11.21.2012

Lagi Serius Soal Kerja


Suka bingung gue sama perusahaan-perusahaan alay yang suka ngasi nama-nama posisi atau jabatan yang gak jelas dan undefineable. Menurut gue, perusahaan-perusahaan mace mini, adalah tipikal perusahaan-perusahaan yang PHP. Kasih lah nama AMBASADOR…Beuh!! Keren! Bayangannya udah macem mascot perusahaan. Siapa yang ga mau meeen?!

But guess what?

Kerjaannya jauh dari sekedar mascot yang cukup bediri mentereng dan di elu-elukan.
Ini semacem tipuan untuk menjerat man source apa ya?

11.20.2012

QWARTET


Perempuan ke 2 hari ini. Hari yang luar biasa, juga dengkul yang luar biasa. Kuinjak pedal gas dan segera beranjak dari tempat ini. Interior yang bagus, minimalis, tapi selalu mampu membangun atmosfir yang pas. Wanginya,…

***

Sial! 

Duitku habis! 

Credit card pun makin mendekati limit. Bisa mampus bayar tagihan bulan depan! Moreno juga pasti tak punya terlalu banyak sisa gaji untuk dihambur-hamburkan padaku. Ah! Laki-laki itu! Penuh cinta, tapi kantongnya kering minta ampun! Tentu saja aku tak rela beranjak dari ladang yang rajin dihujaninya cinta dan disiangi kasih. Tapi life style macam ini pun menyiksaku. Dia sangat mampu memenuhi kebutuhan batinku, kosong di materi duniawiku. Bahkan kata orang rajin makan cinta pun tetap membuat tubuhmu kering kurang gizi. Aku menginginkan 2 pasang sepatu itu, sebuah minidress yang membalut ketat manekin di depan sana dan lagi, aku butuh biaya untuk perawatan mobilku. Bulan masih berjalan setengah, dan napas finansialku sudah tersengal-sengal. Aku butuh Oase di padang tandus ini.

“I saw you” blackberry message from Reo. Aku celingukan, ada sesuatu yang membuncah, ada harapan yang harus aku kejar dengan benar, Oase!

“So, let me know, where are you, Sugar” masih celingukan, ujung kanan ke kiri, kusisir semua area terdekat. Nihil. Damn!

“Walla!” sepasang tangan kekar mencengkeram hangat kedua belah pundakku, bahkan aku merasakan hembusan nafasnya di sepersekian bagian tengkuk terbukaku. Well, let’s make it fast!

“Reo!! Hey, its been long time no see. I miss you, and wohooo, Great! Bahkan aku bakal tergila- gila padamu walaupun aku tau kamu seorang player! ” Damn! Harus kah? Harus! Demi hasrat hedonism ini. Gila!

“Haha, let’s see, apa yang dicari nona cantik ini disini”

“Nope! Hanya window shopping, tanggal berapa menurut lo?! Gw karyawati, bukan pengusaha macem lo.”

“Nine west? Ah! Nice one!” Kena! Aku rasa dia mengamatiku sedari tadi, mari kita lanjutkan permainan ini, mari dipercepat!

Well, 2 pasang stiletto, sebuah minidress dan kita sedang dalam perjalanan menuju apartemenku, dengan mobilku tentu saja, modus belum goal semua.

“Sorry yah panas, AC lagi trouble, anyway, thanks untuk surprise gift-nya yah. Selalu loyal seperti biasa.”

“Ini mobil bukannya deket-deket apartemen kamu ada dealernya? Kenapa ga dibawa kesana? ”

“Ah! Mahal bung! Tunggu aja mpe akhir bulan, tunggu pasokan rutin bulanan. Hahaha.”

“No no no. Let me bring it after a cup of coffee at noon.” Dengan kata lain, Reo menjeratku dengan modus Sex at Lunch-nya. Ah! Laki-laki!

***

Kita sudah 3 hari semakin intim. Bahkan dia semakin intens menghubungiku lewat media telekomunikasi macam apapun, socmed tak luput dari hujan perhatian. Risih? Yang benar saja! Sudah lama juga aku tak diganggu sensasi antara terbebani dan berbunga-bunga ini. Klien kantor, seorang pengusaha muda. Entahlah, biasanya aku cenderung lebih selektif dan membentengi diri dari stranger, tapi kali ini entah kenapa ini menjadi menarik.

“View yang bagus juga. Lumayan buat tontonan sambil minum secangkir kopi malam-malam begini.” Lantai 17 suatu gedung apartemen di bilangan pusat Kota yang lumayan terkenal hiruk-pikuk lalulintasnya, justru itu yang membuat unik, hiruk-pikuk yang tersulap sebagai langit terbalik dengan kerlip merah, putih dan kuning.
“Yang kita minum malam ini Wine, darling.” Di sodorkannya gelas kecil ramping berisi wine padaku, tangan yang lain merai pinggulku. Sepertinya aku tau kemana akhir dari perjamuan malam ini.

Di antara langit tengah kota yang gelap dan lengang, kemerlip lampu-lampu di bawah sana, wine mahal ini dan parfum yang entah apa merk-nya, aku dan Reo tenggelam dalam malam.

“Pagi nanti aku akan mengantarmu pulang..” dibisikkan persis ditelingaku sambil membimbing sepasang tanganku untuk masuk ke meja perjamuan malamnya.

***
“Moreno, selesaikan laporanmu malam ini juga, besok saya akan memakainya untuk bahan meeting. Dan,…saya mau kamu menjadi asisten saya selamat meeting.”

Damn! Lagi.

Aku harus melewatkan seharian dengan pekerjaan. Siang tadi aku gagal menemani Walla makan siang, dan malam ini pun aku harus absen dari kunjungan ke rumahnya. Pekerjaan ini menyita waktu pribadiku.

Tadinya aku ingin memberi sebuah kejutan untuk Walla-ku. Aku tau ia sudah lama mengincar stiletto dengan brand harga selangit itu. Dan malam ini harusnya aku mendapatkannya dan memberikannya sebagai kejutan.

Ah! Bahkan ekspresi girangnya sudah tergambar jelas dalam benakku. Dan kenyataannya aku harus menunda untuk melihat ekspresi girangnya malam ini. Mungkin besok.

Terkadang aku kecewa pada diriku sendiri karena keterbatasanku dalam memenuhi keinginan dan life style-nya, Walla-ku memang seorang putri yang menjelma dalam wujud manusianya, lagi-lagi seorang putri tetap membutuhkan segala hal yang terbaik. Dan aku ingin Walla mendapatkannya, karena itu aku berupaya untuknya.

“Besok malam Walla, sayang…” aku berbisik pada foto berbingkai yang bertengger manis diudut meja kerjaku.

***
Aku berusaha sekeras ini untuk mendapatkan sesuatu yang bisa membuatku mendapatkan segala yang aku inginkan. Aku tak peduli waktu. Aku tak mau tau tubuhku. Aku ingin peningkatan dan peningkatan. Uang. Yang banyak.

“Pak Reo, tender kita menang lagi Pak!”

“Oke. Kamu urus, saya mau pergi makan siang.”

Hari keberuntunganku. Pagi tadi aku terbangun dalam pelukan seorang perempuan unik, salah seorang konsultan usahaku. Setelah pesta wine, kita menikmati malam seperti semestinya. Dan masih ada jamuan pagi setelahnya. Awal hari yang hebat. Siang ini aku mendengar kabar tentang menang tender. Pemasukan baru yang melimpah. Aku harus bersenang-senang merayakannya.

“Walla!” kucengkeram 2 belah bahu telanjang itu. Menggoda sekali. Akhirnya kuberanikan diri untuk menyapa perempuan cantik angkuh ini setelah kuamati barang-barang yang diincarnya sejak sejam lalu. Menaklukkan perempuan macam ini, butuh lebih banyak uang.

Benar saja, kita sedang dalam perjalanan menuju apartemennya. Aku tau Walla tipikal perempuan pintar yang tau caranya berterimakasih, dan dia cukup pintar juga membaca maksud kunjunganku siang ini. Mari kita lakukan apa yang semestinya.

Mobil keluaran baru ini memang jauh standarnya dari koleksi mobilku, tapi untuk seorang karyawati perusahaan skala nasional, yang seperti ini sudah melebihi level. Ucapan terimakasihku atas jamuan special dari Walla, Sex at Lunch, kubereskan urusan kecil mobilnya.

Perempuan ke 2 hari ini. Hari yang luar biasa, juga dengkul yang luar biasa. Kuinjak pedal gas dan segera beranjak dari tempat ini. Interior yang bagus, minimalis, tapi selalu mampu membangun atmosfir yang pas. Wanginya,…






191112 at 00.47
bilik lain dari semestinya
Semacam Rantai, Mengait satu sama lain

10.25.2012

Favorite Sins


Astaga!


Sebuah kesalahan lagi. Terulang lagi. Semacam favourite sins. Laki-laki ini terlelap dalam posisi hampir tengkurap  di sebelahku. Aku masih terlindung selimut. Basah. Pengap sisa keringat. Beringsut pelan dari kasur yang tak lebih tebal dari 15 cm dari permukaan lantai. Ruang yang lumayan membangun mood untuk perjamuan tengah malam. Not bad. Gelap. Derit putaran fan sedikit mengusik sepi yang coba kuundang kembali. Aku suka tempat ini. Mengingatkanku akan suatu tempat yang pernah menjadi tempat terfavoritku dulu. Kamar yang lengang. Tak terlalu banyak barang walau memang orang di sebelahku ini kurang pintar menatanya dengan rapih. Bagaimanapun aku lebih menyukai kamarnya ketimbang kamarku dengan ukuran kotak dan beratap tinggi, membuatku tampak begitu kecil di dalamnya. Lantai dengan lapisan unik ini lumayan membuatku nyaman menidurinya, bantal hanya satu, entah bagaimana dia bisa menghabiskan sepanjang malam dengan cukup sebuah bantal tipis. Tanpa seprai pula. Ah! Lelaki. Tapi bagaimanapun, seperti yang kubilang sebelumnya, aku lebih suka ruangan ini ketimbang kamarku dengan banyak barang remeh-temeh yang memang tak bisa ku buang satu-satu.

