Rambutnya lurus, agak berombak dibagian bawah, tidak begitu hitam berkilau, tapi seppertinya lembut, mungkin karena
pewarnaan beberapa kali. Tentu saja. Dia sangat modis mengikuti trend. Tidak terlalu tinggi, kutaksir setinggi
daguku. Jika kita berdiri berhadapan, mungkin aku bisa dengan mudah mengecup keningnya lembut. Selalu mengenakan baju
yang tak membalut habis tubuhnya, selalu ada kesan seksi khas yang dieksplorenya dalam berbusana. Tidak begitu kurus,
tapi tetap seksi di mataku, tetap sempurna, sesempurna bagaimana ia mengawali harinya dengan khas gayanya.
Dia tidak
berjemari lentik, hanya saja bentuk jemarinya sangat membuatku tertarik, tetap saja, dia memukauku dengan caranya
sendiri. Walau bisa saja dia pun tak pernah bermaksud begitu. Bisa jadi karena aku terlalu terobsesi.
Obsesi?
Entahlah.
Tidak sebegitunya kukira.
Pagi ini dia mengenakan terusan berwarna putih yang berhenti sebatas seperempat bagian bawah pahanya. Lutut yang
bagus. Betis yang proporsional bagiku, dan sekali lagi, ia sempurna bagiku. Rambutnya yang panjang tergerai begitu
saja, agak kusut tertiup angin kecil, atau bisa juga karna ia menyisirkan jarinya kebelakang, seringkali dilakukannya
ketika sedang tak sabar atau gugup, yang mana entahlah. Matanya masih sama, masih khas dengan caranya menatap nyalang
ke berbagai arah, sepertinya sedang mencari-cari, entah apa.
Aku selalu tertarik dengan sudut matanya yang tajam
terangkat, membuat ia selalu tampak misterius.
Sekarang ia berjalan ke arah kubikelnya, meletakkan hermes putihnya, menarik kursi dan menghempaskan badan dengan
anggun –masih dengan cara yang kubaca begitu- dikursunya. Kali ini kuku-kuku cantiknya dipoles kuteks berwarna gelap,
entahlah warna apa, semacam ungu, atau hitam mungkin. Sambil menunggu unit PC nya menyala, ia mengetuk-ngetukkan
jemarinya di meja, suara benturan anatara kuku dan kaca dimeja terdengar berderap nyaring. Sekali lagi, aku suka.
“Je, klien lo udah dateng di depan.”
“Darimana?” sambil memalingkan sebagian badan memutar kebelakang, beberapa helai rambutnya ikut bergerak.
Wah!
“Outsource yang di Jakarta.”
“Okay. Minta suruh tunggu ya, Bi.” Ia berdiri, merapikan bagian bawah terusannya yang sedikit terangkat ketikan ia duduk. Merapikan sedikit rambutnya. Dan pergi.
Jeremiah baru saja 2 minggu bekerja disini. Sebagai bagian dari departemen perusahaan yang sama dengan tempatku
bekerja. Aku merekrutnya dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sangat picisan dan sangat norak, tapi aku sedang
mengalaminya, dan aku menikmatinya. Aku tak tau banyak, yang aku tau, aku sudah beristri dan rumah tanggaku sedang
tergoncang setahun belakangan. Istriku infertile, ada keanehan dengan system reproduksinya. Tadinya kami baik-baik
saja, bahagia, seperti kebanyakan pasangan suami-istri di masa-masa awal perkawinan, bergairah dan dimabuk kepayang.
Setelah 2 tahun pernikahan dan belum juga membuahkan hasil dari persilangan malam-malam yang giat kami lakukan,
Teresia mulai merasakan ketidak beresan dalam dirinya, dengan tubuhnya. Dan dokter menambahkan bumbu untuk semakin
dramatisnya kisah rumah tanggaku dengan Teresia. Dokter menyatakan Teresia infertile dengan alasan kelainan pada
rahimnya, yang selalu menggagalnya tiap benih yang kutanamkan padanya. Teresiaku mulai kalut, jatuh semakin terpuruk
dalam kesedihan dan rasa bersalah akan ketidakmampuannya melengkapi kebahagiaanku.
