1.22.2011

Satu dari Akademi Kehidupan

"Melepas."

"Pelepasan."

dan "Terlepas."

Tiga hal yang sedang saya pelajari.


Seringnya orang memaknai "melepas" sebagai suatu upaya pergi dari sesuatu, ntah nyaman, ntah aman atau  beberapa antecedent mengerikan apapun itu. Tapi banyak dari kita lupa (termasuk saya yang melupa) bahwa inti makna dari "melepas" adalah lebih kepada bagaimana kita mulai merelakan apapun hal yang sedang menghambat proses BELAJAR kita yg sebagai PEMBELAJAR ini. Kenapa saya pakai istilah "belajar" dan "pembelajar" disini adalah berangkat dari perenungan dari suatu bacaan yang ditulis oleh salah satu penulis favorit saya (Mitch Albom) dalam bukunya "Tuesday Morning with Morrie". Dimana didalamnya menjelaskan bahwa hidup yang sekali ini adalah hal berharga yang harus kita renungi tiap momment-nya. Lalu muncullah analogi dalam kotak pikir saya, bahwa..

"Kita hidup di ruang besar tanpa batas yang dinamakan DUNIA,..Tugas kita adalah sebagai PEMBELAJAR. Materi kita adalah KEHIDUPAN. Karena saat menitipkan nyawa, Tuhan telah mendaftarkan kita dalam AKADEMI KEHIDUPAN. Hasil akhirnya adalah OPTIMUM LIFE ENDING"

Sebuah analogi penuh kepercayadirian saya kira, cukup optimis, cukup idealis namun cukup dijadikan sebagai motivasi dan arah.

Yups, bact to the topic..."Melepas"

Sudahkah kita melepas sepenuhnya segala mental block yang menghalangi kita (yg notabene adalah seorang pembelajar ini) untuk melangkah menuju frase hidup yang lebih baik? Kebanyakan memang sudah, beberapa setengah melepas bagian-bagian tertentu, beberapa lagi sisanya hanyalah pura-pura "akan" melepas. 

Saya sedang belajar melepas sesuatu yang mengikat saya kuat-kuat selama 5 atau 6 tahun ini, sangat susah, tapi saya yakin bisa, karena saya mau. Tantangan terbesarnya adalah saat saya harus mencoba keluar dari mental block saya, yang secara tak langsung berarti saya harus meninggalkan zona aman saya untuk melangkah keluar, melihat keadaan, dan mencoba berjalan. Padahal mental block ini sebelumnya adalah benteng saya, yang melindungi saya dari rasa tak aman, rasa tak nyaman dan ancaman lain. Tapi saya harus pergi keluar dan berpindah zona dan iklim untuk meneruskan misi BELAJAR saya dalam AKADEMI KEHIDUPAN. Inilah arti melepas.

"Pelepasan"

Saya memaknai pelepasan ini sebagai tahap dimana saya mulai merasa aman dengan iklim baru tanpa merasa rindu dengan zona aman sebelumnya. Dimana saya mulai mampu kembali membuka-buka lembaran kenangan tentang hal (apapun itu) yg membuat saya terhalang utk terus BELAJAR. Lalu saya mulai perlahan merelakan ketidaknyamanan sedikit-demi sedikit untuk tereduksi dari skema berpikir saya. Mulai belajar mengenang kembali, memaknai dengan cara yang berbeda, berpikir kembali dan berandai jika terjadi lagi.


"Terlepas"

Saya memaknai terlepas sebagai tahap dimana saya terlahir sebagai pribadi baru dengan banyak bekal yang telah saya peroleh dari masa sebelumnya. Dimana saya tak hanya mampu mengingat dan mengenang kembali kenangan (yang sebelumnya merupakan ancaman bagi saya) namun juga mampu tersenyum dan membagi kenangan tersebut dengan banyak orang.


Beginilah...

1.15.2011

S.E.L.I.N.G.K.U.H

Saat makan pagi ini kamu juga bersamaku. Selalu sehangat ini, selalu semanis ini kesan yang kamu berikan padaku di setiap awal kubuka mata. Lalu kamu akan mengecup keningku, tersenyum dan meletakkan sarapan pagi di mejaku. Kamu akan tetap di situ, duduk manis menatapku, tersenyum dan tak sekalipun menyentuh makananmu, bagimu aku adalah pemandangan terindah yang tak adil jika kau lewatkan, kau ucapkan itu setiap kali aku menyatakan ketidak sediaanku saat kau memandangiku dengan senyum semakin mengembang setiap pagi. Kau adalah seorang istri yang sangat mencintaiku. Dan aku adalah suamimu, yang sah memanimu setelah kuucapkan ijab Kabul Minggu pagi 7 bulan yang lalu. Tak hanya kau mencintaiku, aku juga mencintaimu. Hanya satu yang kurang, aku tak bisa memenuhi keinginanmu untuk memiliki seorang bidadari kecil pelengkap kebahagiaan kita. 

“Nanti” aku selalu berkata begitu saat malam-malam kau menangis dalam tidurmu, terjaga dari mimpi manismu bersama malaikat kecilmu. Dan kau akan memintaku untuk memelukmu erat-erat setelah itu, sampai kau lelap dalam tidurmu.
 
Kita bertemu dua tahun lalu. Kau masih seorang perempuan manja dulu, yang tak bisa lepas dari godaan mall dan kenyamanan starbuck di setiap harimu. Perempuan yang tak akan tahan berpanas-panas di halte bus atau metromini. Perempuan yang akan pingsan dan stress jika dibebani banyak tanggung jawab. Perempuan yang akan merengek-rengek sepanjang hari pada kekasihnya saat menginginkan sesuatu. Lalu aku datang padamu dengan segala kesederhanaanku.
 