Dia mendengkur halus. Sama seperti laki-laki lain sebelumnya. Karya sisa perjamuan nampaknya.

Ada sebuah sesak yang mendesak di dalam sini. Ada semacam rasa absurd yang mengganggu di sekitaran perut dan dada. Rasa yang selalu sama setelah perjamuan baru.

“Satu, dua, tiga, empat, … lima” aku menggumam tertahan. Menghitung ada berapa perjamuan seumur hidupku. Dua kali berada diangka yang sama, sisanya unggul atau tertinggal.

Langit-langit kamar rendah, putih, berdebu di sudut-sudut kaca jendela. Hidungku gatal. Aku merasa dingin. Beranjak dari lantai, kembali ke matras atau apalah namanya, mencoba mencuri hangat darinya. Dan nihil. Hasilnya tak sama.

Memang bukan dia. Sejak awalpun hati ini berkata bukan dia. Tapi sepasang mata dengan cekungan dalam itu memang membius. Membuat segalanya terlupakan, menjadikan segalanya legal dan halal. Berawal dari rasa penasaran pada bibir yang unik, mata gelap dengan cekungan dalam miliknya, dan punggung yang tak terlalu tegak menopang wibawa. Tidak terlalu mempesona memang. Hanya saja, rasa adalah rasa, dan rasa nyaris tak terelakkan. Juga hasrat liar naluriah yang sedang melambung tinggi seakan dipanggil-panggil.

Dan segalanya menjadi tepat malam ini.

Sudah bisa terprediksi sejak awal prosentase terbesar yang terjadi setelah pertemuan kami. Mencuri perhatian memang tak mudah, tapi juga tak begitu susah untukku. Dan masih dengan cara yang sama aku bisa mengundang mereka datang ke sarangku pada akhirnya.

Hhh, … kosong sekali batin ini.

Laki-laki ini hanya mampu memenuhi sebagian ragaku, bukan relung-relung sepi yang menganga di dalamnya.

Dan dari skala 1 sampai dengan 10, aku memberinya 6,8. Tak terlalu berkesan seperti yang terakhir. Dia tak mampu mengambil hati dalam perjamuan suci. Hanya berjibaku sendiri menemukan miliknya. Jemariku luput, kening ini tak tersentuh, helai-helai rambut pun berurai apa adanya. Tak menarik untuk sebuah awalan. Sialnya, aku menikmati bagaimana ia memandangku, menelanku dalam cekungan gelap matanya. Itu satu-satunya pesona.

Yang lupa kusampaikan padanya adalah, …


“Aku menyukai matamu yang cekung, mata yang sama dengan mata mantan kekasihku.”




Kali kedua pertemuan diam-diam antara aku dengan perempuan ini. Mengerikan. Ia hampir mampu membaca banyak hal yang kupikirkan. Nyali ini masih ada. Aku menggilai tubuhnya, sepasang kaki yang sering dipertontonkannya dalam balutan baju kerjanya. Sepasang kaki yang tak lebih menggoda dari bagian belakang tubuhnya yang memang menjadi pusat daya tariknya. Ah, tidak juga… wajhnya tak cantik, tak juga terlalu jelek, ia ahli mengemasnya dalam kesan unik yang membuat setiap pemiliki sepasang mata yang melihatnya menjadi bergidik dan terpesona secara bersamaan.

Nyali dan naluri ini memaksa kerja tubuhku mendekatinya dengan sebuah rasa penasaran. Perempuan yang lumayan cerdas dengan gaya bicaranya yang tak biasa dan berani menembak tepat sasaran. Aku tau ia mampu membaca segala hal yang terlintas dalam pikiranku di beberapa situasi, namun disini permainannya. Aku mengijinkannya memasuki-ku untuk memberiku jalan masuk ke pintunya.

Menarik.

Setelah beberapa malam lalu dimana aku dan perempuan ini menghabiskan dini hari dengan berpakaian lengkap dan bicara ini-itu, aku ingin hasil yang mampu memenuhi alasan akan nyali yang meninggi dan hasrat yang menari-nari belakangan ini.

Aku sedang bermain layang-layang. Sama seperti masa kecil dulu, aku masih ingat caranya, untuk membumbungkannya semakin tinggi, aku perlu menarik benang terlebih dahulu sebelum mengulurkannya cepat-cepat, dan kuulang berkali-kali, jika angin sedang berpihak, aku bisa mengikat talinya di suatu tempat, lalu bisa kutinggal sejenak bermain gundu atau yang lain.  

Malam ini kami sedang berada dalam satu atap. Rumahku tak begitu besar. Bukan bangunan mewah. Aku tak terlalu yakin mengajaknya masuk ke kamarku sendiri, masih terlalu banyak kenangan soal perempuan terakhir yang menidurinya bersamaku.

Aku tau ia mampu membaca alasanku yang picisan untuk memaksanya secara tak langsung singgah di rumahku. Tapi biarlah, toh dia juga lumayan cerdas untuk menembak kemana akhir undangan ini, dan selama ia masih dalam gaya yang sama, maka aku tau itu bukanlah masalah baginya. Dan sepertinya aku mulai meyakini perempuan ini juga memiliki rasa penasarannya sendiri tentangku.

Rambutnya panjang terurai, sesekali diacaknya sendiri, sudah 3 batang rokok habis dihisapnya. Sampai saat yang tepat, dimana jarak antara aku dan dia hanya sebuah jari, dan segalanya terjadi.

Perempuan yang unik. Binal bagiku. Tapi cerdas membawa suasana permainan ini. Dia bisa membaca persis betapa rindunya aku pada sesuatu, dan diberikannya dengan lebih dari sekedar yang aku bayangkan.


“Aku mau tidur. Bangunkan aku besok pagi. Antar aku pulang.”



Salam perpisahankah?






Siapa yang punya jaminan akan sesuatu yang kekal
251012  di 00.07Membunuh sesuatu di dalam sini

10.15.2012

Kita, Berbeda.




Tasbihku tetap tak pernah sama dengan rosariomu...
Kiblat kita sama, sujud kita berbeda kubu
Aku memintamu dlam doaku,
pun kamu memintaku dalam doamu
Ada'kah turun pertanda?

Kita bahagia?

Aku ragu..

Aku bahagia?
Ya.
Termat.

Kau?
Entahlah.
Cari jawab dalam dadamu, dalam getar yang bersemayam.


Jesusmu...
Allahku...
Kita berdoa hal yang sama...
Untuk kebahagiaan diri...

Yang berbeda, aku memintamu dalam kebahagiaanku..

Kau?
Entahlah...
Temukan jawab yang kau kunci dalam dadamu,
lewat debar, yang menggelegar.



Kita Berbeda
Satu tamparan rohani, dalam 2 kubu
AKU-KAMU
disini. 151012
di 23.23

10.01.2012

Bagaimana Jika Aku Pergi?

Pernahkah aku memberitahumu soal getar yang tak pernah habis di dalam sini,Sugar?

Ia menguat dan melemah seirama degub jantungku..

"Kamu mencintaiku?"

"Yes, dear...I do love you"

"Seperti apa?"

"Seperti aku mencintaimu"

"Sebesar apa?"

"Besaaaarr sekali"

"Kamu takut kehilangan aku?"

"Yes, of course"

"Kalau aku ilang, kamu bakal bingung?"

"Iya lah, dear"

"Kamu bakal cari?"

"Pasti"







Seringnya
011012
Kamu dalam  kenangan

9.19.2012

Malam Penantian




Batang keenam. Janjinya dalam hati, di batang ketujuh, ia akan pergi walau harus mengemasi sakit hati dan menelan bulat-bulat pil pahit yang diramunya semenjak tadi di café kopi. Desperate sekali perempuan satu ini. Lelaki yang sudah semestinya menjadi suaminya itu tak pulang malam lalu, kemarin malam, dan roman-romannya akan begitu juga malam ini. Hatinya sedang hening tanpa tuan rumah. Lampu-lampu kasih padam tanpa saklar ajaib yang disentuh untuk sekedar menghidupi rasa dan hantaran getar gelora dalam dinding-dinding cintanya.

Masih di meja yang sama. Sebuah persegi kayu dengan salah satu kakinya yang timpang, membuat resah semakin kentara setiap kali ia menjatuhkan beban lewat tumpuan sikunya dimeja. Kaki-kakinya seakan turut menciptakan irama gelisahnya, menciptakan goncangan-goncangan halus berirama pada tubuhnya. Kopi masih setengah cangkir, tak diacuhkan. Kopinya masuk angin, kedinginan dalam wadah. Badannya lebih banyak lagi diterjang angin. Tak jauh di depannya sebuah AC terpampang jumawa. Dia bukannya tak tau badannya terlalu sensitive merespon dingin, hanya saja dia sedang lupa, teralihkan oleh sibuknya aktifitas untuk menanti seseorang.

Batang keenam sudah musnah. Dihujamkan keras-keras penuh tekanan puntungnya di atas asbak. Tak puas, bara-bara kecil yang mengharap terang oranye pun masih disundut-sundut oleh puntungnya yang makin bengkok. Sakit hati menyalar diujung jemarinya. Matanya gelisah, jauh lebih gelisah jari-jemarinya, antara mengerling ke bungkus rokok, dan mengetuk-ngetuk acak permukaan mejanya. Cangkir kopi akhirnya. Disesap hingga seperempat, asam-pahit tertinggal di langit-langit mulutnya. Jelas tak sepahit apa yang dicecapnya sejak malam lalu.

Mengulang gelisah. Meja makin bergerak naik turun seiring dengan gerak tumpuan sikunya. Kaki berayun makin acak. Rambut diselipkan kebelakang dua sisi telinganya. Indera dengarnya dipersiapkan tajam-tajam menangkap sekecil apapun kemungkinan yang dinantinya.

