4.26.2012

My Name is Je

Rambutnya lurus, agak berombak dibagian bawah, tidak begitu hitam berkilau, tapi seppertinya lembut, mungkin karena pewarnaan beberapa kali. Tentu saja. Dia sangat modis mengikuti trend. Tidak terlalu tinggi, kutaksir setinggi daguku. Jika kita berdiri berhadapan, mungkin aku bisa dengan mudah mengecup keningnya lembut. Selalu mengenakan baju yang tak membalut habis tubuhnya, selalu ada kesan seksi khas yang dieksplorenya dalam berbusana. Tidak begitu kurus, tapi tetap seksi di mataku, tetap sempurna, sesempurna bagaimana ia mengawali harinya dengan khas gayanya.

Dia tidak berjemari lentik, hanya saja bentuk jemarinya sangat membuatku tertarik, tetap saja, dia memukauku dengan caranya sendiri. Walau bisa saja dia pun tak pernah bermaksud begitu. Bisa jadi karena aku terlalu terobsesi.

Obsesi?

Entahlah.

Tidak sebegitunya kukira.

Pagi ini dia mengenakan terusan berwarna putih yang berhenti sebatas seperempat bagian bawah pahanya. Lutut yang bagus. Betis yang proporsional bagiku, dan sekali lagi, ia sempurna bagiku. Rambutnya yang panjang tergerai begitu saja, agak kusut tertiup angin kecil, atau bisa juga karna ia menyisirkan jarinya kebelakang, seringkali dilakukannya ketika sedang tak sabar atau gugup, yang mana entahlah. Matanya masih sama, masih khas dengan caranya menatap nyalang ke berbagai arah, sepertinya sedang mencari-cari, entah apa.

Aku selalu tertarik dengan sudut matanya yang tajam terangkat, membuat ia selalu tampak misterius. Sekarang ia berjalan ke arah kubikelnya, meletakkan hermes putihnya, menarik kursi dan menghempaskan badan dengan anggun –masih dengan cara yang kubaca begitu- dikursunya. Kali ini kuku-kuku cantiknya dipoles kuteks berwarna gelap, entahlah warna apa, semacam ungu, atau hitam mungkin. Sambil menunggu unit PC nya menyala, ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, suara benturan anatara kuku dan kaca dimeja terdengar berderap nyaring. Sekali lagi, aku suka.

 “Je, klien lo udah dateng di depan.”

 “Darimana?” sambil memalingkan sebagian badan memutar kebelakang, beberapa helai rambutnya ikut bergerak.

Wah!

 “Outsource yang di Jakarta.”

 “Okay. Minta suruh tunggu ya, Bi.” Ia berdiri, merapikan bagian bawah terusannya yang sedikit terangkat ketikan ia duduk. Merapikan sedikit rambutnya. Dan pergi.

 Jeremiah baru saja 2 minggu bekerja disini. Sebagai bagian dari departemen perusahaan yang sama dengan tempatku bekerja. Aku merekrutnya dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sangat picisan dan sangat norak, tapi aku sedang mengalaminya, dan aku menikmatinya. Aku tak tau banyak, yang aku tau, aku sudah beristri dan rumah tanggaku sedang tergoncang setahun belakangan. Istriku infertile, ada keanehan dengan system reproduksinya. Tadinya kami baik-baik saja, bahagia, seperti kebanyakan pasangan suami-istri di masa-masa awal perkawinan, bergairah dan dimabuk kepayang. Setelah 2 tahun pernikahan dan belum juga membuahkan hasil dari persilangan malam-malam yang giat kami lakukan, Teresia mulai merasakan ketidak beresan dalam dirinya, dengan tubuhnya. Dan dokter menambahkan bumbu untuk semakin dramatisnya kisah rumah tanggaku dengan Teresia. Dokter menyatakan Teresia infertile dengan alasan kelainan pada rahimnya, yang selalu menggagalnya tiap benih yang kutanamkan padanya. Teresiaku mulai kalut, jatuh semakin terpuruk dalam kesedihan dan rasa bersalah akan ketidakmampuannya melengkapi kebahagiaanku.

Teresia menjadi semakin sering menangis tengah malam, semakin kurus dan semakin limbung. Hingga mulai terjadi beberapa pertengkaran antara kami. Sebenarnya aku tak pernah mempermasalahkan ketidakmampuan Teresia dalam memberikanku seorang keturunan, aku sungguh memahaminya. Namun paranoia yang hinggap di dalam benaknya seakan betah dan enggan pergi, semakin meluas dan semakin mengakar. Teresia semakin jauh dariku. Enam bulan lalu kami berpisah ranjang. Ia memilih tidur di kamar tamu, ditemani perasaan-perasaan insecure dan segala pikiran paranoidnya tentang perkawinan kami dan kebahagiaan kami yang aus terkikis perlahan.