“Kamu duniaku” katamu setelah sekian lama mengenalku, dan setelah sekian lama aku membuatmu nyaman dengan atmosfirku. Memodifikasimu dengan sesuatu yang orang sebut kekuatan cinta, segala sesuatu yang bagiku itu hanyalah sekedar kebetulan dan keberuntungan. Lalu kita saling dekat, dan semakin tak tersekat. Malam dimana aku membuatmu menangis setelah kita bersama-sama memadu kasih, malam dimana kamu menyumpahku untuk segera menikahimu. Semuanya terjadi tepat pada waktunya, seakan aku tak mengupayakan satu halpun untuk terjadi dan terukir begitu manis bersamamu. Aku mendapatkanmu begitu saja.
 
“Nikahilah dia,…dia perempuan yang baik untukmu, dan kami tak perlu lagi meragukan kebahagiaanmu setelah ini, Ndi… Menikahlah, ibu dan ayahmu ini pasti akan senang menerima keluarga barumu.”  Berjalan sangat lancar. Aku mencurigai sekongkol alam semesta akan cerita kita. Lalu aku dan kamu menikah. Aku dengan keluargaku yang serba pas-pasan dan kamu dengan keluarga high-class mu.
 
Kamu bahagia bersamaku, bagimu menikah dan hidup bersamaku adalah pilihan paling tepat dalam hidupmu. Dan aku semakin meringis menahan perih yang mengiris dadaku. Aku menipumu dengan cintaku. Aku menipumu dengan kesetiaan semu yang kuciptakan seakan hanya untukmu. Aku tak berdaya dikontrol bisikan egoku untuk memenuhi insting-demi insting yang melintas dalam inginku. Aku menyelingkuhi setiamu.
 
Ya, aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa meninggalkanmu. Bahkan aku tak bisa merasakan hidup tanpamu, aku kehilangan nafasku sebagai sarat untuk menyecap warna rasa dunia bila mungkin aku tak lagi bersamamu, tapi aku juga tak bisa merasa utuh tanpa membagi hati dengan sosok-sosok sebelummu. Aku menjanjikan kamu yang terakhir untukku, seperti yang terucap saat aku memasangkan cincin kawin kita, tapi aku tak menjanjikanmu satu-satunya. Maaf. Aku tau aku tak akan pernah sanggup mengakui seberapa besar penyesalan akan ketakberdayaanku atas kendali diriku dan seberapa besar aku mencintaimu. Kau adalah tempat untukku pulang. Cukup itu yang bisa kukatakan mewakili segala rasa dan emosi yang terpaut padamu.
Aku selalu mampu membuat beberapa perempuan sepertimu tertarik padaku. Termasuk mereka, Donna, Risa, Ratih dan Lena. Dan yang paling berat kukatakan padamu adalah bahwa kamu bukan satu-satunya perempuan yang pernah berbagi ranjang denganku, yang kusimpan rapat tak kubeberkan pada siapapun. Mereka adalah yang pertama. Dan bagi mereka ini adalah kebahagiaan, kebahagiaan yang menurut mereka adalah suatu cara untuk membagi kasih sayang dengan seseorang yang mereka kasihi. Membagi segalanya, itu yang aku dan mereka lakukan.
 
Jangan bilang tak adil!!
 
Karena ketidak-adilan hanya bersarang padaku, seorang laki-laki 29 tahun yang memiliki segalanya dan sebuah penyakit meningitis. Hidupku bukan sinetron!!! Aku merasa dipermainkan nasib dan cerita hidup yang tak bisa kutulis sendiri dengan penaku! Orang tuaku yang hanya berlatar belakang pendidikan tak sampai SMA tak pernah tau penyakit apa yang menyerang anaknya. Keterbatasan kami membuat hidupku kacau, membuat segala rencanaku carut-marut dihajar permainan nasib. Mereka hanya tau penyakit demam dan pusing-pusing. Sampai aku tumbuh menjadi suatu kebanggan untuk mereka, sampai aku mengetahui penyakitku selama ini. Pahit!
 
Lalu muncul Donna, seorang gadis teman sekelas semasa kuliah. Seorang gadis yang hidup dalam serba kelebihan, pintar, cantik, kaya. Seorang gadis yang kurasa belum pernah mengecap getirnya hidup. Kemudian seorang Risa, teman sekantor yang selalu dekat denganku. Perhatian dan kelembutannya membuat aku terlena sesaat dan memutuskan untuk menciumnya petang itu di pantry, lalu kami melanjutkan perselingkuhan kami. Ratih adalah seorang mantan teman SMA yang dulu pernah menjalin kisah bersamaku, datang kembali untuk mencicipi getar-getar yang masih berdenyut dalam masing-masing dada kami. Dan Lena, sahabat setia istriku. Istriku adalah yang terakhir untukku, tempat aku pulang.
Kamu tak pernah tau, aku tidur dengan yang mana saat aku tak pulang ke rumah dan berada di sisimu. Kamu tak pernah ragu. Ini yang menyiksaku.
 
Dan semalam adalah malam kesekian kamu menangis dalam pelukku, memintaku memberikan seorang malaikat kecil yang harus kutanam benihnya dalam rahimmu. Juga malam kesekian diriku berdusta padamu, berdalih tak bisa melakukannya karena aku akan sibuk untuk 2 tahun kedepan. Dan benar dirimu memang perempuan baik dari segala perempuan, kamu mengiyakan, mencium keningku, memelukku dan mengatupkan kelopak matamu. Aku tau kamu kesepian saat aku tak ada. Dan setela ini, mungkin kamu akan lebih kesepian lagi.
 