“Last order, kakak.” Seorang waiters menunduk sopan di hadapannya. Membuyarkan kegelisahannya sekejap. Menjadi sepersekian alaasannya untuk sempat gelagapan, antara kaget dan upaya keras untuk menahan terjunnya airmata.

“Secangkir lagi hot mandaeling.”

“Baik, kakak.”

Ia mendengus. Antara lega dan kesal, entah dominan yang mana.

Seperempat gelas terakhir dihabisinya dalam sekali angkat dan teguk. Mirip-mirip tukang becak, setengahnya lebih mirip janda desperate. Lagi, jemarinya mengetuk dengan irama yang lebih jelas diatas meja. Ia memiliki alasan menunggu lebih lama kini, secangkir lagi hot mandaeling yang dipesannya.

Pandangan matanya berpindah-pindah, antara meja, ketukan jemarinya, mengulas pandangan sejauh mata memandang, dan smart phone yang tergolek di samping kirinya. Makin ngenes menyadari, tak ada yang sedang memikirkannya, terlebih, tak ada yang mencarinya.

Ia merutuki dirinya dalam hati. Merutuki harapan-harapannya yang kian hari kian membumbung tak tau diri. Merutuki diri yang kian lama kian keras kepala meyakini sesuatu yang tak juga persis pasti. Merutuki mengapa harus lelaki ini yang berbuat begini padanya. Terakhir, merutuki diri sendiri. Kembali ke dalam, menyakiti diri lagi.

Mandaelingnya sudah mengambil posisi di hadapan. Asap tipis mengepul. Aroma yang selalu dirindukannya. Khusus malam ini, aroma ini kalah saing dengan aroma lain yang menguar dari tubuh seseorang yang belum juga beranjak pulang padanya.

Kerlip merah. Mengedip nakal dari smart phone-nya. Hatinya makin gelisah. Ia memejamkan mata. Memanjatkan doa dalam hati, meraung-raung pada Tuhan yang diyakininya dalam hati, meminta dengan histeris,

“Biarkan dia Tuhan. Biarkan dia. Berilah dia untukku.”

Pelan, ragu, diraihnya gadget yang makin lama makin murah itu.

“Aku mencarimu… Kau tak ada…dimana?”

Aneh. Ia tak merasakan apa-apa lagi. Sepertinya tiga malam penantian cukup membiusnya untuk matirasa. Tak ada lega, tak ada getar. Ia sempat akan mencari dan memanggil rasa, tapi sesuatu yang kuat dalam dirinya berkata “Tidak”.

Batang ketujuh saat ini. Mandaeling masih menguapkan sisa aroma dan asap tipisnya.

Ia beranjak dari duduknya. Duduk gelisah semenjak beberapa jam lalu. Batang ketujuh masih terselip di sudut kanan bibir merah tipisnya. Kepalanya sedang dipenuhi akan arah.
Arah menemukan rumah baru.  


  


Meja berbeda yang tak pernah kunikmati bersamamu
190912
di 22.50
"ada harga yang harus kau bayar pas.."

25 di 27 lalu ... kau tinggalkan luka, bingkisan pertama darimu

Hariku beberapa menit lagi akan berlalu…

Kamu belum datang.
Aku berharap ada dering di telepon genggamku, yang membawa kabar tentang kamu.

Tapi kamu tak ada.
Tidak kabarmu, atau wujud kasatmu.
Aku tak tau kamu dimana dan seperti apa kabarmu.
Yang jelas, aku menantimu seharian.
Berharap kamu datang dan membawa kecerahan.

Ini hariku.
Harusnya kamu tidak melupakannya.
Harusnya kamu tahu sebagaimana pentingnya hari ini untuk aku jadikan bahagia.

Hariku tinggal 24 menit lagi.
Dan aku masih belum tau kamu dimana dan seperti apa keadaanmu.

Yang jelas aku kacau.

Aku membujuk diri seharian.

Aku menipu diri untuk kuat dan tetap bertahan memenangkan ego kita masing-masing hingga menjelang malam.

Hingga hariku tersisa 2 jam kebelakang.

Dan kamu tetap tak datang.
Tidak dalam kabar juga dalam kasatmu.
Aku merengek pada ruang, memanggil-manggil bahkan menjeritkan namamu dalam hatiku, berharap getarnya sampai padamu.

Tapi kamu tak ada.

Tetap kamu tak datang.
Waktu berjalan, hari sebentar lagi berganti.

Apa yang kamu lakukan seharian?
Kamu menghabiskan hariku.
Membiarkan hariku tanpa didatangi kamu.
Itu kejam.
Kamu menjahati hariku.
Kamu menjahatinya dengan tidak muncul dan membiarkanku melewati hariku sendirian.

Apa maumu?

Aku melemah, 2 jam sebelum ini berakhir.

Aku mengalah.
Aku mencarimu.
Mencari entah kabar atau rupa.
Aku ingin ada kamu di hariku.
Sekian puluh menit kulewatkan untuk mengais kabarmu, satu jam untuk memintamu pada Tuhanku.

Dan sisanya, kugunakan untuk memberitahumu dalam pesan..


Kamu perlu merasakan bagaimana teralu mencintai dan takut kehilangan.
Kamu perlu merasakan bagaimana menakutkan dan menyakitkan saat menanti seperti ini.
Aku sangat menginginkanmu lebih dari apapun hari ini.


Dan saat ini hariku tinggal 15 menit lagi.
Aku berharap ini hanya rencana nakalmu.
Sebelum 5 menit terakhir kamu akan muncul setelah mengetuk pintu itu.
Muncul dengan senyuman, itu saja, itu saja yang aku inginkan.
Aku tak ingin kamu membawa apapun atau memakai apapun, aku hanya ingin kamu di depanku, tersenyum dan masih mencintai aku dengan segenap hatimu.


Tapi semakin habis hariku.
Dan aku semakin ragu.
Aku semakin ragu permohonanku untuk kebahagiaan hari ini akan hilang.
Tak akan pernah ada.
Sekali lagi kamu membuatku mempertanyakan keberadaan diriku sendiri bagimu.
Bermakna’kah?
Apa yang membuatmu tak datang?
Yakinkah akan ada hari seperti ini di depan nanti untukku?
Yakinkah kita bisa melewatinya bersama?
Apa yang membuatmu berkeras membiarkan aku sendiri menghabiskan hari ini?

Kuberi tau satu hal…
Airmata yang sering kutumpahkan ini, jatuh karena dirimu adalah sosok yang berarti.

Airmata tak jatuh tanpa alasan.
Airmata tak mengalir hanya karna hal wajar.

Apakah kamu mencintaiku?
Tanyakan dan temukan dalam dirimu, dengan hatimu.


Apakah kamu mencintai aku?
Karena bagiku, mencintai bukanlah menyianyiakan apa yang masih pasanganmu miliki.

Karena bagiku,
mencintai bukanlah bersikap keras menyakiti.

Apakah aku masih pasanganmu?
Aku sedih kamu tak datang.


5 menit.
Dan ini menit terakhir.
Kamu tak datang.  

Sudah waktuku kah?






"Dinding di kamar ini masih 4 sisi, dan selama itu aku tak kesepian lagi!"

Culasnya..

Angkuhnya aku menutupi kekecewaanku akan kamu dan kehadiranmu yang terlewat, menguap bersama harapan kosong dan janji-janji isapan jempol.

Aku sudah mulai lelah mengatakan "tak pernah cukup waktu yang kuhabiskan denganmu"
atau sekedar mengeluhkan "aku merindukanmu dalam kadar yang kelewatan"

Taik kucing!

Aku sedang ingin merutuki segalanya satu per satu

...tentang sepi

tentang malam ini

tentang betapa bisu dan dinginnya 4 sisi dinding ini

tentang rindu yang tak terlampiaskan pada subjeknya

tentang kamu yang seakan memang bebal untuk sekedar mengerti

...Apakah sudah waktuku untuk pergi?



Kamu membunuh menit demi menit berhargaku untuk merindukanmu

Kamu mengaborsi luapan-luapan rindu yang akan melahirkan hangat yang kusiapkan untuk ranjangmu

Kejamnya kamu.



Aku sedang kacau..

Lebih kacau dari sekedar lupa membagi waktu untuk aktifitas syarat biologisku

Jauh lebih kacau lagi dari sekedar membuang-buang waktu efektif demi menyediakan ruang rindu untukmu


Kejamnya aku...


Kamu membuatku merasa seperti seorang masokis,...
tersakiti dan tetap mencari
seakan sakitlah yang kucari
seakan pedihlah yang kunikmati

Kamu yang kejam...padaku.


...Sudahkah saatnya aku berbenah untuk menyiapkan serambi hati untuk pemilik barunya?





disini...tempat dimana  kita masih menjadi KITA
190912
di  21.32
"kemari, kupecah tempurungmu!"

8.29.2012

rindu

Aku merimdukan kamu...
Dengan kadar yang makin membumbung disetiap waktunya.
Sudah tak sama..
Tak lagi sama seperti benerapa saat jauh sebelumnya
Aku tak lagi bisa menghabiskan banyak waktu bersama kamu

Aku tak bisa menemuimu sesukaku seperti lama sebelumnya.
Benar saja ini menyiksaku, sayang..
Seperti ada yang mencabuti paksa satu demi persatu kebahagiaan yang aku tanam di ladangku.

Rasanya tidak menyenangkan..sungguh.

Dan aku telah memiliki ritual baru disetiap hariku kini..
Menikmati sakit saat merindukan kamu disaat tau kamu sangat mungkin tak akan datang menyudahi siksanya..

Aku mengais sisa wangimu yang menempel disini..
Aku memeluknya, mengirupnya perlahan, membayangkan ada kamu disini..





Bilik 117
di 290812 ; 10:24
seperti ini

8.19.2012

Semua Tak Sama

Mungkin satu saat kamu perlu merasakan bagaimana rasanya tidak didambakan oleh pasanganmu..
biasa siapa saja..siapapun, termasuk saat ini, ketika aku adalah pasanganmu.