 “Mr. G. Sudah melamunnya?” Jeremiah menepuk pundakku lembut. Yang mengejutkan adalah wangi Kenzo yang sangat khas melekat diingatanku. Parfume yang sama dengan yang selalu kuhirup aromanya saat aku bersama Teresia.

 “Ya?”

 “Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla”

 Entahlah apa yang ia bicarakan, aku sedang menikmati bibir tipis merah muda yang sedang bergerak-gerak menjelaskan sesuatu padaku, juga wangi Kenzo.

 “Oke. Lakukan.”
 “Oke Mr. G.”

 ***

 Aku bukannya tak tau lelaki itu tertarik padaku. Sejak pandangan pertama matanya menatap padaku, aku tau ia tertarik. Bagiku tak mudah menarik perhatiannya untuk selalu menatap padaku dan terpusat padaku. Aku harus tampil dan bergerak dengan cara yang memukau. Ia pun sebenarnya tak terlalu jelek. Aku tertarik pada ada bidang dan punggung yang sedikit melengkung itu. Juga rahangnya yang tegas dan alis mata yang rapi membingkai kaku sepasang mata elangnya.

Namanya Gerry. Dan sialnya ia sudah beristri. Dan tiba-tiba aku sudah bekerja disini. Duduk persis di hadapan lelaki ini, hanya tersekat sebuah kaca dua arah yang membedakan ruanganku dengan ruangannya. Tentu saja aku tau dirinya selalu memperhatikanku diam-diam. Mencuri-curi tatap ke arahku saat aku sedang memecah focus antara mengintainya diam-diam dan menyelesaikan apa yang semestinya kuselesaikan. Dan nampaknya aku terlibat dalam percintaan terlarang kembali jika permainan pura-puraku ini kuteruskan.

Aku mencari tau tentang Gerry. Aku tau istrinya sedang depresi, entah karena apa, yang aku tau hubungan pernikahan mereka sudah diujung tanduk. Persisnya, ini mempermudah jalanku untuk mengundangnya datang pada tawaran hatiku, toh dirinya pun sudah terjerat semakin dekat. Pernah kudengar dari beberapa teman, entah sekedar isu atau memang begitu adanya, Gerry sering menghabiskan malamnya di sebuah Klub Malam. Malam ini pembuktiannya.

“Mr. G, sudah melamunnya?” aku menyukai punggungnya yang dengan leluasa bisa kunikmati dari sini. 

“Ya?” Gerry terlonjak. Semakin terlonjak ketika mendapati aku berdiri di belakangnya. Aku hanya melengkungkan senyumku, menarik kursi disebelahnya menjelaskan apa yang tadi terlewat dalam lamunnya.

“Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla” aku tau ia tidak menaruh focus penuh pada apa yang kukatakkan. Aku menggodanya dengan bibirku, dengan caraku berbicara. Dengan mataku yang menantang menatapnya.

 “Oke. Lakukan.”

 “Oke Mr. G.” Aku melenggang perlahan, keluar dari ruangannya. Meninggalkan sedikit pesonaku, membiarkan Gerry terusik dari apapun yang ia lamunkan tadi.

Kutinggalkan Gerry dalam kesibukannya petang tadi. Aku harus mempersiapkan diri dengan baik untuk clubbing malam ini.  Bisa saja aka nada perjamuan malam ini.

 ***

 Sial! Pekerjaan memang tak pernah mau menunggu. Dan seperti biasa, aku tertinggal bagai sebuah fosil yang satu- satunya mendiami tempat ini. Dalam gedung perkantoran ini. Sudah 2 jam yang lalu teman-teman meninggalkanku, yah, meninggalkan kantor ini tepatnya. Dua jam kulewatkan dengan tumpukan laporan dari beberapa bawahanku serta perangkap PC yang sedari tadi ku rodi untuk membantuku menyelesaikan tugas demi tugas. Pukul 9 malam. Pulang jam segini yang ada aku akan mendapati Teresia menangis meraug dalam kamarnya, lalu dia akan menyumpah serapahku. Entahlah, belakangan ini aku lebih memilih melewatkan malam hingga larut di sebuah Klub.