 Pagi ini Ratih menungguku di apartemennya. Dan aku harus membersihkan bayangmu dari hatiku untuk beberapa jam ke depan, karena saat itu aku utuh milik seorang Ratih. Hanya sejenak, biarlah Ratih memilikiku untuk sejenak, kau tetap perempuan yang paling memonopoliku, karena kau istriku. Akan selalu seperti ini, hari bergilir untuk menemui satu-satu perempuan yang aku cintai, perempuan-perempuan yang selalu hangat menyambutku saat aku benar-benar membutuhkan pelampiasan segala inginku, segala hasratku.
Ini akan baik-baik saja, semua akan selalu baik-baik saja, karena setidaknya aku adalah pena untuk kisah hidup 5 perempuan ini, yang selalu senang membagi cinta bersamaku. Akan baik-baik saja mungkin untuk mereka, karena mereka tak pernah tau siapa aku, aku menciptakan dunia-dunia yang berbeda untuk kelimanya, dan aku ada di masing-masing itu.
                        ---

4th June 2009
Gita
“Mas,… sudah sebulan kamu pergi. Bahkan kamu tak memberiku seorang malaikat untuk menemaniku saat kamu pergi untuk selamanya. Aku kesepian… ”
                        ---
Ratih
“kami dimana, Ndi… kenapa pergi tak memberiku kabar selain secarik kertas untuk mengingatkanku akan pentingnya meneruskan hidupku… ini tak adil untukku, Ndi… aku kesepian.”
                        ---
Donna
“Sayang,… ranjang ini dingin tanpamu. Tidakkah ada yang jauh lebih bijak dari sepenggal pesan untuk meneruskan hidupku?”
                        ---
Risa
“Apapun itu,… Aku akan tetap mencintaimu, Ndi. Kembalilah suatu saat nanti. Kamu memilikiku. Kenapa kamu harus pergi dengan pesan yang serba tak kumengerti maknanya…”
                        ---
Lena
“Aku turut merasakan apa yang dirasa Gita, mas… Bukan hanya istrimu yang merindukan hangatmu,… Aku juga akan selalu merindukannya. Tenang mas, perselingkuhan ini akan hanya menjadi rahasia kita.”
                        ---


4th May 2009
“Seorang lelaki berinisial AN (27th) ditemukan tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di jalan protokol”
                        ---
Aku meninggalkan sepenggal cerita yang belum selesai kutulis untuk lembaran kalian masing-masing. Maafkan aku…

1.14.2011

CROSSROADS (Ketika Cinta Harus Salah Arah)


Aku memang mencintaimu. Ya aku mencintaimu, dan akan tetap bersamamu, karena aku terlebih dahulu mengenalmu, dan karena aku harus melakukan ini untuk menyelamatkan hubunganmu dengan kakakmu, yang juga kekasihku. Kamu boleh membenciku setelah ini, saat mungkin suatu saat nanti perselingkuhanku akan tercium oleh firasat hatimu, tapi aku akan tetap menjagamu, menjagamu dari sakit hati akan pengkhianatan yang terpaksa aku lakukan dengan menjalin hubungan gelap dengan kakakmu. Aku berjanji.

Andai saja aku adalah seseorang yang bisa menjaga satu-satunya hatiku hanya untukmu, andai saja kakakmu bukanlah seseorang yang pernah diam-diam aku inginkan untuk menjadi tempatku berbagi segala rasa dan hasratku. Tiba-tiba kisah cinta ini menjadi tak pernah adil hanya untukmu. Ini semua bermula ketika kamu pergi, ketika kita harus terpisah jarak ratusan kilometer karena urusan masa depanmu. Kamu tak ada di sisiku, aku kesepian. Kesalahanmu adalah menitipkanku pada kakakmu. Kesalahanku adalah tak bisa menjaga hatiku hanya untukmu. Kesalahannya adalah tak bisa menahan hasratnya yang ternyata juga untukku. Semua menjadi alasan yang begitu tepat untukku dan kakakmu memulai sebuah ikatan yang tak pernah kamu tau.
 
Semua berawal pada sore itu, saat aku dan kakakmu terjebak dalam sebuah situasi yang sangat mendukung masing-masing dari kami untuk mengingat masa-masa perkenalan kami dulu, sebelum aku mengenalmu dan memutuskan untuk mengalihkan segenap cintaku untukmu, cinta yang sebelumnya hanya kupupuk untuk kuberikan hanya pada kakakmu. Cinta yang dengan segenap hati aku bekap hingga mati agar tak meninggalkan asa menyakitkan akan arti kakakmu di hatiku. Namun gagal. Masih tersisa denyut pada cinta yang sekuat hati kucampakkan.
 
“Dulu aku mencintaimu…” entah kenapa kalimat penuh dosa itu melompat begitu saja dari mulutku. Membuat waktu seakan terhenti hanya diantara aku dan kakakmu. Aku menyesal. Namun aku merasa harus membuang kalimat itu cepat-cepat dari kepaku, mengeluarkannya lewat mulutku. Cara yang mungkin tak tepat sama sekali untuk membuang perasaan.
 
“Kenapa?”
 
“Karena aku harus mengatakannya sekarang. Agar bisa kubunuh segalanya sore ini juga, dan meneruskan hidupku tanpa kenangan darimu. Hanya itu. Maaf..”
 
“Kenapa baru kamu bilang sekarang? Kenapa bukan sebelum aku mengenalkanmu pada adikku dan sebelum kamu memutuskan untuk menerima cintanya?!”
 
“Maksutmu?”
 
“Aku tak punya keberanian untuk menyatakannya duluan padamu. Aku juga menginginkanmu, bahkan sekarang ini menjadi semakin menyiksaku. Aku masih sangat menginginkanmu.”
 