Katakan padaku, sayang..
Kau ingin aku bagaimana atau kau ingin aku menjadi apa?


Entahlah kasih,..
Aku merasa kita tak lagi semanis dulu, sehangat waktu itu

Adakah yang berubah dalam hatimu sayang?
Adakah yang berkurang dari kadar cintamu untukku?

Atau kah terlalu banyak perubahan dari diriku yang membuatmu kehilangan suplay cinta untukku?

Ini tak lagi sama sayang..
ini tak lagi sama

Kamu melihatku dengan cara yang berbeda, menyentuhku dengan sentuhan yang tak lagi sama, dan mendampingiku di sisi yang tak sama lagi.

Apa yang telah terjadi pada kita sayang?
Apa yang bisa kulakukan untuk menemukan kita kembali?

Atau..
telah habiskah masa-masa bahagia kita?
Apakah kita terlalu boros menghambur-hamburkan cinta di masa sebelumnya? hingga kini cinta habis dan kita tak lagi bisa berbuat apa-apa..

Maka bantu aku menjawabnya..
Karna sungguh sakit saat melihatmu begiru jauh dengan punggung yang maih kurindukan..

Dan aku tak bicara bohong soal sakitku.


Sangat mungkin aku ini bukanlah perempuan yang kau idam-idamkan dalam idealmu sayang
Bukankah aku tak bisa membuatkan sekedar cheese cake atau terang bulan untukmu?

Aku hanyalah aku..
Perempuan muda yang dulu kau dekati karena ketertarikanmu akan sesuatu yg ada di dalamku..
Entah apa
Dirimu yang paling mampu membantu ingatanmu menemukan jawabnmu sendiri.

Kamu tebtu saja masih lelaki dengan mata cekung dan jemari lentik yang aku sukai..
Suaramu masih mengalun sama
Gerakanmu masih berirama sama
Aku masih mencintai mereka

Hanya saja..
Kita sama-sama tau ada yang tak lagi sama
Dan kita sama-sama sedang tak ingin memulai bicara




 200812
di  bilik lebarku
11:21
Pulanglah,..rumah tak menyakitimu

8.16.2012

Terjadi lagi

Lalu kepada siapa aku harus berbagi dan mengadu rindu jika bukan padamu?
Apakah rindu ini sebegitu memberatinya?



Kita bertengkar lagi malam ini...
Sayang, tak bisakah kita menemukan bahasa yang satu, yang mana aku dan kamu tak akan salah menangkap maknanya satu sama lain?
Bisakah kita merindukan dengan cara yang baik-baik saja?

Karena sesungguhnya aku sudah cukup lelah untuk mengacungkan pedang amarah melawanmu yang nyata-nyata adalah kekasihku.

Tak bisakah kita cukup bicara dengan bahasa hati, sayang?
Agar tajamnya tutur tak membersit luka-luka baru baik untukmu atau untukku.










Malam mendingin
150812
12hari kedepan
di 11:13
merindukanmu bersama  perih

8.13.2012

You've Stolen My Heart,... and Throw it Away













Rasa ini sudah tak aman lagi..
Baik untukku, atau kamu.
Entahlah sayang,..
seakan, Tuhan mengijinkan waktu dan segala rencana didalamnya membolak-balikkan segala rasa antara kita.

Aku sedang tak bisa menangisimu atau apapun yang ada diantara kita,
itu yang membuatku bersedih.
Untuk pertama kalinya bahkan aku merasa airmata dan tangis bukan bantuan menyampaikan rasa.
Aku lelah kau anggap sedang bermain drama.

Aku dipersimpangan lupa,
kamu dan segala tentangmu yang baru saja kulewati tepat di belakang,

tetiba,...
aku merasa kesepian dan bimbang di persimpangan..
perjalanan masih jauh..
bekal kepercayaan nyaris terkuras, kebahagiaan masih kuproduksi,..

Aku mendambakan uluran tangan..






            Pagi buta ini,
di minus 16
Nyaris berhenti
3:52

8.02.2012

Listen..Please


Ada yang perlu kita bicarakan soal kita.

Aku kira kamu cukup tau kalau aku ini mencitai kamu. Aku rasa kamu cukup mengerti bahwa bagiku kamu adalah satu-satunya dunia yang aku diami.

Tapi kembali aku berpikir, sangat tidak adil bila aku memikirkan tentang kamu hanya lewat perkiraan inderawiku.

Tak ada jaminan untuk kesepahaman kita.

Sama halnya denganku..
Aku sering kali tak yakin kamu begitu menyayangiku.
Aku sering mempertanyakan pada diri sendiri (berimbas ke kamu) tentang,
“Apakah benar kamu mencintaiku?”
dan
“Sebesar apa?”

Lagi-lagi aku tau, kesepahaman kita bukanlah jaminan mati untuk keseragaman persepsi.
Definisi cinta, sayang dan seluruh atributnya, bisa kita artikan dalam kotak-kotak persepsi yang jarang akan sama.  

Lalu belakangan aku sakit merindukan kamu.
Lalu aku merasakan ada rambatan dingin yang membunuh satu-persatu sel-sel rasa yang ada di dalamku.

Aku mengirimkan signalku.
Aku menunggumu.

Dalam dingin, di dalam dingin.
020812
Di 12.29

7.31.2012

Malam ini tentang kamu

langit tak pernah setinggi itu saat aku berama kamu..

aku bisa mencapainya setiap kali berbicara dengan kamu.

Dunia tak terasa begitu luas,
karena saat bersamamu, maka kamulah dunia itu.

Semudah itu aku merasakan kebahagiaan bersama kamu

Merindumu



7.19.2012

Cangkir Kopi




Belakangan ini entah kenapa seakan-akan ada yang jauh lebih menarik daripada kamu.

Dan itu mengerikan buat aku.


Kopi.
Dan berbatang-batang rokok, jauh lebin intens menemaniku dari pada sekedar sederetan huruf, angka dan aksara yang mewakili sebuah kondisi bahwa kamu "Ada" dalam hitungan waktuku.





Aku cukup tau.
Aku cukup paham.
Quality time, trust, faith, whatever...
itu ada.
Ya, ada...
hanya saja itu semacam "full of shit".

Ranjangku dingin.
Selimut membeku.
Dan aku mengigaukan cangkir kopiku.
Bukan lagi namamu.




Sudut menyepi.
Berpikir segala kemungkinan.
190712
di 7.20 pm



7.04.2012

Bertengkar









Aku tak tau, ..

Sejujurnya tak pernah yakin mengetahuinya.

Setiap kali kita berdebat soal komunikasi percintaan kita. Mau-tak mau, sengaja-tak sengaja, ini akan menyisakan tangis untukku. Beberapa tertumpah jatuh di depanmu, sebagainnya kukuras saat kamu tak ada di dekatku.


Ini lucu.


Juga menyakitkan. Saat kamu, aku, kita yang berdiri sendiri-sendiri sering dipercaya orang sebagai tempat untuk sekedar berbagi dan bertanya mengenai suatu hubungan, komitmen dan komunikasi, justru mengalami hal yang serupa dan belum juga mampu memperbaikinya dengan sempurna.

Aku merasa segala advice yang kuberikan pada klienku adalah sekedar isapan jempol yang dahsyat mensugesti mereka. Isapan jempol yang praktik denganmu saja aku berkali-kali gagal di dalamnya.


Percayalah, Sayang..

Aku tak ingin mempertentangkan ini jika kukira ini tidak mengancam kebahagiaan kita, bukan hanya aku atau kamu. Kita.

Bukankah kamu juga “hero” bagi mereka-mereka yang datang padamu, sayang? Lalu mengapa kamu tak juga hadir seperti “kekasih hero” untukku? Mengapa selalu kurasakan begitu susah bagiku untuk sekedar memberitahumu soal ini tak baik untukku dan aku tak menginginkannya agar kita tak berselisih.

Yang perlu sama-sama kita tau,..

Bukanlah pertengkaran yang mampu meluluh lantakkan kasih sayang dalam sebuah hubungan. Tapi bagaimana cara kita berselisih dan bagaimana niatan kita untuk menyelesaikannya, bukan menyudahinya.
Aku mencintaimu, sehingga aku terlalu takut kehilanganmu, karena itu, aku tidak menginginkan pertengkaran-pertengkaran kecil yang seharusnya memperkuat hubungan kita makin menjadikan kita menyelipkan jarak diataranya.



Ingin Pulang padamu.
040712
di 05.18 pm

7.03.2012

Kepada Kamu, ..



Hei sayang...
Kamu yang aku panggil "Love"
Seseorang yang kugantikan namanya dengan "Baby"
Sosok yang aku rindukan dengan panggilan, "Black Coffee"

"Apakah Tuhan sedang salah mengatur waktu hingga kita bersinggungan, bertemu dan jatuh cinta satu-sama lain?"

Apakah kamu membawa namaku dalam Gerejamu, sayang?
Memohon kepada Tuhan kita (yang kau puji dengan caramu) tentang kebahagiaan kita bersama nanti...
Apakah kamu menyebut namaku di depan Jesus-mu, sayang?
Meminta kepada Tuhan untuk segala kebaikan untuk hubungan kita agar berlangsung hingga lebih lama dari sekedar "lama sekali"?

Biar kuberi tau kau satu hal,..
Aku tak tau apakah Tuhan menganggap ini sebagai pembangkangan.
Aku percaya Tuhan baik (Karena itu kita bertemu dan jatuh cinta satu sama lain)
Aku tak henti menyebut namamu, mamamu,papamu dan adikmu yang istimewa
aku meminta Tuhan kita (yang kupuja dengan caraku dalam masjid dan sejadahku) untuk membahagiakan kita semua, dan mengijinkan hubungan kita terikat lebih lama dari sekedar "Sangat Lama"

"Tuhan itu baik sekali...aku percaya Dia mendengar..."



Di kubikal yang baru
selalu merindukan kamu seperti kubikal lama dulu
030712
di 18.31

6.27.2012

Help me, Boo..