Teresia menjadi semakin sering
menangis tengah malam, semakin kurus dan semakin limbung. Hingga mulai terjadi beberapa pertengkaran antara kami.
Sebenarnya aku tak pernah mempermasalahkan ketidakmampuan Teresia dalam memberikanku seorang keturunan, aku sungguh
memahaminya. Namun paranoia yang hinggap di dalam benaknya seakan betah dan enggan pergi, semakin meluas dan semakin
mengakar.
Teresia semakin jauh dariku. Enam bulan lalu kami berpisah ranjang. Ia memilih tidur di kamar tamu, ditemani
perasaan-perasaan insecure dan segala pikiran paranoidnya tentang perkawinan kami dan kebahagiaan kami yang aus
terkikis perlahan.
“Mr. G. Sudah melamunnya?” Jeremiah menepuk pundakku lembut. Yang mengejutkan adalah wangi Kenzo yang sangat khas
melekat diingatanku. Parfume yang sama dengan yang selalu kuhirup aromanya saat aku bersama Teresia.
“Ya?”
“Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla”
Entahlah apa yang ia bicarakan, aku sedang
menikmati bibir tipis merah muda yang sedang bergerak-gerak menjelaskan sesuatu padaku, juga wangi Kenzo.
“Oke. Lakukan.”
“Oke Mr. G.”
***
Aku bukannya tak tau lelaki itu tertarik padaku. Sejak pandangan pertama matanya menatap padaku, aku tau ia tertarik.
Bagiku tak mudah menarik perhatiannya untuk selalu menatap padaku dan terpusat padaku. Aku harus tampil dan bergerak
dengan cara yang memukau. Ia pun sebenarnya tak terlalu jelek. Aku tertarik pada ada bidang dan punggung yang sedikit
melengkung itu. Juga rahangnya yang tegas dan alis mata yang rapi membingkai kaku sepasang mata elangnya.
Namanya Gerry. Dan sialnya ia sudah beristri.
Dan tiba-tiba aku sudah bekerja disini. Duduk persis di hadapan lelaki ini, hanya tersekat sebuah kaca dua arah yang
membedakan ruanganku dengan ruangannya. Tentu saja aku tau dirinya selalu memperhatikanku diam-diam. Mencuri-curi
tatap ke arahku saat aku sedang memecah focus antara mengintainya diam-diam dan menyelesaikan apa yang semestinya
kuselesaikan. Dan nampaknya aku terlibat dalam percintaan terlarang kembali jika permainan pura-puraku ini
kuteruskan.
Aku mencari tau tentang Gerry. Aku tau istrinya sedang depresi, entah karena apa, yang aku tau hubungan pernikahan
mereka sudah diujung tanduk. Persisnya, ini mempermudah jalanku untuk mengundangnya datang pada tawaran hatiku, toh
dirinya pun sudah terjerat semakin dekat. Pernah kudengar dari beberapa teman, entah sekedar isu atau memang begitu
adanya, Gerry sering menghabiskan malamnya di sebuah Klub Malam. Malam ini pembuktiannya.
“Mr. G, sudah melamunnya?” aku menyukai punggungnya yang dengan leluasa bisa kunikmati dari sini.
“Ya?” Gerry terlonjak. Semakin terlonjak ketika mendapati aku berdiri di belakangnya. Aku hanya melengkungkan
senyumku, menarik kursi
disebelahnya menjelaskan apa yang tadi terlewat dalam lamunnya.
“Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla” aku tau ia tidak menaruh focus penuh pada apa
yang kukatakkan.
Aku menggodanya dengan bibirku, dengan caraku berbicara. Dengan mataku yang menantang menatapnya.
“Oke. Lakukan.”
“Oke Mr. G.” Aku melenggang perlahan, keluar dari ruangannya. Meninggalkan sedikit pesonaku, membiarkan Gerry terusik
dari apapun yang ia lamunkan tadi.
Kutinggalkan Gerry dalam kesibukannya petang tadi. Aku harus mempersiapkan diri dengan baik untuk clubbing malam ini. Bisa saja aka nada perjamuan malam ini.
