3.09.2011

"KONVENSIONAL"

Aku menyayangkan sesamaku. Sesamaku yang kurang mampu menghargai dirinya dengan cara yang paling beradap menurut segala pergeseran makna era ini. Kata orang manusia jaman sekarang mem-binatang. Kataku manusia era ini hanya sedang asik-asiknya menggunakan dorongan hewani-nya untuk merealisasikan segala drive yang bersarang dalam diri mereka. Sebenarnya bukan lantaran sekarang jaman bebas, maka semua bisa senang-senang, suka-suka, semau gue, seenak perut gue. Sebenarnya jika mau dinalar –dengan akal yang masih fungsional dengan norma yang semakin banyak pengkondisian dan penyesuaian dengan pergeseran jaman- yang semau gue, suka-suka gue dan seenak gue tadi masih tetap memiliki batasannya. 

Come on!
 
Kita hidup dalam ruang tak terbatas yang dinamai DUNIA, yang berarti KITA tidak sedang berdiri sendiri memiliki ruangan ini. Bahkan pada wacana ini “KITA” adalah subjek jamak yang berarti beberapa. Lalu bagaimana beberapa sesama saya di luar sana dengan pongah, petentang-petenteng meng”aku-aku”kan dirinya sebagai individu yang berdiri sendiri lantas bisa bertingkah semaunya dengan men-subjek-kan orang lain sebagai figuran tak penting dalam kehidupan mereka.
 
Sudah bijakkah?
 
Bukan berarti disini wacana yang saya angkat adalah sebuah pembenaran dari tataran nilai-nilai sosial kemanusiaan yang mendewakan unggah-ungguh, kebersamaan dan empati, bahkan bukan sekedar itu. Sebenarnya melalui ruang sempit ini saya ingin mengajak sesama saya untuk kembali menjadi gelas setengah penuh (karena mungkin tidak semua kalimat saya ada benarnya dan ada sesuainya) untuk menerima sedikit perenungan kecil tentang hidup.
 
Belakangan ini saya sering mengandai-andai bila di bola besar yang kita pijak dan dinamai bumi ini sedang diberlakukan satu aturan konvensional yang serempak dan universal.
 
Bagaimana jika seisi bumi menyepakati untuk tidak boleh mencintai sesama jenis?
 
Bagaiman jika seisi bumi ini menyetujui aturan untuk tidak mengijinkan sebuah life style terkini yang kita kenal dengan samen leven?
 
Bagaimana jika seisi bumi ini mengutuk suatu cairan senyawa melenakan yang disebut alcohol?
Bagaimana jika seisi bumi ini melarang adanya perceraian?
 
Apakah seperti ini kehidupan yang dimaui seisi bumi?
 
TIDAK! 
Saya berani jamin!
 
Hei! Bukankah hidup ini adalah kenyataan yang paling berwarna ragam dan ceritanya? Apa kalian pikir akan ada objek yang bisa dipelajari oleh para ilmuwan, cendekiawan dan orang-orang yang 70% dari otaknya itu berisi semacam kerutan dan area abu-abu, jika ternyata dunia ini isinya adem-adem aja?!
 
Apa kalian pikir hidup ini akan mencapai homeostatis kekal jika semuanya baik-baik saja?
Apa ada yang lupa kalau di dalam rumus hidup itu ada suatu istilah yang berbunyi “DI-NA-MI-KA”??
 
Itulah kenapa pada akhirnya manusia akan saling membutuhkan satu sama lain. Yang ingin selingkuh akan membutuhkan pasangan selingkuh, yang ingin menjalin cinta juga membutuhkan pasangan bercinta, yang ingin cari gara-gara juga pasti butuh musuh. Ini yang kita namai dikotomi ‘kan?
 
Segalanya berpasangan, dan segalanya berlawanan.
 
Siang-Malam ; Baik-Buruk; Lelaki-Perempuan; Kalah-Menang… 
Apakah menyenangkan hidup yang hanya lempeng-lempeng saja? Apakah ada yang kita curi, ambil, petik sebagai nilai untuk dipelajari jika hidup ini isinya seragam?
 