Dia tertidur disebelahku. Kami sangat dekat. Bisa kuhabisi jeda jika ia berani memunculkan jarak. Bisa kubunuh kesendirian jika ia berani melahirkan sepi. Aku bisa melihat wajahnya yang pulas. Wajah yang tadinya, ah tidak, bahkan sampai saat ini tak perna bosan kulihat dan kuamati lamat-lamat. Aku membayangkan bisa terus seperti ini bersamanya. Aku menunggunya membuka mata. Apakah aku yang akan pertama kali dilihatnya nanti? Entahlah. Aku hanya ingin menunggunya membuka mata. Aku ingin melihat bagaimana ia terbuai dalam pulas dan bagaimana ia bersemangat membuka mata, yang tak pasti bisa kutemui di setiap hari-hari lainnya.
Aku sangat ingin menyentuhnya. Menyentuh rahangnya yang tegas, menyentuh hidungnya yang khas dengan tonjolan kecil dipuncak, atau bibirnya yang tak pernah sekalipun tak kurindukan. Aku mengagumi sosoknya, entah itu wujud ragawinya atau sekedar suara sarat dari keberadaannya. Aku sangat ingin menyentuhnya. Tapi aku tak berani. Aku tak mau merusak apa yang sedang kunikmati dengan mengusiknya sedikitpun, walaupun memang menahan rasa ini adalah suatu ujian berat untukku. Cengkungan matanya, aku selalu jatuh cinta pada mata sayunya.
Aku membayangkan betapa bahagianya aku jika bisa mengamatinya seperti ini setiap hari, berada di sisinya setiap hari. Bersama-sama dengan dia, adalah sebuah masa depan bagiku, yang akan kutemui dengan sebuah perjuangan sebelumnya.
Ah,..
Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Aneh sekali. Aku merindukan laki-laki yang sedang tidur di sisiku. Soal jarak, soal sendiri, segalanya terpatahkan, tapi soal sepi, aku tak bisa membantu diriku sendiri untuk membetotnya lepas dari segala relung kosong yang berlama-lama melompong di dalam diriku.
“Apa kamu sadar ada jarak dengan dinding yang begitu tebal diantara kita Boo?”
Aku berbisik. Sangat lirih. Berharap hatimu mendengarnya. Aku merapatkan tubuh padamu. Berharap ada sedikit ketenangan yang akan kau alirkan padaku, mengobati banyak kebimbangan dalam diriku. Aku benar-benar merindukan saat-saat dimana kita lepas tertawa dan memuja satu sama lain. Aku merindukan sensasi yang sama ketika kamu menyentuhku. Aku merindukan caramu melihatku dengan khasmu, khas caramu menyiratkan cinta dalam tatapmu.
Aku merasa kamu menemukan sebuah transit. Transit untuk berlindung dari keburukanku dan membagi apa yang selayaknya hanya menjadi milikku. Aku merasakan kau sedang mengiris hatimu sendiri dan membaginya pada seseorang selain aku, yang aku tak tau, mana yang akan kau beri paling besar. Jelas keduanya akan tetap meyakitiku.
“Apa kamu mengingatku dengan cara yang sama Boo?”
Kembali lirih berbisik. Ada sedikit getar dalam dadaku. Segala rasa sakit dan tak enak muncul bercampur. Sesuatu dalam diriku menjerit-jerit dicambuki rasa yang tak bisa diraba arahnya kemana. Sesuatu di dalam diriku meronta-ronta ingin lepas dari perih yang tak bisa diterka dari mana asalnya. Ada nyeri di dada, ada getar di sekujur tubuh, ada air mata yang menyumbat kerongkongan. Mengharuskanku menahan nafas berkali-kali, mengerjap-kerjap, menelan ludah berkali dan meremas selimut. Aku merasakannya tiap malam. Bahkan malam ini ketika kita pun berdampingan.
“Selamatkan aku Boo..”
Getar dan tangis tumpah. Anak-anak sungai mengalir di pipiku, turun membasahi bantalku. Kamu tetap lelap dalam buai malammu.




Help me, Boo..

6.20.2012

Okay, Let's Talk..


Okay. Sometimes refreshing itu penting, dan yang penting-penting itu bisa nyelametin keadaan genting.
Dan saya lagi butuh refreshing anyway, mengingat belakangan sama pasangan suka perang prinsip. Both of us act like 17’s couple. Bertindak seakan-akan baru pacaran sebulan dan nyadar dia begini saya begitu, lalu shock.
Come on dude!
Kita nggak butuh nanya satu sama lain ‘kan, untuk meyakinkan chronological age masing-masing ada di angka berapa?
Dan jeleknya disana.
Terkadang Chronoligical Age itu gak sebanding lurus dengan perkembangan Mental Age, kedewasaan atau maturation kejepit diantaranya. Tinggal diliatin aja, celah yang menghimpit terlampau sempit atau elastis.
Lagi-lagi kedewasaan atau maturation akan diungkit-ungkit dan dihubung-hubungkan dengan sikap dalam suatu situasi.
Kita berdua sama-sama sedang sok dewasa dan mature saat itu. Lalu bisul dalam kepala masing-masing meledak. Lalu sama-sama sibuk dengan persepsi-persepsi masing-masing. Mencari pembenaran akan kesalahan diri.

Come on! We are not 17th teens anymore, baby…
Let’s talk..

Dan apapun lah yah..
Sesibuk apapun aku, aku selalu punya waktu untuk menyelipkan kamu diantaranya.



20.06.12
Kamu perlu tau, 
sometimes aku membencimu
dalam beberapa partisi
PS. I Love You 

6.10.2012

Great Anxiety is ...

Mengamati kamu yang makin hari semakin matang secara fisik, dan (mestinya) semakin kedepan dalam pemikiran, itu seperti sebuah ketakutan sendiri untuk saya.
Yang pertama, saya selalu dalam zona pemikiran insecure saya tentang kamu akan berpaling karena saya nggak menarik dan sebagainya.
Yang kedua karena adanya sebuah fakta yang mendunia, bahwa :

 "Everybody Changing" Saya takut kehilangan kamu.

Terang saja, ... karena kamu begitu pentingnya buat saya.
Bukan karena saya nggak bisa hidup lantaran kamu nggak lagi bersama saya.
Hanya saja saya ogah berpikir hari-hari tanpa kamu setelahnya.
Terlihat hampir sama, but totally different.

Jelas.
Pasti saya tetap akan hidup dan bernafas dengan lancar walau saya tidak didampingi kamu sekalipun.
Nadi saya tetap dialiri darah hangat, jantung saya tetap berdegub, dan bumi tetap berputar pada porosnya tentu saja.

Hanya saja yang paling memungkinkan jika kamu tidak bersama saya adalah kenyataan bahwa,

 "Saya kehilangan salah satu kebahagiaan yang teramat besar dari hari-hari saya"

Dan lagi hitungan hari itu bukan berdiri sendiri.
Ada 24 jam di dalamnya dan 60 menit termasuk detik yang menjelmakannya dalam hitungan waktu yang disebut hari.
 Sayang hanya tak ingin melewatkan 24 jam saya yang berharga tanpa kamu.

 Mungkin gambarannya seperti itu.

 Mengapa?
Sekali lagi alasannya sama.. "Karena saya menyayangi kamu."