 Hening. Kakakmu menyisakan sebuah hasrat yang tak tepat yang mulai tumbuh dalam diriku. Kemudian hanya tersisa diam disepanjang perjalanan pulang kami. Aku sibuk dengan pikiranku yang mencoba menerka rasa entah apa yang barusan ditanam kakakmu padaku, dan kakakmu sibuk dengan entah apa yang memenuhi pikirannya. Kami sama-sama didera galau yang sama malam itu, saat perjalanan pulang kami dari kafe tempat biasa aku menghabiskan waktu denganmu. Aku sekuat tenaga menahan keinginan aneh dalam diriku yang tiba-tiba muncul begitu saja, keinginan untuk memeluk kakakmu dan mengatakan sekali lagi bahwa aku mencintainya. Aku tak berdaya dihajar hasrat yang telah bertahun-tahun kukubur dalam serambi hatiku, bilik paling tak terjamah selama aku bersamamu, tapi sore ini semuanya terbongkar begitu saja, aku yang memulainya.
 
“Cintai aku sekali lagi.” Kakakmu mengucapkannya tepat sebelum aku turun dari mobil yang berhenti tepat di depan rumahku. Saat itu juga segala hasrat yang sengaja kuikat kuat dengan akal sehat sejak tadi tiba-tiba menghambur lepas, memerintahku untuk menyampaikannya dengan segala cara yang sebelumnya tak pernah kupikirkan. Aku masih mencintai kakakmu, ini kenyataan baru yang kutemukan saat bibir kami saling menyentuh. Aku membuat rasa itu semakin kuat, aku melupakanmu malam itu. Ya, aku yang salah.
 
Kamu akan tetap menjadi kekasihku, aku janji. Dan kamu akan tetap menjadi satu-satunya orang yang akan diakui sebagai seseorang yang memilikiku. Namun aku mohon, biarkan aku dan kakakmu saling melepaskan desakan ribuan keinginan kami yang belum tersampai dari beberapa tahun lalu. Saat itu aku berpikir paling tidak biarkan dia menggantikan posisimu selama kamu tak bersamaku, selama aku kesepian tanpa kamu. Aku terpaksa mengkhianatimu karena kelemahanku yang tak bisa membendung segalanya untuk kesekian kali tanpa keberadaanmu sebagai pembatas antara aku dan kakakmu. Kamu akan tetap menjadi orang pertama yang mencintaiku dengan tulus dan mempercayaiku, namun kakakmu adalah orang pertama yang rela mencintaiku dan tersakiti diam-diam saat aku sedang bersamamu. Kamu mungkin adalah orang pertama yang membahagiakanku dengan segala kesetiaanmu sebagai kekasihku, tapi kakakmu adala sosok yang selalu menjagaku diam-diam dibelakangmu. Karena itu, aku menjadi tak bisa menemukan dimana hatiku benar-benar memilih. Aku yang salah, maaf.
 
Sampai saat itu tiba. Saat dimana kamu bermaksud memberiku sebuah kejutan penuh kebahagiaan yang mungkin telah kau pikirkan untuk membuatku senang. Saat kamu memutuskan untuk tiba-tiba pulang tanpa memberiku sebuah kabar. Saat kamu tiba-tiba masuk ke dalam rumah kontrakanku diam-diam dan melihat sebuah display paling menyakitkan dalam hidupmu, melihatku berada dalam ranjang yang sama dengan seseorang yang juga kamu sayangi, kakakmu. Aku tau, begitu mengerikan bagimu membayangkan apalagi mengetahui diriku melakukan kegiatan yang sama dengan laki-laki lain, kegiatan yang sama seperti yang hanya kita lakukan berdua. Sangat mengerikan bagimu mengetahui bahwa kakakmu adalah seseorang yang berkonspirasi dengan kekasihmu untuk menyakitimu dengan sebuah pengkhianatan yang kotor. Aku tau kamu sangat terluka dan kecewa, yang mungkin tak pernah aku tau persis seperti apa sakit yang kamu rasakan. Tapi kamu juga perlu tau, aku dan kakakmu juga sama-sama terluka saat harus menyembunyikan perasaan kami masing-masing.

Sayang,…maafkan aku. Juga maafkan kakakmu. Maafkan kami untuk sebuah ketidak jujuran yang kami simpan dalam hati kami masing-masing. Terimakasih telah mencintaiku lebih dari apapun selama ini, terimakasih untuk segala kepercayaan yang kamu berikan untukku dan kakakmu selama ini. Aku bersedih atas keputusanmu untuk mengakhiri ini semua. Aku tak akan menyianyiakan pengorbananmu untuk memberiku kesempatan sekali lagi untuk meneruskan cintaku dengan kakakmu. 

“Selamat jalan, Son… Tuhan memberkatimu. Maafkan kami, Son.” Aku menyeka airmataku sebelum beranjak dari sebuah pusara seseorang yang pernah sangat mencintaiku, seseorang yang tersakiti karena pengkhianatanku dengan kakaknya. Selesai sudah kubacakan surat terakhirku untuknya.

1.04.2011

Android

Didepanku duduk orang-orang
berwajah kaku...
Mata tertumpu pada buku
Otak terpatut pada komputer
Akal terpekur dalam multimedia

Mereka yang duduk didepanku
adalah dosen-dosen,hasil didikan dosen,
ilmuwan,praktisi, skaligus
robot-robot atas kehidupan
mereka masing-masing.

Menunggu vonis,..

