Batang keenam. Janjinya dalam
hati, di batang ketujuh, ia akan pergi walau harus mengemasi sakit hati dan
menelan bulat-bulat pil pahit yang diramunya semenjak tadi di café kopi.
Desperate sekali perempuan satu ini. Lelaki yang sudah semestinya menjadi
suaminya itu tak pulang malam lalu, kemarin malam, dan roman-romannya akan
begitu juga malam ini. Hatinya sedang hening tanpa tuan rumah. Lampu-lampu
kasih padam tanpa saklar ajaib yang disentuh untuk sekedar menghidupi rasa dan
hantaran getar gelora dalam dinding-dinding cintanya.
Masih di meja yang sama. Sebuah
persegi kayu dengan salah satu kakinya yang timpang, membuat resah semakin
kentara setiap kali ia menjatuhkan beban lewat tumpuan sikunya dimeja.
Kaki-kakinya seakan turut menciptakan irama gelisahnya, menciptakan
goncangan-goncangan halus berirama pada tubuhnya. Kopi masih setengah cangkir,
tak diacuhkan. Kopinya masuk angin, kedinginan dalam wadah. Badannya lebih
banyak lagi diterjang angin. Tak jauh di depannya sebuah AC terpampang jumawa. Dia
bukannya tak tau badannya terlalu sensitive merespon dingin, hanya saja dia
sedang lupa, teralihkan oleh sibuknya aktifitas untuk menanti seseorang.
Batang keenam sudah musnah.
Dihujamkan keras-keras penuh tekanan puntungnya di atas asbak. Tak puas,
bara-bara kecil yang mengharap terang oranye pun masih disundut-sundut oleh
puntungnya yang makin bengkok. Sakit hati menyalar diujung jemarinya. Matanya
gelisah, jauh lebih gelisah jari-jemarinya, antara mengerling ke bungkus rokok,
dan mengetuk-ngetuk acak permukaan mejanya. Cangkir kopi akhirnya. Disesap
hingga seperempat, asam-pahit tertinggal di langit-langit mulutnya. Jelas tak
sepahit apa yang dicecapnya sejak malam lalu.
Mengulang gelisah. Meja makin
bergerak naik turun seiring dengan gerak tumpuan sikunya. Kaki berayun makin
acak. Rambut diselipkan kebelakang dua sisi telinganya. Indera dengarnya
dipersiapkan tajam-tajam menangkap sekecil apapun kemungkinan yang dinantinya.
“Last order, kakak.” Seorang waiters
menunduk sopan di hadapannya. Membuyarkan kegelisahannya sekejap. Menjadi
sepersekian alaasannya untuk sempat gelagapan, antara kaget dan upaya keras
untuk menahan terjunnya airmata.
“Secangkir lagi hot mandaeling.”
“Baik, kakak.”
Ia mendengus. Antara lega dan
kesal, entah dominan yang mana.
Seperempat gelas terakhir
dihabisinya dalam sekali angkat dan teguk. Mirip-mirip tukang becak,
setengahnya lebih mirip janda desperate. Lagi, jemarinya mengetuk dengan irama
yang lebih jelas diatas meja. Ia memiliki alasan menunggu lebih lama kini,
secangkir lagi hot mandaeling yang dipesannya.
Pandangan matanya
berpindah-pindah, antara meja, ketukan jemarinya, mengulas pandangan sejauh
mata memandang, dan smart phone yang tergolek di samping kirinya. Makin ngenes menyadari, tak ada yang sedang
memikirkannya, terlebih, tak ada yang mencarinya.
Ia merutuki dirinya dalam hati.
Merutuki harapan-harapannya yang kian hari kian membumbung tak tau diri.
Merutuki diri yang kian lama kian keras kepala meyakini sesuatu yang tak juga
persis pasti. Merutuki mengapa harus lelaki ini yang berbuat begini padanya.
Terakhir, merutuki diri sendiri. Kembali ke dalam, menyakiti diri lagi.
Mandaelingnya sudah mengambil
posisi di hadapan. Asap tipis mengepul. Aroma yang selalu dirindukannya. Khusus
malam ini, aroma ini kalah saing dengan aroma lain yang menguar dari tubuh
seseorang yang belum juga beranjak pulang padanya.
Kerlip merah. Mengedip nakal dari
smart phone-nya. Hatinya makin gelisah. Ia memejamkan mata. Memanjatkan doa
dalam hati, meraung-raung pada Tuhan yang diyakininya dalam hati, meminta
dengan histeris,
“Biarkan dia Tuhan. Biarkan dia.
Berilah dia untukku.”
Pelan, ragu, diraihnya gadget
yang makin lama makin murah itu.
“Aku mencarimu… Kau tak ada…dimana?”
Aneh. Ia tak merasakan apa-apa
lagi. Sepertinya tiga malam penantian cukup membiusnya untuk matirasa. Tak ada
lega, tak ada getar. Ia sempat akan mencari dan memanggil rasa, tapi sesuatu
yang kuat dalam dirinya berkata “Tidak”.
Batang ketujuh saat ini.
Mandaeling masih menguapkan sisa aroma dan asap tipisnya.
Ia beranjak dari duduknya. Duduk
gelisah semenjak beberapa jam lalu. Batang ketujuh masih terselip di sudut
kanan bibir merah tipisnya. Kepalanya sedang dipenuhi akan arah.
Arah menemukan rumah baru.