Malam ini
100612
19.00 Persis
Saat menanti hujan bosar bercucuran 

5.07.2012

knowledge managemet dahlan iskan

Belakangan ini media sering memberitakan seorang tokoh yang bisa dikatakan cukup controversial. Beliau adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Bapak Dahlan Iskan. Sebelum membahas beliau, mari kita mengulas sedikit biografinya. Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur), adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos News Network, yang bermarkas di Surabaya. Ia juga adalah Direktur Utama PLN sejak 23 Desember 2009. Pada tanggal 19 Oktober 2011, berkaitan dengan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Dahlan Iskan diangkat sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Pada mulanya Dahlan Iskan tidak menyukai perusahaan PLN, namun setelah beliau memasuki perusahaan tersebut, beliau menjadi sangat mencintai perusahaan tersebut. Beliau merasa telah menemukan model transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit untuk berubah. Semenjak memimpin PLN, Dahlan membuat beberapa gebrakan diantaranya : bebas byar pet se Indonesia dalam waktu 6 bulan, gerakan sehari sejuta sambungan. Dahlan juga berencana membangun PLTS di 100 pulau pada tahun 2011. Sebelumnya, tahun 2010 PLN telah berhasil membangun PLTS di 5 pulau di Indonesia bagian Timur yaitu Pulau Banda, Bunaken Manado, Derawan Kalimantan Timur, Wakatobi Sulawesi Tenggara, dan Citrawangan. Bagaimana Dahlan Iskan bisa membuat dan menghasilkan banyak perubahan hampir di semua perusahaan yang dipimpinnya? mari kita bahas kemampuannya dalam mengelola pengetahuan atau Knowledge Management. Scarborough et al (1999) menjelaskan Knowledge Management sebagai serangkaian proses atau tindakan untuk membuat, memperoleh, menangkap, berbagi dan menggunakan pengetahuan dimanapun berada, untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja di organisasi. Scarborough dan Carter (2000 dalam Armstrong, 2010) menjelaskan bahwa manajemen pengetahuan merupakan upaya manajemen untuk secara aktif membuat, berkomunikasi dan mengeksploitasi pengetahuan sebagai sumber daya dalam organisasi. Blake (1988 dalam Armstrong, 2010) mengatakan, tujuan dari Knowledge Management adalah untuk menangkap keahlian kolektif perusahaan dan mendistribusikannya kemanapun hingga dapat mencapai hasil yang terbesar. Selama hampir enam bulan kepemimpinannya, Dahlan Iskan tidak pernah menduduki meja kerja Dirut PLN. Beliau tidak memerlukan meja, ia lebih sering menjadikan ruang rapat sebagai ruang kerjanya. Beliau memotivasi semua karyawan untuk berani mengeluarkan ide, menampungnya serta memfasilitasi ide serta memberikan tanggung jawab penuh untuk merealisasikan ide mereka. Beliau tidak pernah memeriksa surat masuk, karena menurutnya karyawan PLN terdiri dari orang-orang yang cerdas, jadi ia tidak lebih paham dibandingkan dengan karyawannya. Sehingga yang beliau lakukan adalah mengorganisir surat tersebut agar dapat sampai ketangan yang mampu untuk menyelesaikan. Dahlan Iskan menjadikan lapangan sebagai sarana belajar dan komunikasinya. Beliau tidak segan untuk turun dan meninjau langsung lokasi-lokasi yang bermasalah, serta mewawancarai secara langsung karyawan dilapangan untuk kemudian dirundingkan pemecahannya. Yang menarik dari periode kepemimpinan Dahlan di PLN adalah pembuatan CEO note untuk semua karyawan di PLN sebagai sarana motivasi. CEO note ini berfungsi sebagai sarana komunikasi tidak langsung antara pimpinan dan karyawan seluruh PLN di Indonesia. Gaya bahasa dalam CEO note yang jenaka namun sarat makna ini tidak memuat suasana menggurui. Semua tulisan itu berisi suka duka Dahlan dan semua jajaran pegawai PLN dalam pengambilan keputusan dan kinerja. Jadi sebenarnya dalam CEO note yang dimuat dalam buku “Dua Tangis Ribuan Tawa” ini memuat bagaimana cara-cara meningkatkan kualitas perusahaan PLN. Disana terlihat adanya komunikasi yang lugas dan blak-blakan dari pimpinan dengan karyawan. Gambaran tantangan dan keberhasilan selama menjabat Dirut PLN bersama para karyawannya bisa menjadi sumber inspirasi bagi karyawan dan pimpinan pasca Dahlan Iskan. Selain itu masyarakat luas juga bisa mengakses buku dan bolg pribadi beliau untuk menggali pengalaman. Pembuatan CEO note ini sesuai dengan penjelasan Hansen et al (1999) mengenai strategi Knowledge Management. Hansen et al membagi strategi Knowledge Management menjadi dua. Yang pertama The codification strategy, dimana pengetahuan di kodifikasikan dan disimpan dalam data base sehingga dapat diakses dan digunakan dengan mudah oleh siapa saja di organisasi. Yang kedua adalah personalization strategi, dimana pegetahuan di kembangkan dan di share langsung ke individu. Dahlan Iskan mampu menjawab semua yang dianggap tidak mungkin dalam kepemimpinan sebelum kepemimpinannya. Dengan pembuatan CEO note ia dapat membagi ide dari pimpinan ke karyawandemi mencapai tujuan bersama. DAFTAR PUSTAKA Armstrong, M. (2010). Armstrong’s Essentials Human Resource Management Practice. London: Kogan Page.Iskan, Dahlan. (2011). Inikah Kisah Kasih Tak Sampai? Diakses pada 05 Mei2012 dari http://www.pln.co.id/?p=3947 Profil Dahlan Iskan. Diakses pada 05 Mei 2012 darihttp://dahlaniskan.wordpress.com/profil-dahlan-iskan/ Suprapto, Hadi & Kurniawan, Iwan. (2011). Kiat Sukses Dahlan Iskan PimpinPLN . Diakses pada 05 Mei 2012 darihttp://bisnis.vivanews.com/news/read/263885-kiat-sukses-dahlan-pimpin-pln http://bisnis.vivanews.com/news/read/263885-kiat-sukses-dahlan-pimpin-plnhttp://bisnis.vivanews.com/news/read/263885-kiat-sukses-dahlan-pimpin-plnhttp://dahlaniskan.wordpress.com/profil-dahlan-iskan/http://www.pln.co.id/?p=3947

4.26.2012

My Name is Je

Rambutnya lurus, agak berombak dibagian bawah, tidak begitu hitam berkilau, tapi seppertinya lembut, mungkin karena pewarnaan beberapa kali. Tentu saja. Dia sangat modis mengikuti trend. Tidak terlalu tinggi, kutaksir setinggi daguku. Jika kita berdiri berhadapan, mungkin aku bisa dengan mudah mengecup keningnya lembut. Selalu mengenakan baju yang tak membalut habis tubuhnya, selalu ada kesan seksi khas yang dieksplorenya dalam berbusana. Tidak begitu kurus, tapi tetap seksi di mataku, tetap sempurna, sesempurna bagaimana ia mengawali harinya dengan khas gayanya.

Dia tidak berjemari lentik, hanya saja bentuk jemarinya sangat membuatku tertarik, tetap saja, dia memukauku dengan caranya sendiri. Walau bisa saja dia pun tak pernah bermaksud begitu. Bisa jadi karena aku terlalu terobsesi.

Obsesi?

Entahlah.

Tidak sebegitunya kukira.

Pagi ini dia mengenakan terusan berwarna putih yang berhenti sebatas seperempat bagian bawah pahanya. Lutut yang bagus. Betis yang proporsional bagiku, dan sekali lagi, ia sempurna bagiku. Rambutnya yang panjang tergerai begitu saja, agak kusut tertiup angin kecil, atau bisa juga karna ia menyisirkan jarinya kebelakang, seringkali dilakukannya ketika sedang tak sabar atau gugup, yang mana entahlah. Matanya masih sama, masih khas dengan caranya menatap nyalang ke berbagai arah, sepertinya sedang mencari-cari, entah apa.

Aku selalu tertarik dengan sudut matanya yang tajam terangkat, membuat ia selalu tampak misterius. Sekarang ia berjalan ke arah kubikelnya, meletakkan hermes putihnya, menarik kursi dan menghempaskan badan dengan anggun –masih dengan cara yang kubaca begitu- dikursunya. Kali ini kuku-kuku cantiknya dipoles kuteks berwarna gelap, entahlah warna apa, semacam ungu, atau hitam mungkin. Sambil menunggu unit PC nya menyala, ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, suara benturan anatara kuku dan kaca dimeja terdengar berderap nyaring. Sekali lagi, aku suka.

 “Je, klien lo udah dateng di depan.”

 “Darimana?” sambil memalingkan sebagian badan memutar kebelakang, beberapa helai rambutnya ikut bergerak.

Wah!

 “Outsource yang di Jakarta.”

 “Okay. Minta suruh tunggu ya, Bi.” Ia berdiri, merapikan bagian bawah terusannya yang sedikit terangkat ketikan ia duduk. Merapikan sedikit rambutnya. Dan pergi.

 Jeremiah baru saja 2 minggu bekerja disini. Sebagai bagian dari departemen perusahaan yang sama dengan tempatku bekerja. Aku merekrutnya dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sangat picisan dan sangat norak, tapi aku sedang mengalaminya, dan aku menikmatinya. Aku tak tau banyak, yang aku tau, aku sudah beristri dan rumah tanggaku sedang tergoncang setahun belakangan. Istriku infertile, ada keanehan dengan system reproduksinya. Tadinya kami baik-baik saja, bahagia, seperti kebanyakan pasangan suami-istri di masa-masa awal perkawinan, bergairah dan dimabuk kepayang. Setelah 2 tahun pernikahan dan belum juga membuahkan hasil dari persilangan malam-malam yang giat kami lakukan, Teresia mulai merasakan ketidak beresan dalam dirinya, dengan tubuhnya. Dan dokter menambahkan bumbu untuk semakin dramatisnya kisah rumah tanggaku dengan Teresia. Dokter menyatakan Teresia infertile dengan alasan kelainan pada rahimnya, yang selalu menggagalnya tiap benih yang kutanamkan padanya. Teresiaku mulai kalut, jatuh semakin terpuruk dalam kesedihan dan rasa bersalah akan ketidakmampuannya melengkapi kebahagiaanku.

Teresia menjadi semakin sering menangis tengah malam, semakin kurus dan semakin limbung. Hingga mulai terjadi beberapa pertengkaran antara kami. Sebenarnya aku tak pernah mempermasalahkan ketidakmampuan Teresia dalam memberikanku seorang keturunan, aku sungguh memahaminya. Namun paranoia yang hinggap di dalam benaknya seakan betah dan enggan pergi, semakin meluas dan semakin mengakar. Teresia semakin jauh dariku. Enam bulan lalu kami berpisah ranjang. Ia memilih tidur di kamar tamu, ditemani perasaan-perasaan insecure dan segala pikiran paranoidnya tentang perkawinan kami dan kebahagiaan kami yang aus terkikis perlahan.

 “Mr. G. Sudah melamunnya?” Jeremiah menepuk pundakku lembut. Yang mengejutkan adalah wangi Kenzo yang sangat khas melekat diingatanku. Parfume yang sama dengan yang selalu kuhirup aromanya saat aku bersama Teresia.

 “Ya?”

 “Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla”

 Entahlah apa yang ia bicarakan, aku sedang menikmati bibir tipis merah muda yang sedang bergerak-gerak menjelaskan sesuatu padaku, juga wangi Kenzo.

 “Oke. Lakukan.”
 “Oke Mr. G.”

 ***

 Aku bukannya tak tau lelaki itu tertarik padaku. Sejak pandangan pertama matanya menatap padaku, aku tau ia tertarik. Bagiku tak mudah menarik perhatiannya untuk selalu menatap padaku dan terpusat padaku. Aku harus tampil dan bergerak dengan cara yang memukau. Ia pun sebenarnya tak terlalu jelek. Aku tertarik pada ada bidang dan punggung yang sedikit melengkung itu. Juga rahangnya yang tegas dan alis mata yang rapi membingkai kaku sepasang mata elangnya.

Namanya Gerry. Dan sialnya ia sudah beristri. Dan tiba-tiba aku sudah bekerja disini. Duduk persis di hadapan lelaki ini, hanya tersekat sebuah kaca dua arah yang membedakan ruanganku dengan ruangannya. Tentu saja aku tau dirinya selalu memperhatikanku diam-diam. Mencuri-curi tatap ke arahku saat aku sedang memecah focus antara mengintainya diam-diam dan menyelesaikan apa yang semestinya kuselesaikan. Dan nampaknya aku terlibat dalam percintaan terlarang kembali jika permainan pura-puraku ini kuteruskan.