Dan syukurlah kita ini hidup di DUNIA NYATA yang dimana di dalamnya ada nano-nano cerita, ada aneka ragam manusia dan jenis perwatakannya. Kita mungkin tidak bisa menyeragamkan nilai, kita mungkin tidak bisa menyelaraskan langkah tujuan, tapi setidaknya kita ini masih sangat-amat mampu menemukan cara paling manusiawi untuk menjadi manusia kan?
 
Yang mau samen leven ya sudah, sana jalani hidupmu, asal jangan ganggu orang lain, asal jangan rusak generasi lain, simpan segala alasan “terkuat” apapun yang kalian punya untuk membenarkan pilihan kalian, tapi jangan sebarkan pada publik. Saya tidak membenarkan life style ini, tapi saya juga tidak pernah menyalahkan ini, toh semua keputusan sudah didasari dengan niat dan maksud kan? Lalu apa masalahnya jika mereka saja (si pemeran utama) sudah cukup siap dan tangguh untuk menghadapi segala macam resikonya? Nggak mungkin juga ‘kan orang bebrbuat tanpa terlintas kemungkinan apapun yang akan terjadi setelahnya? Pasti ada, pasti terlinta, walau hanya sementara atau benar-benar sepintas lalu. Yang saya sayangkan adalah tingkah “SOK PAMER” orang-orang macam ini, apa baiknya sih pamer-pamer hal yang kita tau banyak tidak disetujui orang lain? Ya sudah to, main sembunyi-sembunyian, tutup rapih dan bertingkahlah sopan. Di situ saja point nya buat saya.
 
Yang saya kecewakan dari berbagai persepsi public adalah bahwa “akhlak” manusia yang luar biasa bagusnya ini hanya diukur seputar dengan urusan selangkangan dan alcohol.
 
Sayang sekali kan?
 
Apakah tidak ada sesama saya di luar sana yang berakhlak ‘kacau’ walaupun dia tidak terlibat dengan 2 hal yang menjadi parameter tadi? Apa kabar dengan beberapa pelajar manis-manis kucing yang tumbuh dan dewasa hanya untuk menjadi seorang koruptor atau sekedar perampas hak sesamanya walaupun dirinya terbebas dari godaan selangkangan dan alcohol? Apakah ini cukup beradab?
 
Apakah bijak juga bila sepasang penganut life style samen leven dan seorang pecinta alcohol akan ditolak niat baiknya untuk sekedar membagi kebahagiaannya dengan sesamanya yang membutuhkan? Ada jaminan darimana bahwa apapun yang mereka berikan adalah sama haramnya dengan apa yang mereka geluti?
 
Apakah kamu akan membenci ibumu yang mantan alcohol addict, lalu melupakan jasa besarnya dalam mengandung, melahirkan, membesarkan dan mengajarimu mengeja A-B-C ?!
 
Nah!
 
Bisakah mulai sekarang kita memfokuskan pada pembenahan diri masing-masing terlebih dahulu sebelum mengoreksi dan menginterupsi orang  lain? Setidaknya jangan membuat diri sendiri kecewa dan malu dikemudian hari karena idealis sendiri.
 
Percayalah bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki banyak kesempatan dan pilihannya masing-masing untuk menjalani hidup mereka?
 
Bukan berarti kita tidak berhak untuk berempati, bersimpati dan mengingatkan. Tapi cobalah untuk menjadi manusia yang paling manusiawi, setidaknya untuk dirimu sendiri.

   

3.01.2011

BAHASA HATI


Yang perempuan sibuk di hadapan layar menyala, menyeruput kopi sesekali, meneguk, mencecap bekas yang masih melekat di lidah. Matanya nyalang menatap benda datar menyala. Jemarinya liar bergerak kesana-kemari, sedang merangkai aksara yang tercecer dalam khayalnya. Wajahnya kaku, beku kehilangan suhu yang semestinya tertinggal setelah pergumulan setengah jam sebelumnya. Cepat sekali dia mendingin.