***
Sial! Pekerjaan memang tak pernah mau menunggu. Dan seperti biasa, aku tertinggal bagai sebuah fosil yang satu-
satunya mendiami tempat ini. Dalam gedung perkantoran ini. Sudah 2 jam yang lalu teman-teman meninggalkanku, yah,
meninggalkan kantor ini tepatnya. Dua jam kulewatkan dengan tumpukan laporan dari beberapa bawahanku serta perangkap
PC yang sedari tadi ku rodi untuk membantuku menyelesaikan tugas demi tugas. Pukul 9 malam. Pulang jam segini yang
ada aku akan mendapati Teresia menangis meraug dalam kamarnya, lalu dia akan menyumpah serapahku. Entahlah,
belakangan ini aku lebih memilih melewatkan malam hingga larut di sebuah Klub.
Aku selalu tersulut setiap kali
Teresia mengajukan tuduhan-tuduhan tak beralasannya. Menurutnya aku telah lama berselingkuh dengan beberapa perempuan
karena kekecewaanku padanya atas ketakmampuannya memberiku keturunan. Jikapun aku selingkuh, itu dikarenakan aku
menyesalkan tuduhan-tuduhan kejamnya padaku, bukan karena ketidak berdayaan yang Tuhan berikan padanya.
Kubereskan meja kerjaku, menuju parkiran di basement, melajukan mobilku, menghamburkan sebagian gajiku di klub malam.
Disini, dimeja biasanya, tempat dimana aku dan beberapa teman biasa menghabiskan segalanya, hanya saja malam ini
berbeda, aku sendirian, tanpa pilihan. Aku tidak berniat mabuk malam ini, karena itu hanya kupesan koktail biasa. Aku
hanya ingin mencari tempat untuk melewatkan waktu hingga pukul 12 malam. Yah, setidaknya untuk dua setengah jam ke
depan ‘lah.
“Mr G..”
Aku terkaget dengan sosok akrab yang belakangan ini sering kuamati diam-diam. Tidak menyangka dia akan ada disini, di
tempat yang sama denganku malam ini. Jeremiah. Entah mengapa kemunculannya yang tiba-tiba dihadapanku dan
penampilannya yang,…yang,…ah, entahlah, aku hanya bisa membatin, “Wow!”
Terusan hitam yang melekat erat ditubuhnya, membalut hingga bagian sepertiga atas lututnya. Serta tatanan rambut yang
diurai begitu saja seperti biasa, setelah sisir dengan jemari kebelakang. Wanginya bercampur dengan aroma beberapa
perempuan disini. Pantas saja aku tak begitu mengenalinya dengan cepat.
“Hei, Je. Dengan siapa?”
“Suntuk Mr, sendiri saja.”
“Come on, kamu tidak perlu memanggil begitu ketika atmosfir profesionalitas sudah berganti.
” Jeremiah tersenyum, entahlah, aku menangkap sedikit tingkah nakal, ah, bisa saja hanya persepsiku.
“So, Gerry, dengan siapa km disini?”
“Sendiri kebetulan. Berniat menghabiskan waktu bersama?” tanpa tedeng aling-aling, tentu saja bukan karena dibawah
pengaruh alcohol, aku tidak mabuk tdntu saja, aku menawarkan untuk menghabiskan waktu bersama Jeremiah.
Jeremiah menghempaskan diri ke sofa, persis disampingku, dekat sekali, kulit lengannya yang terbuka sempat
bersinggungan dengan lengan kemejaku yang kusingkap sebatas siku. Ada sesuatu yang berdesir aneh. Ada yang berdegub
menggedor dadaku kencang. Dan wajah kami semakin mendekat.
***
“Aku harus pulang.”
“Haruskah?”
“Ya,…istriku pasti ketakutan di rumah. Maaf.”
“Bisakah kita mengulanginya lagi?”
“Entahlah. Tapi, maafkan aku. Aku yang membawamu pada kesalahan ini.”
Ada yang tau rasanya menjadi sampah? Aku sedang mengalami ini kembali. Jeremiah, 27 tahun, tinggal sendiri, dan
ketagihan menjalani hubungan terlarang. Naasnya!
15.28/26.04.12
Mendingin disini.