Aku mencari tau tentang Gerry. Aku tau istrinya sedang depresi, entah karena apa, yang aku tau hubungan pernikahan mereka sudah diujung tanduk. Persisnya, ini mempermudah jalanku untuk mengundangnya datang pada tawaran hatiku, toh dirinya pun sudah terjerat semakin dekat. Pernah kudengar dari beberapa teman, entah sekedar isu atau memang begitu adanya, Gerry sering menghabiskan malamnya di sebuah Klub Malam. Malam ini pembuktiannya.

“Mr. G, sudah melamunnya?” aku menyukai punggungnya yang dengan leluasa bisa kunikmati dari sini. 

“Ya?” Gerry terlonjak. Semakin terlonjak ketika mendapati aku berdiri di belakangnya. Aku hanya melengkungkan senyumku, menarik kursi disebelahnya menjelaskan apa yang tadi terlewat dalam lamunnya.

“Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla” aku tau ia tidak menaruh focus penuh pada apa yang kukatakkan. Aku menggodanya dengan bibirku, dengan caraku berbicara. Dengan mataku yang menantang menatapnya.

 “Oke. Lakukan.”

 “Oke Mr. G.” Aku melenggang perlahan, keluar dari ruangannya. Meninggalkan sedikit pesonaku, membiarkan Gerry terusik dari apapun yang ia lamunkan tadi.

Kutinggalkan Gerry dalam kesibukannya petang tadi. Aku harus mempersiapkan diri dengan baik untuk clubbing malam ini.  Bisa saja aka nada perjamuan malam ini.

 ***

 Sial! Pekerjaan memang tak pernah mau menunggu. Dan seperti biasa, aku tertinggal bagai sebuah fosil yang satu- satunya mendiami tempat ini. Dalam gedung perkantoran ini. Sudah 2 jam yang lalu teman-teman meninggalkanku, yah, meninggalkan kantor ini tepatnya. Dua jam kulewatkan dengan tumpukan laporan dari beberapa bawahanku serta perangkap PC yang sedari tadi ku rodi untuk membantuku menyelesaikan tugas demi tugas. Pukul 9 malam. Pulang jam segini yang ada aku akan mendapati Teresia menangis meraug dalam kamarnya, lalu dia akan menyumpah serapahku. Entahlah, belakangan ini aku lebih memilih melewatkan malam hingga larut di sebuah Klub.

Aku selalu tersulut setiap kali Teresia mengajukan tuduhan-tuduhan tak beralasannya. Menurutnya aku telah lama berselingkuh dengan beberapa perempuan karena kekecewaanku padanya atas ketakmampuannya memberiku keturunan. Jikapun aku selingkuh, itu dikarenakan aku menyesalkan tuduhan-tuduhan kejamnya padaku, bukan karena ketidak berdayaan yang Tuhan berikan padanya. Kubereskan meja kerjaku, menuju parkiran di basement, melajukan mobilku, menghamburkan sebagian gajiku di klub malam. Disini, dimeja biasanya, tempat dimana aku dan beberapa teman biasa menghabiskan segalanya, hanya saja malam ini berbeda, aku sendirian, tanpa pilihan. Aku tidak berniat mabuk malam ini, karena itu hanya kupesan koktail biasa. Aku hanya ingin mencari tempat untuk melewatkan waktu hingga pukul 12 malam. Yah, setidaknya untuk dua setengah jam ke depan ‘lah.

 “Mr G..”

 Aku terkaget dengan sosok akrab yang belakangan ini sering kuamati diam-diam. Tidak menyangka dia akan ada disini, di tempat yang sama denganku malam ini. Jeremiah. Entah mengapa kemunculannya yang tiba-tiba dihadapanku dan penampilannya yang,…yang,…ah, entahlah, aku hanya bisa membatin, “Wow!” 

Terusan hitam yang melekat erat ditubuhnya, membalut hingga bagian sepertiga atas lututnya. Serta tatanan rambut yang diurai begitu saja seperti biasa, setelah sisir dengan jemari kebelakang. Wanginya bercampur dengan aroma beberapa perempuan disini. Pantas saja aku tak begitu mengenalinya dengan cepat.

 “Hei, Je. Dengan siapa?”

 “Suntuk Mr, sendiri saja.”

 “Come on, kamu tidak perlu memanggil begitu ketika atmosfir profesionalitas sudah berganti.

” Jeremiah tersenyum, entahlah, aku menangkap sedikit tingkah nakal, ah, bisa saja hanya persepsiku.

 “So, Gerry, dengan siapa km disini?”

 “Sendiri kebetulan. Berniat menghabiskan waktu bersama?” tanpa tedeng aling-aling, tentu saja bukan karena dibawah pengaruh alcohol, aku tidak mabuk tdntu saja, aku menawarkan untuk menghabiskan waktu bersama Jeremiah.

 Jeremiah menghempaskan diri ke sofa, persis disampingku, dekat sekali, kulit lengannya yang terbuka sempat bersinggungan dengan lengan kemejaku yang kusingkap sebatas siku. Ada sesuatu yang berdesir aneh. Ada yang berdegub menggedor dadaku kencang. Dan wajah kami semakin mendekat.

 ***

 “Aku harus pulang.”

 “Haruskah?”

 “Ya,…istriku pasti ketakutan di rumah. Maaf.”

 “Bisakah kita mengulanginya lagi?”

 “Entahlah. Tapi, maafkan aku. Aku yang membawamu pada kesalahan ini.”

 Ada yang tau rasanya menjadi sampah? Aku sedang mengalami ini kembali. Jeremiah, 27 tahun, tinggal sendiri, dan ketagihan menjalani hubungan terlarang. Naasnya!
15.28/26.04.12 Mendingin disini.

4.17.2012

Little Story at The Coffee Shop




Bermula dari pesanan yang tertukar. Aku yang membenci segala yang manis-manis dengan kecerobahanku yang melewati batas, dengan kamu yang sangat menyukai cokelat dengan penciuman peka yang sangat mengenal khas aroma kopi dalam cup tertutup.

“Mas! Ini cokelat! Bukan Kopi!”

“Permisi, saya pesan Hot Chocholate Mas, bukan Sidikalang.”

Lalu kamu dan aku, ah, kita saling bertukar tatap, berpaling kekanan dan kiri untuk bertemu tatap pertama kali, lalu saling tertawa menyadari minuman kita yang tertukar.

“Manis sekali.” Aku mengangkat cup tertutup yang seharusnya adalah pesananmu.

“Strong sekali.” Kamu menggeser cup tertutupmu di depanku. “Belum kuminum, aku bisa menebak dari wanginya yang khas. Silahkan jika tidak keberatan. Setidaknya Mas ini tidak terlalu lama melayani kita untuk kedua kalinya.”

“Terimakasih. Sonja.” Aku mengulurkan tanganku, menagih sebuah tukar nama untuk mempermudah ucapan terimakasihku yang semestinya.

“Shandy. Bahkan orang bisa tertukar memanggil nama kita.” Kamu membalas dengan semestinya.

“Terimakasih Shandy, aku kembali ke mejaku.”

Aroma sidikalangku menguak ketika kubuka penutup cup-nya. Ini favoritku, original black coffee. Dan akan memperlancar jemariku membentuk irama-irama kata dalam kalimat-kalimat yang terberai dalam kesemerawutan otakku. Aku sedang dalam kejaran deadline, dan ingin segera meloloskan diri dengan melunasi hutangku akan tanggungan naik naskah berikutnya. Besok hari terakhirnya, sedangkan insight belum juga lolos dari jeruji dalam otak sana.

Oke, Sonja, bagaimana jika kau mulai dengan membuat relaks dirimu dulu. Nikmati kopimu. Nikmati alunan music café ini. Resapi kesunyian dan kesenyapan sudutmu disini. Dan aroma musk white.

“Sonja, …”

Musk white?! Wait!! Aku tersentak dari tenggelam yang berangsur dalam kenyamananku menemukan insight. Terbangun dan berpaling ke arah sumber wewangian dan, ah dia lagi.

“Ya?”

“Kamu meninggalkan dompetmu dan struk pesananmu.” Oh, well. Payah sekali.

“Oh, sorry. Thanks. Ah, yeah. Thanks. Maaf aku jadi kagok.” Dobel payah!

“Ah, nggak. Aku yang harusnya minta maaf mengagetkanmu. Silahkan kamu lanjutkan tidurmu.” What?? Dia berpikir aku tidur? Di café shop?

“Ooo nggak. Ini sebenernya cuman lagi relaks. Aku nggak tidur.” Dan aku masih tetap tak tau kenapa aku harus menjelaskan ini padanya. Ah, kacau sekali!

“Well. Nikmatilah kopimu. Dan pencarian kenyamananmu.”

“Thanks, Shandy.”

Aroma Musk Whitenya pergi. Ah, sepi lagi. Aku merogoh tasku, mengoprek-oprek isi kantong depan. Mencari rokok dan pemantiknya. Rokok ketemu. Dan masih tetap bersikeras meyakini bahwa aku memasukkan pemantikku di kantong depan situ sebelum aku bergegas dengan terburu…

Terburu?
Ah, aku lupa! Bisa jadi masih di meja kerja dalam kamar kostku!

“Boleh aku join? Setidaknya aku punya pematik gas disini.” Musk White datang lagi, dan ada sesuatu yang berlompatan di dalam perutku.

Lalu kita bicara banyak hal. Tenggelam dalam cerita-cerita dan topik-topik menarik yang bergulir menemani menit-menit kedepan kita. Yang kusadari, aku tertarik padamu dan mendapatimu akan ada dalam kisah berikutnya. Entah mengapa saat kamu berbicara dan berapi-api bercerita, ada seuatu yang berdesir di dalam dada ini. Matamu yang memancarkan sorot menarik yang tak bisa kugambarkan selain dengan kata “Menarik”, bibirmu yang selalu menyunggingkan senyum selagi kamu bercerita, dan alis tegas yang meliuk naik-turun menunjukkan betapa bersemangatnya dirimu membagi cerita padaku. Dan sekali lagi Musk White membiusku.