Yang lelaki sedang sibuk dengan seperangkat multimedia lain. Monitor dengan jumawa bertahta di hadapannya, kini malam menjadi miliknya bersama benda mati itu. Sebatang rokok menyembul di sela telinganya, sebatang lagi sedang berasap terselip di sudut kanan bibirnya, kurang lebih begitu caranya mencari bahasa. Menerjemahkan rasa pada bait-bait kata. Wajahnya dingin, seakan hangat tak mau berlama-lama mendekam dalam dirinya, lupa bahwa setengah jam lalu dia adalah pria paling hangat di muka bumi ini.

                                                                               ***

“Aku membunuh kata-kata.”
“Aku juga mengaborsi bait-bait patahati dari rahimku.”
“Kita berubah menjadi pembunuh atas kehidupan kita masing-masing.”
“Bukan. Kita hanya lupa bagaimana cara meniupkan napas pada mereka hingga mereka ingat cara menjadi hidup dalam diri kita.”
“Ya,…aku rasa”
“Ya,…mungkin saja”
Yang laki-laki merosot dari singgasana malamnya. Yang perempuan melengos dari bilik nyaman kesayanganya, lalu mereka sibuk bersandang, menutupi luka borok masing-masing.
Yang laki-laki turun dari kasur, mengecup singkat kening Si Perempuan, tanpa senyum, hangat benar-benar lupa permisi, pergi begitu saja. Yang perempuan bangkit dari kasur, menyalakan rokok dari meja nakasnya, kembali ke bilik pribadinya. Rupanya hangat juga hanya sekedar singgah sejenak di dirinya. Dua insan ini budak. Budak dari kata-kata yang mendoktrin makna – demi makna yang mereka gumuli dengan penuh hasrat yang tersisa dari sekedar hidup mereka. Bagi mereka, cinta sekedar rasa yang berujung pada sebentuk ilham yang akhirya mereka tuangkan sambil berlama-lama bersenggama dengan multimedia. Mereka bukan tak bisa bercinta. Mereka hanya lupa bagaimana benarnya merasakan cinta. Mereka hanya sekedar membagi, menjadi sarana rasa satu sama lain.
                                                                                ***
Perempuan.

Aku kehilangan rasaku. Dia yang sedang duduk tersita jiwanya disana adalah pasanganku, ntah kami bisa disebut apa, aku membutuhkannya untuk melahirkan kata-kata, aku menginginkannya ada untuk membantuku menemukan rasa untuk memungut ceceran kata yang kucampakkan di sudut hatiku sana. Dia yang sedang tersandera bahasa itu, adalah pasanganku. Kami berbagi cara menemukan jiwa bagi kata-kata kami. Entah kami bisa disebut apa. Aku hanya membutuhkannya untuk ini itu demi lakihkan tulisanku. Tapi demi Tuhan, aku benar-benar tak ingin kehilangan dirinya, dengan satu alasan yang entah apa. Belum kupelajari tingkat abstraksinya hingga mampu ku deskripsikan persis dengan bendahara bahasaku, melalui metamorf-ku.

“Katakan kamu mencintaiku.” Suatu malam aku memintanya, ditengah-tengah ritual berbagi kami.

“Aku mencintaimu… sangat mencintaimu.” Demi Tuhan ada sesuatu yang bergemuruh di dadaku, semacam bentuk rasa yang selalu ku terjemahkan dalam bahasa tulisku. Ironisnya aku meragukan rasa itu ketika aku diambang pintumu.

“Apakah kau membutuhkanku?” Masih dengan penyangkalan rasa yang sama, aku mengingkari isyarat hatiku.

“Apakah aku bisa memintamu untuk itu?”

“Tak perlu. Aku memberinya cuma-cuma padamu. Seutuhnya.”

“Aku menerimamu, seutuhmu..”