Aku selalu tersulut setiap kali Teresia mengajukan tuduhan-tuduhan tak beralasannya. Menurutnya aku telah lama berselingkuh dengan beberapa perempuan karena kekecewaanku padanya atas ketakmampuannya memberiku keturunan. Jikapun aku selingkuh, itu dikarenakan aku menyesalkan tuduhan-tuduhan kejamnya padaku, bukan karena ketidak berdayaan yang Tuhan berikan padanya. Kubereskan meja kerjaku, menuju parkiran di basement, melajukan mobilku, menghamburkan sebagian gajiku di klub malam. Disini, dimeja biasanya, tempat dimana aku dan beberapa teman biasa menghabiskan segalanya, hanya saja malam ini berbeda, aku sendirian, tanpa pilihan. Aku tidak berniat mabuk malam ini, karena itu hanya kupesan koktail biasa. Aku hanya ingin mencari tempat untuk melewatkan waktu hingga pukul 12 malam. Yah, setidaknya untuk dua setengah jam ke depan ‘lah.

 “Mr G..”

 Aku terkaget dengan sosok akrab yang belakangan ini sering kuamati diam-diam. Tidak menyangka dia akan ada disini, di tempat yang sama denganku malam ini. Jeremiah. Entah mengapa kemunculannya yang tiba-tiba dihadapanku dan penampilannya yang,…yang,…ah, entahlah, aku hanya bisa membatin, “Wow!” 

Terusan hitam yang melekat erat ditubuhnya, membalut hingga bagian sepertiga atas lututnya. Serta tatanan rambut yang diurai begitu saja seperti biasa, setelah sisir dengan jemari kebelakang. Wanginya bercampur dengan aroma beberapa perempuan disini. Pantas saja aku tak begitu mengenalinya dengan cepat.

 “Hei, Je. Dengan siapa?”

 “Suntuk Mr, sendiri saja.”

 “Come on, kamu tidak perlu memanggil begitu ketika atmosfir profesionalitas sudah berganti.

” Jeremiah tersenyum, entahlah, aku menangkap sedikit tingkah nakal, ah, bisa saja hanya persepsiku.

 “So, Gerry, dengan siapa km disini?”

 “Sendiri kebetulan. Berniat menghabiskan waktu bersama?” tanpa tedeng aling-aling, tentu saja bukan karena dibawah pengaruh alcohol, aku tidak mabuk tdntu saja, aku menawarkan untuk menghabiskan waktu bersama Jeremiah.

 Jeremiah menghempaskan diri ke sofa, persis disampingku, dekat sekali, kulit lengannya yang terbuka sempat bersinggungan dengan lengan kemejaku yang kusingkap sebatas siku. Ada sesuatu yang berdesir aneh. Ada yang berdegub menggedor dadaku kencang. Dan wajah kami semakin mendekat.

 ***

 “Aku harus pulang.”

 “Haruskah?”

 “Ya,…istriku pasti ketakutan di rumah. Maaf.”

 “Bisakah kita mengulanginya lagi?”

 “Entahlah. Tapi, maafkan aku. Aku yang membawamu pada kesalahan ini.”

 Ada yang tau rasanya menjadi sampah? Aku sedang mengalami ini kembali. Jeremiah, 27 tahun, tinggal sendiri, dan ketagihan menjalani hubungan terlarang. Naasnya!
15.28/26.04.12 Mendingin disini.

4.17.2012

Little Story at The Coffee Shop




Bermula dari pesanan yang tertukar. Aku yang membenci segala yang manis-manis dengan kecerobahanku yang melewati batas, dengan kamu yang sangat menyukai cokelat dengan penciuman peka yang sangat mengenal khas aroma kopi dalam cup tertutup.

“Mas! Ini cokelat! Bukan Kopi!”

“Permisi, saya pesan Hot Chocholate Mas, bukan Sidikalang.”

Lalu kamu dan aku, ah, kita saling bertukar tatap, berpaling kekanan dan kiri untuk bertemu tatap pertama kali, lalu saling tertawa menyadari minuman kita yang tertukar.

“Manis sekali.” Aku mengangkat cup tertutup yang seharusnya adalah pesananmu.

“Strong sekali.” Kamu menggeser cup tertutupmu di depanku. “Belum kuminum, aku bisa menebak dari wanginya yang khas. Silahkan jika tidak keberatan. Setidaknya Mas ini tidak terlalu lama melayani kita untuk kedua kalinya.”