Aku tau kamu teratrik padaku. Sama jelas dengan bagaimana kamu tau aku juga tertarik padamu. Kita sedang bermain pura-pura asik dengan topic. Dan aku menikmati caramu menggiringku kepertemuan selanjutnya.

“Hey. Bukankah berkencan dengan penulis di tempat semacam ini seharian adalah hal yang membosankan?”

“Rekomendasimu?”

“Jadi katakan mana yang kamu suka, gemerlap bintang atau gemerlap kota yang menyerupai bintang?”

“Bukankah yang asli adalah yang dicari?”

“Keduanya bisa kamu dapatkan ditempatku. If you don’t mind, Lady Sonja.” Manis. Tepat di saat yang tepat.

“As you wish.”

***

Di ketinggian sekian puluh meter. Di sebuah ruang yang dipenuhi aroma Musk White.


“So how? Apakah cukup membantumu menemukan insight mu?”

“Entahlah, Shan. Hanya saja aku sedang hanyut dalam wewangian di dalam sini. Dan di luar sana cukup dingin untuk melepas insight bebas berlarian.”

“Aku punya Timica* jika menurutmu itu menarik dan cukup membantu.”

“A cup of Timica,please.”

Bukan ruangan yang terlalu rapi sebenarnya. Masih terlihat beberapa pemandangan yang kurang menyenangkan di dekat pintu masuk. But over all, ini masih cukup rapi jika dibanding dengan beberapa kamar laki-laki yang biasa aku kunjungi. Setidaknya ruang tengah sekalian kamar tidur ini memiliki atmosfir yang cukup nyaman untuk kutinggali beberapa saat, ditambah dengan wangi Musk white yang menjelajah seluruh isi ruangan. Aku curiga ia menyemprotkan wangi perfumenya ke seluruh ruangan sebagai pengganti pewangi ruangan yang memiliki bau khas picisan.

Dan kamu kembali dengan 2 cup mengepul uap dengan 2 aroma berbeda.

Aku tenggelam dalam aroma Timica yang kau suguhkan, dan sisa musk white yang menguak dari badanmu. Tanpa kata-kata dan kalimat lain. Kita sedang menikmati diam dan sentuhan. Kita sedang menikmati malam diantara gemerlap bintang.

***

04.12, Esoknya. Kurampungkan ceritaku.


Terimakasih.

Kupinjam cerita kita seharian lalu untuk waktu dalam kisahku.

Aku pulang. Kau tau harus bagaimana jika tertarik untuk lanjutan kisah yang ku

berikan semalam.

Sonja



Lelaki dalam kisahku terbangun, mengambil secarik pesan dalam kertasku. Tersenyum. Aku tau kapan ia akan mencariku.





17.04.12
Bagaimana aku mengingatmu
Dalam banyak cerita

4.11.2012

Tell Me

Kita bertengkar lagi.

Kita berada di tengah-tengah hati yang sedang meradang lagi.

Apakah kita memang tak pernah cocok?
Apakah kita dulu hanya saling berpura-pura cocok satu sama lain?

Aku tak tau. Yang jelas pertengkaran-demi pertengkaran semakin memenuhi daftar hadirnya dalam hari-hari kebersamaan kita. Aku tak tau apakah aku atau dirimu yang terlalu egois, bisa jadi kita berdua sama-sama egois. Bisa jadi. Berulang kali aku menyampaikan sesuatu soal apa yang kuinginkan dan apa yang kurasakan, soal aku ingin kita bagaimana untuk sama-sama bahagia. Hasilnya nol. Aku mengutuk dinding tebal dalam membran di otakmu. Membatasi otakmu untuk mudah menerima segalanya yang keluar dariku dengan mudah dan leluasa. Aku juga mengutuk lempeng baja yang membungkus seluruh permukaan hatiku, menghalanginya untuk bisa dengan mudah mencerna dan memilah mana cemburu tanpa alasan dan mana kasih tak bersyarat.

Aku lupa. Aku sedang lupa dengan apa yang aku lalui belakangan sehingga membuatku melupakan bagaimana cara mencintaimu dengan tulus seperti bagaimana dulu aku melakukannya untukmu. Yang aku ingat pada awalnya dulu aku dan dirimu saling mengerti, kamu yang memahami dan aku yang mau memberi pengertian. Dan sekarang itu seakan terkikis. Apakah kita terlalu kelewatan menghabiskan kebahagiaan yang ada antara kita? Apakah saking kelewatannya sisa kebahagiaan untuk hari ini dan nanti telah terpakai untuk hari-hari jauh sebelumnya? Jika begitu bisakah kita memproduksinya lagi? Apakah cinta adalaah sesuatu semacam gas yang mudah menguap begitu saja? Kamu dan apapun yang ada diant`ra kita, membuatku tak berhenti bertanya-tanya.

Entahlah.

Kadang aku berpikir dengan buruknya mengenai dirimu yang berpura-pura bahagia bersamaku. Juga tak jarang aku berpikir mengenai betapa menyebalkannya diriku sehingga membuatmu merasa muak namun kamu tetap terpaksa memasang topeng pura-puramu yang seakan mencintai aku. Dan jika kau ingin tau, sungguh itu menyiksa bagiku.

Sekarang aku pergi.

Tak lama, hanya beberapa saat. Aku menyepi dalam ruang yang kuanggap bersih dari kesal dan sebal tentangmu. Melepas segala sakit hati, menguliti lapis demi lapis keegoisanku sendiri, mencoba menelanjangi diri.

Aku kembali meruntut segalanya dari semula.

Aku mengenalmu diantara kubikel dan tetumpukan kertas dengan gores tinta berirama. Aku menemukanmu dalam suatu nama. Aku mengingatnya, dan aku melihatmu dalam suatu hantaman keras yang menabrak dadaku, isinya terbatuk, aku terpana. Sekali kehadiranmu berlaku semacam sengatan kuat di dalam dada sini, sangat tak biasa, istimewa.

Lalu entah bagaimana, tiba-tiba, jarak antara kamu dan aku hanyalah sebuah sekat yang bisa kurobohkan dalam 1 hentakan. Yang aku sadari aku tertarik padamu. Yang aku pahami, sesuatu didalam sini tumbuh semakin membesar perlahan saat aku semakin sering bicara denganmu. Yang aku ingat pasti, ada sesuatu yang megitu cepat membumbung dan semakin melayang setiap saat tawa pecah diantara kita, saat tatap kita bertemu dalam sepersekian hitungan waktunya. Lalui kusadari, aku jatuh cinta, ketika aku siap.Hingga disuatu ketika sentuhan adalah kehadiran yang pasti dalam tiap pertemuan kita.

Aku masih ingat, betapa aku bahagia setiap saat kamu menawarkan kebersamaan lebih lama denganmu setelah jam-jam professional yang kita lalui bersama. Dan aku masih merasakan persis rasa siksa menunggu dan berharap esoknya kamu akan mengajukannya lagi dan lagi. Dan itu menjadi kenyataan, saat dimana aku merasa betapa baiknya hidup berlaku padaku.

Aku mengingat persis, kopi pertamaku denganmu. Manis. Dan aku meneguknya habis.

Aku juga mengingat persis bagaimana pertama kali aku menciummu, pertama kali kamu menciumku+ dan bagaimana akhirnya kita memulai ciuman pertama kita. Selalu bisa membuatku tersipu. Selalu sukses dengan caranya sendiri.

Hhh, akhirnya aku mengetahui sebuah kebenaran. Setidaknya cinta tak mudah menguap padaku. Aku bersyukur untuk kekekalan cinta yang berdiam dalam diriku sampai saat ini.

Kuruntut kembali melaju kedepan, mendekati retakan-retakan menyakitkan antara kita. Aku yang marah padamu untuk sebuah nilai dari harga diriku sendiri. Sangat egois memang jika mensejajarkan anatar harga diri dan tulus kasih. Karena sampai kapanpun aku memperjuangkan keduanya, dipangkal rasa, harga diri mundur dengan perlahan, mengendur meninggalkan bekas ikatan kencang. Mengecewakan.

Aku yang meradang atas kecemburuan akan masalalumu yang masih singgah untuk datang, dan kau sembunyi-sembunyi menjamunya dengan keramah-tamahan yang tak pernah aku tau persis sebagai formalitas atau memang begitu adanya yang kamu inginkan. Hey kekasih, adakah kau akan merasakan meradang yang sama jika aku yang melakukannya dengan diam-diam? Temukan jawabannya ketika membrane di otakmu bekerja dengan optimal tanpa batasan dinding tebal disana.

Putaranku telah sampai pada masa dimana kita saling meradang karena masalaluku yang begitu bebal binasa. Aku yang terlalu melekatkan figure buruk masalaluku padamu. Maafkan. Tanpa kesengajaan. Aku merespon segala stimulus serupa dengan respon lama. Pelajarilah lalu bicara yang sepadan soal itu. Karena bagiku, terlalu egois jika dirimu berkata lantang dan angkuh bahwa itu seutuhnya ada pada kendaliku. Kamu menyalahkan orang yang sedang belajar berjalan setelah kelumpuhan sementara dikedua tumpuan kakinya.

Hey, kekasih..
Jelaskan padaku, seberapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk kembali menemukan kebahagiaan setelah aku tak lagi ada di sisimu?

Aku akan mengetahui seberapa jauh aku berpengaruh pada sedikit rentang dalam hidupmu darinya.

Bukankah manusia jarang mempertanyakan ketulusan dan jaminan tentang keberlangsungan apa yang mampu ia berikan untuk sesamanya?

Aku sudah menanyakannya pada diriku sendiri, dan kamu mendapatkan jawaban akan jaminanya baru saja.

Bagaimana denganmu? Apakah bagimu cinta adalah semacam gas yang bisa dengan mudah menguap begitu saja?

Beri tahu aku.



Sisiterang.10.34