Yang beragam bunyinya,
yang endingnya satu...
"Keputusan"


15.55
040111

1.03.2011

Cerita Antara Saya dan Mas Tono

Mas Tono bilang dia akan ada di dekat saya kapanpun saya membutuhkannya. Mas Tono bilang saya sudah melakukan hal yang benar untuknya, untuk kita, saya dan Mas Tono sendiri. Tapi saya merasa kacau akhir-akhir ini. Mas Tono selalu bilang sangat mencintai saya, menyayangi saya. Yang saya tau sayang itu adalah segala-galanya bahkan punya level lebih tinggi dan lebih sakral daripada cinta. Dan Mas Tono memberikan keduanya kepada saya. Seharusnya tak ada alasan untuk saya merasa galau seperti sekarang, kecuali siklus mens saya yang tiba-tiba telat. Saya sudah berkali-kali berniat membicarakan ini dengan Mas Tono, saya ingin menjadikan dia bukan hanya tempat untuk berbagi hasrat, tapi juga berbagi segalanya termasuk apa yag saya alami sekarang, saya berantakan. Tapi berkali-kali juga saya urungkan niat saya. Saya takut Mas Tono meninggalkan saya. Saya takut Mas Tono akan sama seperti laki-laki kebanyakan, yang hobi menebar benih sebagai penanda wilayah sebelum mereka pergi. Ini ketakutan yang belum sanggup saya bagi dengan Mas Tono, sosok yang selama ini saya percaya untuk mendapatkan segalanya dari saya.

“Mas,…sampeyan dimana?”

“Siti??”

“iya mas ini saya, siti…sampean dimana?”

“Aku kerja,Ti…”

“Dimana mas? Di kantor toh?... lha kok sepi toh mas kantornya?” saya curiga. Cara bicara Mas Tono tidak terdengar seperti biasanya. Sebenarnya nggak semencurigakan itu. Tapi batin saya mengatakan Mas Tono sedang berbohong. Kata ibu saya, batin seorang perempuan itu kuat. Maka saya mempercayai kata batin saya, karena alasan bahwa ibu merupakan sosok paling benar bagi saya.

“Wes toh, Ti… saya ini kerja banting tulang buat cari modal nikah kita…mbok ya kamu percaya saya toh…Ada apa toh ini?”

“Saya mau ngomong, Mas…Ada yang penting ini.”

“Iyo…iyo. Wes, nanti saya datang ke kost kamu. Sudah ya, saya lanjut dulu kerjaan saya..”
Di tutup. Hati saya semakin kacau. Bukan karena Mas Tono yang nggak mau diajak bicara sekarang, tapi karena tadi sebelum menutup telepon saya samar-samar mendengar ada suara perempuan memanggil Mas Tono. Apa iya Mas Tono sedang kerja? Hati saya semakin galau. Inikah benarnya firasat seorang perempuan? Saya nggak tau apa ini juga berlaku untuk gadis belasan tahun seperti saya.

Saya mengenal Mas Tono di tempat saya bekerja. Ini Surabaya. Kata ibu, ini kota besar, kata ibu juga, kota besar itu sarang orang-orang berhati hitam. Ya, yang saya tau di sana-sini banyak copet, orang-orang disini harus benar-benar ekstra waspada menjaga diri dan harta yang melekat di tubuh mereka. Dan saya ada disini karena jasa teman ibu yang mempekerjakan saya di apotek miliknya. Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, setelah 9 tahun lalu ayah pergi karena panggilan-Nya. Ibu hanya perempuan biasa, dari keluarga biasa, orang jawa, dan hanya berlatar belakangan pendidikan sampai kelas 4 SD. Saya anak ibu satu-satunya, setelah Mas Teja yang setahun lalu juga dipanggil-Nya dalam sebuah kecelakaan. Tanpa saya membebani, hidup yang ibu jalani sudah terlalu berat. Karena itu saya memantapkan hati dan meyakinkan ibu supaya mengijinkan saya berangkat ke Surabaya untuk bekerja, di usia saya yang ke 15 tahun.

Setahun bekerja di Apotek lumayan membantu kehidupan saya, memang melelahkan, tapi ini juga demi hidup saya sendiri dan ibu. Saya bangga bisa kirim uang untuk sekedar bantuan belanja ibu di Solo. Selebihnya dari gaji saya, bisa saya irit untuk biaya kost, makan dan Alhamdulillah kalau bisa nyimpen tabungan di celengan. Saya pingin mengumpulkan modal untuk ibu buka usaha took kecil disana. Biar ibu nggak harus kerja mburuh tani di sawah orang, panas-panasan, kaki kering pecah-pecah terkena air potas. Dan Saya mengenal Mas Tono saat itu. Mas Tono adalah laki-laki paling tegas yang pernah saya kenal. Awalnya saya hanya menghafal namanya saja, Tono. Dari surat resep obat tebusan dari dokter. Tapi karena seringnya Mas Tono datang menebus obat ke Apotek, saya jadi akrab pelan-pelan, sampai suatu ketika, saya bisa ngobrol dengan mas Tono dan berkenalan sebagaimana mestinya. Malam jam 9, Apotik sudah hampir tutup, hujan, dan Mas Tono datang sambil basah-basahan mendatangi saya di menja penyerahan resep, saya bilang apotek mau tutup, Mas Tono memohon, terlihat sangat bingung, dan saya kasihan. Setelah itu kami mulai menjadi akrab, setelah maalam itu juga Mas Tono mengantar Saya pulang ke kost.

Kami berpacaran sudah lebih dari dua bulan ini. Mas Tono memang laki-laki yang bisa membuat saya bahagia karena cinta. Terkadang saya memang ragu, apa iya gejolak yang saya rasakan saat ini adalah cinta yang sebenarnya. Tapi berkali-kali pula Mas Tono bisa membuat saya yakin, saya mencintainya. Dan karena saya mencintainya, saya menyerahkan segalanya untuk Mas Tono. Segala tempat pertama untuk Mas Tono, bahkan untuk keperawanan saya. Saya menginginkan Mas Tono menjadi yang pertama, dan terakhir untuk saya.

Sekarang sudah genap seminggu saya menunggu Mas Tono. Dari terakhir saya telepon sampai sekarang, Mas Tono belum juga mendaatangi saya. Entah kemana Mas Tono. Saya juga ngga tau dimana Mas Tono sekarang. Nomer Hp Mas Tono juga mati. Saya mengkhawatirkan Mas Tono, juga siklus bulanan saya.