“Terimakasih. Sonja.” Aku mengulurkan tanganku, menagih sebuah tukar nama untuk mempermudah ucapan terimakasihku yang semestinya.

“Shandy. Bahkan orang bisa tertukar memanggil nama kita.” Kamu membalas dengan semestinya.

“Terimakasih Shandy, aku kembali ke mejaku.”

Aroma sidikalangku menguak ketika kubuka penutup cup-nya. Ini favoritku, original black coffee. Dan akan memperlancar jemariku membentuk irama-irama kata dalam kalimat-kalimat yang terberai dalam kesemerawutan otakku. Aku sedang dalam kejaran deadline, dan ingin segera meloloskan diri dengan melunasi hutangku akan tanggungan naik naskah berikutnya. Besok hari terakhirnya, sedangkan insight belum juga lolos dari jeruji dalam otak sana.

Oke, Sonja, bagaimana jika kau mulai dengan membuat relaks dirimu dulu. Nikmati kopimu. Nikmati alunan music café ini. Resapi kesunyian dan kesenyapan sudutmu disini. Dan aroma musk white.

“Sonja, …”

Musk white?! Wait!! Aku tersentak dari tenggelam yang berangsur dalam kenyamananku menemukan insight. Terbangun dan berpaling ke arah sumber wewangian dan, ah dia lagi.

“Ya?”

“Kamu meninggalkan dompetmu dan struk pesananmu.” Oh, well. Payah sekali.

“Oh, sorry. Thanks. Ah, yeah. Thanks. Maaf aku jadi kagok.” Dobel payah!

“Ah, nggak. Aku yang harusnya minta maaf mengagetkanmu. Silahkan kamu lanjutkan tidurmu.” What?? Dia berpikir aku tidur? Di café shop?

“Ooo nggak. Ini sebenernya cuman lagi relaks. Aku nggak tidur.” Dan aku masih tetap tak tau kenapa aku harus menjelaskan ini padanya. Ah, kacau sekali!

“Well. Nikmatilah kopimu. Dan pencarian kenyamananmu.”

“Thanks, Shandy.”

Aroma Musk Whitenya pergi. Ah, sepi lagi. Aku merogoh tasku, mengoprek-oprek isi kantong depan. Mencari rokok dan pemantiknya. Rokok ketemu. Dan masih tetap bersikeras meyakini bahwa aku memasukkan pemantikku di kantong depan situ sebelum aku bergegas dengan terburu…

Terburu?
Ah, aku lupa! Bisa jadi masih di meja kerja dalam kamar kostku!

“Boleh aku join? Setidaknya aku punya pematik gas disini.” Musk White datang lagi, dan ada sesuatu yang berlompatan di dalam perutku.

Lalu kita bicara banyak hal. Tenggelam dalam cerita-cerita dan topik-topik menarik yang bergulir menemani menit-menit kedepan kita. Yang kusadari, aku tertarik padamu dan mendapatimu akan ada dalam kisah berikutnya. Entah mengapa saat kamu berbicara dan berapi-api bercerita, ada seuatu yang berdesir di dalam dada ini. Matamu yang memancarkan sorot menarik yang tak bisa kugambarkan selain dengan kata “Menarik”, bibirmu yang selalu menyunggingkan senyum selagi kamu bercerita, dan alis tegas yang meliuk naik-turun menunjukkan betapa bersemangatnya dirimu membagi cerita padaku. Dan sekali lagi Musk White membiusku.

Aku tau kamu teratrik padaku. Sama jelas dengan bagaimana kamu tau aku juga tertarik padamu. Kita sedang bermain pura-pura asik dengan topic. Dan aku menikmati caramu menggiringku kepertemuan selanjutnya.

“Hey. Bukankah berkencan dengan penulis di tempat semacam ini seharian adalah hal yang membosankan?”

“Rekomendasimu?”

“Jadi katakan mana yang kamu suka, gemerlap bintang atau gemerlap kota yang menyerupai bintang?”

“Bukankah yang asli adalah yang dicari?”

“Keduanya bisa kamu dapatkan ditempatku. If you don’t mind, Lady Sonja.” Manis. Tepat di saat yang tepat.

“As you wish.”

***

Di ketinggian sekian puluh meter. Di sebuah ruang yang dipenuhi aroma Musk White.


“So how? Apakah cukup membantumu menemukan insight mu?”

“Entahlah, Shan. Hanya saja aku sedang hanyut dalam wewangian di dalam sini. Dan di luar sana cukup dingin untuk melepas insight bebas berlarian.”

