Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil. 
     Terapis harus mendorong empati dan kerjasama diantara berbagai kepribadian. Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.
Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.