“Piye toh mbak ikiii,…” samapai suatu ketika saya memutuskan untuk menceritakan apa yang menjadi kegalauan saya pada Mbak Sri, penjaga rumah kost yang saya tempati selama ini.

“Pakai alat tes kehamilan aja, Ti. Pasti hasilnya. Asal ya gitu, kamu makainya juga kudu bener, Ti.”

“Saya ndak berani, Mbak. Saya tau alatnya, bisa saya ambil dari apotek, tapi saya ndak tau gimana makainya. ”

“Lah, ka nada petunjuknya toh, Ti. Dibelakangnya situ. Kamu baca. Wes yoh, nduk. Kamu coba dulu… Nanti biar kamu tau pastinya.”

Semalaman saya nggak bisa tidur. Saya takut. Takut kalau hasilnya menyatakan kalau saya positif. Berarti saya hamil. Ada calon bayi di dalam tubuh saya. Beberapa kali saya sempat tertidur sebentar dan bangun lagi karena mimpi. Saya memimpikan bayi laki-laki, matanya sama seperti mata saya, hidungnya seperti hidung Mas Tono, tersenyum. Saya menginginkan bayi dalam mimpi saya tadi, tapi saya juga takut. Saya nggak mau mengecewakan ibu, saya nggak tega melihat wajah ibu yang terluka karena saya, dan satu lagi, saya nggak tega kalau harus melunturkan jabang bayi ini dari tubuh saya. Tapi sesungguhnya saya juga belum siap, umur saya masih terlalu muda, 16 tahun.

Akhirnya saya nggak tidur di sisa malam ini. Test Pack, alat tes kehamilan yang dijual di apotek tempat saya bekerja, tergeletak di kasur saya, dan saya memandanginya cukup lama. Tadi sudah saya baca cara pemakaiannya, saya sudah paham. Strip satu berarti negatif, saya nggak hamil. Strip dua berarti neraka bagi saya. Positif, dan saya akan memiliki bayi. Ini menakutkan. Begitu terus sampai saya mendengar adzan subuh. Saya berdiri, beranjak dari kasur saya, menyelempangkan handuk di bahu saya, membawa baju ganti, dan menyelipkan test pack diantara baju ganti saya, menurut petunjuk pemakaian, ini akan bekerja kalalu saya memakainya pada air seni pertama saya di pagi hari.

Saya takut. Beberapa langkah lagi kamar mandi sudah bisa saya masuki.

“…tuuut…tuuuut” Alhamdulillah nyambung. Siang ini saya mencoba menghubungi hp Mas Tono lagi, dengan kekacauan hati yang tidak beda jauh dari sebelumnya.

“Halo?...”

Astaghfirullah.. perempuan mana ini yang bersama Mas Tono sekarang?! Saya takut. Perasaan saya kacau, tangan dan seluruh tubuh saya gemetaran, lalu hp dan tubuh saya jatuh bersamaan. Saya tertidur. Dalm tidur saya, teringat kejadian subuh tadi, saya menunggu 3 menit, berjongkok di depan alat test kehamilan yang saya pakai, menunggu munculnya strip yang sangat menentukan hidup saya kemudian. Sekita pada menit pertama satu strip muncul, merah jelas. Mata saya perih. Saya merunduk lama, lebih dari 5 menit, berdoa berkali-kali menyebut nama Tuhan memohon untuk tidak memberikan apa yang tidak saya inginkan terjadi, menangis, gemetaran. Dan muncul strip merah terang berikutnya diatas strip pertama. POSITIF.

Mbak Sri bilang kadang kala test pack memiliki tingkat akurasi yang rendah, Mbak Sri menyarankan saya untuk test urine di lab. Benar memang menakutkan, tapi saya juga butuh kepastian untuk kemudian meminta pertanggung jawaban pada Mas Tono. Hasil Lab positif, hasil yang sama. Dan satu kenyataan pedih lagi. Saya juga dinyatakan positif terjangkit HIV. Oh gustiiiii…

“Mas, saya perlu bicara sama Mas.” Suatu ketika saya memberanikan diri menelepon Mas Tono lagi.

“Siti?”
“Iya, Mas, ini saya. Saya perlu bicara sama Mas.”

“Ti, maafin saya…”

“Mas Tono, saya minta Mas mau berbaik hati menemui saya sekarang. Saya tunggu di Apotek sepulang kerja nanti Mas. Tolong ya Mas…”

Malamnya Mas Tono datang. Tidak terlihat seperti Mas Tono yang akrab di dalam ingatan saya sebelumnya. Mas Tono terlihat pucat, kurus dan kotor. Entahlah, saya merasa sibuk sendiri dengan perasaan saya yang nggak jelas jluntrungnya waktu itu. Saya berjalan di samping Mas Tono, kami berjalan beriringan, membiarkan kaki-kaki kami melangkah tanpa tau kemana dan tanpa bicara.

“Mas Tono, saya positif…” saya mengucapkannya dengan penuh emosi dan suara bergetar, saya menangis.
“Mas Tono menghentikan langkah kakinya,…” diam. Mas Tono menatap saya, matanya merah terbelalak, menakutkan. Diam, menatp saya. Lama. Saya menunduk.

“Nduk,…maafin saya… saya ndak maksud nularin kamu,nduk. Iya, saya memang egois, ndak seharusnya saya melakukan itu sama kamu. Tapi saya nggak tau, waktu itu saya hanya ingin melakukannya sama kamu…maafin saya…” Bergetar, berat. Ini Mas Tono yang saya kenal, dan sebagian diri Mas Tono yang baru saya kenali malam ini.