Kamu tak pernah tau. Aku sedang gamang dengan tatapmu, dengan katamu, dengan sentuhanmu. Kamu tak pernah tau, aku kehilangan sesuatu bila kamu pergi ke sudut sana dan mencampakkanku.
                                                                               ***

Lelaki.


“Katakan kamu mencintaiku..” suatu malam disaat perjamuan kita berlangsung, kamu mengatakannya. Demi Tuhan ada yang berdesir lirih di dadaku. Tanpa kau minta aku akan mengatakannya padamu, sebentuk rasaku, yang walaupun kadang tak kumengerti tapi pasti kuyakini.

“Aku mencintaimu..” aku mengucapkannya dengan caraku, yang mungkin tak mampu membuatmu yakin dengan tatapku. “sangat mencintaimu..” aku meyakinkanmu kali ini. Kumohon, percayalah. Aku hanya tak bisa dengan baik menyampaikannya. Kumohon jangan tatap aku dengan tatapan nanar seperti itu, benar adanya aku memang sangat mencintaimu.

“Apakah kau membutuhkanku?” hampir roboh aku kau hantam tanya itu. Miris hatiku mendengar itu. KKau tak mempercayaiku yang menyampaikan rasaku padamu dengan satu-satunya caraku. Kumohon percayalah, aku hanya tak pandai menyampaikannya dengan kata, aku hanya bisa bermain bahasa.

“Apakah aku bisa memintamu untuk itu?” Demi Tuhan kali ini aku benar-benar memintamu. Percayalah padaku, pada apa yang kuberikan padamu, pada apa yang kuminta darimu.

“Tak perlu. Aku memberinya cuma-cuma padamu. Seutuhnya.” Kamu tetap menatapku dengan cara yang sama. Mata nanarmu melukai hatiku yang sedang memohon padamu.

“Aku menerimamu, seutuhmu..” Semoga kamu mengerti, aku bermaksud untuk memelukmu sepenuhnya menjagamu. Semoga.

Kamu tak pernah tau, aku sangat menginginkanmu percaya bahwa aku sangat menginginkanmu seutuhnya. Aku hanya tak mampu memberitahukannya dengan cara termudah untuk kau pahami. Aku selalu pergi ke sudut sana, terduduk kaku di depan monitor, bukan bersibuk diri dengan bahasa, bukan apa-apa, aku hanya sedang membunuh takut dalam diriku untuk memintamu mencintaiku. Aku hanya tak mampu mencari cara terbaik untuk memberitahumu.
                                                                               ***

“Aku ingin bicara”

“Bisakah kau bicara setelah aku bicara padamu sebelumnya?”

“Soal apa?”

“Soal hati..”

“Kenapa?”

“Entahlah, aku hanya sedang tak menemukan kata yang tepat untuk kujadikan penghantar rasa suciku padamu”

“Tak usah. Karena aku juga tak mampu menemukan kata yang pasti untuk memberitahumu seberapa entah apa ukuran yang pasti untuk menunjukkan rasaku padamu”

“Apakah ini soal cinta ataukah ini soal kasih aku tak pandai berkata-kata dalam bahasa”

“Ya, apakah ini tentang rasa apakah ini perkara asmara aku juga tak tau pasti.. aku tak pintar berolah kata dengan bahasa”

“Ada debar yang tak mau kuredam untuk diam saat aku bersamamu, dan ada getar yang menggelegar tak mau berdamai denganku saat aku jauh darimu…apa kau tau?”

“Mungkin semacam desir lirih yang tak pernah mati bisikkan namamu di hatiku, yang semakin nanti semakin membuatku menggelepar jika aku tak bertemu kamu…”

“Apakah aku mencintaimu?”

“Aku tak tau. Tapi kau cukup tau aku mencintaimu, lepas dari sebentuk rasa yang saat ini kau yakini hanya untukku atau apalah itu. Cukup aku mencintaimu. Dan semua akan baik-baik saja.”





saat aku dan kamu
bersatu menjadi kita
itulah "cinta"
(16.00)
dalam kubikelku