“Aku punya Timica* jika menurutmu itu menarik dan cukup membantu.”

“A cup of Timica,please.”

Bukan ruangan yang terlalu rapi sebenarnya. Masih terlihat beberapa pemandangan yang kurang menyenangkan di dekat pintu masuk. But over all, ini masih cukup rapi jika dibanding dengan beberapa kamar laki-laki yang biasa aku kunjungi. Setidaknya ruang tengah sekalian kamar tidur ini memiliki atmosfir yang cukup nyaman untuk kutinggali beberapa saat, ditambah dengan wangi Musk white yang menjelajah seluruh isi ruangan. Aku curiga ia menyemprotkan wangi perfumenya ke seluruh ruangan sebagai pengganti pewangi ruangan yang memiliki bau khas picisan.

Dan kamu kembali dengan 2 cup mengepul uap dengan 2 aroma berbeda.

Aku tenggelam dalam aroma Timica yang kau suguhkan, dan sisa musk white yang menguak dari badanmu. Tanpa kata-kata dan kalimat lain. Kita sedang menikmati diam dan sentuhan. Kita sedang menikmati malam diantara gemerlap bintang.

***

04.12, Esoknya. Kurampungkan ceritaku.


Terimakasih.

Kupinjam cerita kita seharian lalu untuk waktu dalam kisahku.

Aku pulang. Kau tau harus bagaimana jika tertarik untuk lanjutan kisah yang ku

berikan semalam.

Sonja



Lelaki dalam kisahku terbangun, mengambil secarik pesan dalam kertasku. Tersenyum. Aku tau kapan ia akan mencariku.





17.04.12
Bagaimana aku mengingatmu
Dalam banyak cerita

4.11.2012

Tell Me

Kita bertengkar lagi.

Kita berada di tengah-tengah hati yang sedang meradang lagi.

Apakah kita memang tak pernah cocok?
Apakah kita dulu hanya saling berpura-pura cocok satu sama lain?

Aku tak tau. Yang jelas pertengkaran-demi pertengkaran semakin memenuhi daftar hadirnya dalam hari-hari kebersamaan kita. Aku tak tau apakah aku atau dirimu yang terlalu egois, bisa jadi kita berdua sama-sama egois. Bisa jadi. Berulang kali aku menyampaikan sesuatu soal apa yang kuinginkan dan apa yang kurasakan, soal aku ingin kita bagaimana untuk sama-sama bahagia. Hasilnya nol. Aku mengutuk dinding tebal dalam membran di otakmu. Membatasi otakmu untuk mudah menerima segalanya yang keluar dariku dengan mudah dan leluasa. Aku juga mengutuk lempeng baja yang membungkus seluruh permukaan hatiku, menghalanginya untuk bisa dengan mudah mencerna dan memilah mana cemburu tanpa alasan dan mana kasih tak bersyarat.

Aku lupa. Aku sedang lupa dengan apa yang aku lalui belakangan sehingga membuatku melupakan bagaimana cara mencintaimu dengan tulus seperti bagaimana dulu aku melakukannya untukmu. Yang aku ingat pada awalnya dulu aku dan dirimu saling mengerti, kamu yang memahami dan aku yang mau memberi pengertian. Dan sekarang itu seakan terkikis. Apakah kita terlalu kelewatan menghabiskan kebahagiaan yang ada antara kita? Apakah saking kelewatannya sisa kebahagiaan untuk hari ini dan nanti telah terpakai untuk hari-hari jauh sebelumnya? Jika begitu bisakah kita memproduksinya lagi? Apakah cinta adalaah sesuatu semacam gas yang mudah menguap begitu saja? Kamu dan apapun yang ada diant`ra kita, membuatku tak berhenti bertanya-tanya.

Entahlah.

Kadang aku berpikir dengan buruknya mengenai dirimu yang berpura-pura bahagia bersamaku. Juga tak jarang aku berpikir mengenai betapa menyebalkannya diriku sehingga membuatmu merasa muak namun kamu tetap terpaksa memasang topeng pura-puramu yang seakan mencintai aku. Dan jika kau ingin tau, sungguh itu menyiksa bagiku.

Sekarang aku pergi.

Tak lama, hanya beberapa saat. Aku menyepi dalam ruang yang kuanggap bersih dari kesal dan sebal tentangmu. Melepas segala sakit hati, menguliti lapis demi lapis keegoisanku sendiri, mencoba menelanjangi diri.