“Saya juga positif hamil, Mas…” kali ini tangis saya pecah. Dan Mas Tono ternganga yang nggak bisa saya mengerti persis, apa yang dirasakan Mas Tono saat itu.

“Ini nggak boleh, Ti… Harusnya nggak seperti ini…”

“Saya takut, Mas… ini terlalu berat buat saya.”

Sekarang usia janin dalam kandungan saya sudah 3 bulan. Dan saya ada disini. Di ruangan yang penuh kursi dan sejumlah calon ibu. Saya menunggu.

“Nyonya Siti Ruminasih.”
Saya berdiri dari duduk saya. Diam. Menarik napas dalam dan berat. Mengelus dinding perut tempat dimana calon bayi saya berdenyut disana.

“Ini yang terbaik untuk kamu,… maafkan ibumu. Ibumu ndak member kamu pilihan, nak. Tapi kalau kamu tau, sebenarnya ibu ingin memiliki kamu, …” 

Saya beranjak dari diam saya, melangkah memasuki ruangan dengan bau tajam obat-obatan yang menusuk penciuman saya. Sekarang saya disini, hanya sendiri, tanpa Mas Tono yang seminggu lalu juga pergi karena panggilan-Nya.




(Sebuah nyawa, adalah renungan untuk pilihan hidup)

MARRY ME (KisahKasih)

Alasannya adalah karena kami merasa ini hal yang paling logis untuk sama-sama kami lakukan. Kekasihmu selalu memiliki rumah untuk cintanya pulang. Ia selalu mengingat jalan untuk kembali dan pulang. Karena dia suamiku. Logis untukmu dan suamiku, mengendap-endap menjalin suatu hubungan penuh dengan gejolak dan gairah asmara bersamamu, perempuan 5 tahun lebih muda dariku yang untuk beberapa bulan belakangan mampu menyita suamiku dalam beberapa jam di tiap minggunya. Logis karena kalian merasa perlu untuk saling berbagi dan menyalurkan entah apa yang pada akhirnya membuat kalian terlibat dalam suatu hubungan yang kalian namai sebagai hubungan atas nama cinta. Dan pula menjadi logis bagiku untuk tetap memasang topeng pura-puraku dengan dalih untuk menjaga kehidupan rumah tanggaku dengan suamiku, yang notabene adalah makhluk berjenis kelamin pria yang mampu menutupi status ke-abnormalanku.
Semuanya menjadi agak adil. Impas.
Kekasihmu player dan akupun player. Kamu yang paling kasihan. Jangan Tanya kenapa. Karena sekitar 2 atau 3 bulan lagi kamu akan mendapatinya seranjang dengan perempuan lain dan berlagak tak pernah menjamah -bahkan mengenalmu- dikehidupan sebelumnya.  Kami sama-sama menemukan tempat persembunyian paling aman untuk saling berteduh dan berlindung dari status yg dilabelkan masyarakat negara kita -yang konon terlalu kolot- dalam menamai dan mengklasifikasikan berbagai hal dan fenomena. Yang bisa saja mereka mengkategorikan kekasihmu -atau boleh juga suamiku- sebagai lelaki maniac  karena kegilaannya akan fantasi dan sensasi seksual yang selalu menjadi orientasinya dalam menjalin hubungan dengan perempuan manapun dan perempuan macam apapun. Atau mungkin juga mereka dapat mengklasifikasikanku dalam sekelompok manusia dengan label biseks karena mungkin life style-ku yang baru kusadari 4 tahun lalu bahwa aku juga tertarik secara seksual untuk berhubungan dengan sejenisku. Lalu pernikahan antara aku dan kekasihmu yang saling berbeda kelamin adalah suatu ide terbaik dan paling logis untuk kami.
Aku ijinkan kekasihmu mengenalmu dan beberapa perempuan lain untuk menyalurkan dorongan insting dasarnya, dan aku diijinkan untuk berbagi segalanya dengan manusia jenis manapun juga. So far,… ini hal yang saling menguntungkan untuk kami. Jangan katakan aku tidak mencintai kekasihmu yang ternyata adalah suamiku. Aku mencintainya, dia juga mencintaiku ku kira. Tapi hubungan kami yang didasari atas ketertarikan secara fisik, yang kemudian berlanjut pada serentetan kompromi-kompromi atas kekurangan dan mungkin kelainan –atau sebutlah life style- kami masing-masing, telah terjalin begitu kuatnya. Aku selalu ingin memilikinya, karena itu aku menjadikan diriku sebagai tempatnya untuk pulang dan berbagi. Dia suamiku, ada saat dimana kamu harus mengembalikannya pulang padaku. Karena perlu kamu tau, dia tak punya tempat pulang lain, selain padaku, kasihanilah jiwanya.

Aku menikahinya dengan alasan yang paling masuk akal yang masih bisa kuterima. Aku tertarik dan tergila-gila secara fisik olehnya. Aku tak bisa menipu naluri terdalam yang -masih- tersisa denyutnya dalam kewarasanku. Aku mencintainya, dan dia cukup mencintaiku ku kira. Lalu apa yang membuatku harus ragu-ragu untuk memilihnya sebagai jalanku pulang suatu ketika nanti? Lalu kami semakin dekat dan membagi segala hal. Berbagi pasangan dan ranjang. Tak masalah bagiku ke-kurang-normalannya. Karena aku juga bukan sosok yang mendekati sempurna yang selalu ada untuk membahagiakannya. Lalu kami menikah. Dia tetap bisa berganti pasangan entah lelaki atau perempuan sejenis dengannya, dan akupun masih bisa seenakku berganti perempuan macam apapun yang aku mau.
Pernikahan kami bukan atas dasar penyelamat status sosial kami sebagai manusia normal di mata masyarakat. Pernikahan kami didasari rasa keinginan saling melindungi. Kami sama-sama sakit dan perlu memiliki tempat pulang untuk berlindung dan berbagi. Dia tempatku pulang. Karena itu aku selalu kembali padanya. Kukira dia pun sama. Aku mencintainya, lebih dari perempuan manapun yang kumiliki, hanya sayang aku tak mampu membendung dorongan insting dasarku untuk melakukan sesuatu dengan sejumlah perempuan yang berbeda. Bukan. Ini bukan berarti aku main-main menyatakan bahwa aku mencintainya segenap hatiku. Karena sesungguhnya bagi kami, mencintai bukan hal yang membuat kami saling membatasi satu sama lain.
Konsep cinta kami berantakan.

Delapan bulan lalu adalah malam terakhirku dengan suamiku.
Apa kabar dengannya?
 Selama 8 bulan ini kami hanya bertatap muka tak lebih dari jumlah jari dikedua tangan kami masing-masing. Aku mulai merasakan ketidaknyamanan yang tak kukenali disini. Aku mulai merasa jijik dengan tubuh perempuan yang selama ini paling kupuja keindahan segala lekuknya. Aku mulai merasa mual dengan segala desah rayu mesra sejenisku, entah kenapa ini menjadi tak semenarik saat sebelumnya.
Dua bulan terakhir aku menghentikan permainan favoritku dengan sejumlah kencan lawan jenisku. Tak lagi menyenangkan. Sensasi yang berbeda, aroma yang berbeda, hangat yang berbeda, aku merasa begitu berantakan dengan terlalu banyaknya variasi. Perubahan. Ah! Bikin mual!
Suamiku,… pulang.


Hanya sekitar Sembilan atau sepuluh kali kurasa. Ini membuatku merindukannya ternyata. Bahkan aku telah berhenti berpetualang sekitar kurang lebih 3 bulan terakhir ini. Pulang sekitar 2 atau 3 kali, bertemu sejenak tanpa aktifitas apapun bersamanya, lalu pergi lagi.
Ada rasa tak nyaman yang begitu besar saat menatap matanya yang selalu menyambutku dengan kesan “malam ini tidur dengan siapa” khas yang kurasa ingin dilisankannya untukku. Kata sahabatku ini rasa bersalah. Tapi bagiku, ini lebih pada pertanggung jawaban akan keputusan dan pilihanku untuk menikahinya.
Percayalah, aku sungguh tak ingin sekalipun membuatmu terlukan dan tersakiti.
Aku telah mengekang hasrat instingtif-ku selama kurang lebih 3 bulan ini, untukmu. Bukan karena aku menghindari penyakit, tepatnya aku menghandiri kamu tersakiti. Paling tidak, perbolehkan aku mencoba menjadi yang mendekati sempurna untuk melindungi kamu.
Sekarang aku ingin pulang,…padamu.


“Aku pulang”
“Selamat datang”
Aku melangkah padamu, kamu menatapku, berbeda, sangat lain.
“Aku kalah olehmu, aku menyerah.”
“Aku juga kalah olehmu. Boleh kita ulang segalanya dari awal?”


Room 12
(Would you?)

Kata K.A.M.I Berakhir (sebuah pesan)

“Aku sudah selesai”
“Apa?”
“Aku sudah mengakhiri kisah untuk kita berdua”
“Bagaimana bisa? Aku baru sampai tengah mengeja rasamu”
“Iya karena itu aku muak!”
“Hei, ini bukan salahku!”
“Salahkan dengkulmu!!”
“Hei!”
“Apa?!”
“Tak bisakah kita perbaiki?”
“Oh, kamu ingin memulainya dari awal lagi?”
“…”
“Memulai dr awal dengan ketumpulan hati yg sama??”
“Aku akan perbaiki…aku janji”
“Perbaiki dulu dengkulmu! Otakmu tertinggal disana!”
“Hei!!”
“Apa?! Aku MUAK!!!”
“Ayolaahh… Biarkan aku mencobanya sekali ini… ”
“Cari Jalang lain yg bisa kau terlantarkan sana!”
“Hei!!!”
“Sebut namaku laki-laki tengik!!! Aku bukan ‘HEI’ !!”
“Maaf…Ampun…”
“Maaf juga, Jalangmu yang ini sudah lunasi hutangnya akan janji yang kau beli dengan katamu!”
“Aku akan mati…”
“Aku akan datang di pemakamanmu. Aku akan menangis telah kehilangan lelaki bodohku”
“Sungguh! Aku akan mati!!! Biar kamu kehilangan!”
“Kehilangan?”
“Ya!! Lalu kamu merasa aku sungguh berarti! Biar kamu merasa bersalah sampai mati!!”
“Oh ya…tentu saja.”
“…”
“Aku akan merasa bersalah sampai mati. Tentu.”
“…”
“Tapi aku akan lebih cepat mati bila terus bersamamu”
“kenapa?! Kamu Tak adil!!!”
“Ya”
“Kenapa??”
“Karena kamu menyimpan hati untuk dirimu sendiri.”
“Apa?”
“Hentikan Apa-Kenapa-mu!!! Aku bosan ,dungu!!!”
“Tak kah tersisa bekas untuk ku korek kenangannya biar kamu kembali pulang?”
“Pulang?”
“Ya, karena aku tempat hatimu kembali…”
“Ya…sayangnya hatiku tlah ku gadai untuk tebus bebasku”
“Aku mencintai kamu”
“Bahkan cinta saja tak pernah cukup untuk menghidupi jiwaku!”
“…”
“Tandatangani perceraian hati kita!!”
“…”
“…”
“KAMU JALANG TER-BENGIS YANG PERNAH KUTIDURI CINTANYA!!!”
“Terimakasih”



 
(kucabut nafasku dari hatimu, ..maaf)