Aku kembali meruntut segalanya dari semula.

Aku mengenalmu diantara kubikel dan tetumpukan kertas dengan gores tinta berirama. Aku menemukanmu dalam suatu nama. Aku mengingatnya, dan aku melihatmu dalam suatu hantaman keras yang menabrak dadaku, isinya terbatuk, aku terpana. Sekali kehadiranmu berlaku semacam sengatan kuat di dalam dada sini, sangat tak biasa, istimewa.

Lalu entah bagaimana, tiba-tiba, jarak antara kamu dan aku hanyalah sebuah sekat yang bisa kurobohkan dalam 1 hentakan. Yang aku sadari aku tertarik padamu. Yang aku pahami, sesuatu didalam sini tumbuh semakin membesar perlahan saat aku semakin sering bicara denganmu. Yang aku ingat pasti, ada sesuatu yang megitu cepat membumbung dan semakin melayang setiap saat tawa pecah diantara kita, saat tatap kita bertemu dalam sepersekian hitungan waktunya. Lalui kusadari, aku jatuh cinta, ketika aku siap.Hingga disuatu ketika sentuhan adalah kehadiran yang pasti dalam tiap pertemuan kita.

Aku masih ingat, betapa aku bahagia setiap saat kamu menawarkan kebersamaan lebih lama denganmu setelah jam-jam professional yang kita lalui bersama. Dan aku masih merasakan persis rasa siksa menunggu dan berharap esoknya kamu akan mengajukannya lagi dan lagi. Dan itu menjadi kenyataan, saat dimana aku merasa betapa baiknya hidup berlaku padaku.

Aku mengingat persis, kopi pertamaku denganmu. Manis. Dan aku meneguknya habis.

Aku juga mengingat persis bagaimana pertama kali aku menciummu, pertama kali kamu menciumku+ dan bagaimana akhirnya kita memulai ciuman pertama kita. Selalu bisa membuatku tersipu. Selalu sukses dengan caranya sendiri.

Hhh, akhirnya aku mengetahui sebuah kebenaran. Setidaknya cinta tak mudah menguap padaku. Aku bersyukur untuk kekekalan cinta yang berdiam dalam diriku sampai saat ini.

Kuruntut kembali melaju kedepan, mendekati retakan-retakan menyakitkan antara kita. Aku yang marah padamu untuk sebuah nilai dari harga diriku sendiri. Sangat egois memang jika mensejajarkan anatar harga diri dan tulus kasih. Karena sampai kapanpun aku memperjuangkan keduanya, dipangkal rasa, harga diri mundur dengan perlahan, mengendur meninggalkan bekas ikatan kencang. Mengecewakan.

Aku yang meradang atas kecemburuan akan masalalumu yang masih singgah untuk datang, dan kau sembunyi-sembunyi menjamunya dengan keramah-tamahan yang tak pernah aku tau persis sebagai formalitas atau memang begitu adanya yang kamu inginkan. Hey kekasih, adakah kau akan merasakan meradang yang sama jika aku yang melakukannya dengan diam-diam? Temukan jawabannya ketika membrane di otakmu bekerja dengan optimal tanpa batasan dinding tebal disana.

Putaranku telah sampai pada masa dimana kita saling meradang karena masalaluku yang begitu bebal binasa. Aku yang terlalu melekatkan figure buruk masalaluku padamu. Maafkan. Tanpa kesengajaan. Aku merespon segala stimulus serupa dengan respon lama. Pelajarilah lalu bicara yang sepadan soal itu. Karena bagiku, terlalu egois jika dirimu berkata lantang dan angkuh bahwa itu seutuhnya ada pada kendaliku. Kamu menyalahkan orang yang sedang belajar berjalan setelah kelumpuhan sementara dikedua tumpuan kakinya.

Hey, kekasih..
Jelaskan padaku, seberapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk kembali menemukan kebahagiaan setelah aku tak lagi ada di sisimu?

Aku akan mengetahui seberapa jauh aku berpengaruh pada sedikit rentang dalam hidupmu darinya.

Bukankah manusia jarang mempertanyakan ketulusan dan jaminan tentang keberlangsungan apa yang mampu ia berikan untuk sesamanya?

Aku sudah menanyakannya pada diriku sendiri, dan kamu mendapatkan jawaban akan jaminanya baru saja.

Bagaimana denganmu? Apakah bagimu cinta adalah semacam gas yang bisa dengan mudah menguap begitu saja?

Beri tahu aku.



Sisiterang.10.34