2.28.2012

Since We Meet

"I just can't say what I have to say"



Mencintai kamu bukan pilihan, tapi anugerah.

Mengenal kamu bukan suatu kebetulan, tapi tuntunan takdir.

Menyayangi kamu bukan takdir, tapi keharusan.

Mempertahankan kamu bukan keharusan, tapi tujuan.

Bahagia bersamamu adalah hal yang paling utama untuk aku perjuangkan dengan segala pengorbanan.

Ini dari sisiku, sudut pandang tempat dimana aku berdiri.



Aku dikirim Tuhan melalui waktu dan putaran peristiwa untuk saling bersinggungan denganmu, saling bertemu, saling melihat dan pada akhirnya kita saling tertarik. Tidakkah bisa kau lihat ini adalah proses yang sangat luar bisa?

Pertemuan kita adalah salah satu dari keajaiban, Dear..


Apakah kamu bisa dengan mudah melepaskan keadilan untuk dirimu sendiri?
Keadilan soal kebahagiaan yang membuat dirimu menemukan sebuah keberuntungan dari kebaikan hidup.

Jika kamu bisa, maka aku tak akan menemukan pilihan lain untuk bisa mengejarnya bersamamu, karena untuk berlari mengejarnya,tak hanya cukup aku mengejarnya dengan kedua kaki dan segala yang ada dalam diriku, aku sangat membutuhkan kamu.

Tapi sayang,...sungguh aku tidak bisa memaksamu, karena cinta itu bukan hal yang bisa kupaksakan tertancap dalam di hatimu. Aku hanya ingin berjuang untuk kebahagianku, yaitu mencintai kamu dan membagi cinta bersamamu.

Itu saja.

Karna sungguh, kau tak perna bisa mencintai orang dengan cara yang sama.




Catatan Pagi Ini
280212: 10.00

2.27.2012

When Everything Become Imposible


I won't , I scared, but I'm in





Mendengar kata-kata pisah itu seperti terpeleset dari pinggiran tebing, takut, nggak mau tapi lagi ngambang antara pijakan teratas dan hempasan terbawah, tinggal nunggu sakitnya, atau paling parah ya matinya.

Rasanya seperti nggak percaya(ya jelas aja nggak percaya, kan tadinya terpeleset, bukannya terjun dengan sengaja), nggak percaya kalau sebentar lagi akan terhempas dan kesakitan, sakit yang nggak ada jaminan persisnya bakalan sesakit apa dan tersembuhkan atau tidak. Nggak percaya aja kalau yang kemarin-kemarin diyakini segalanya akan selalu baik-baik saja dan menyenangkan tiba-tiba terancam berakhir. Atau bisa jadi nggak pernah mempersiapakan jika tiba-tiba kita ada tanpa belahan jiwa kita (Belahan jiwa tentunya bisa siapa saja yang sedang kita ajak untuk berbagi cinta, kebahagiaan dan segalanya).

Well..
Sedikit banyaknya juga aku pernah merasakan yang macem itu, tinggal dilihat aja akhirnya..


The Past Make Me Better or Bitter


Siapa sih yang punya jaminan segalanya akan berjalan sesuai rencana? Kalopun begitu melulu, Tuhan gak perlu melengkapi kita dengan kepekaan, kesabaran dan kewaspadaan. Tinggal dilihat, apakah kita bisa menerima kegagalan dalam membuat suatu kebahagiaan untuk aku dan dia, kamu dan dia atau siapa dengan siapa. Yang jelas jika aku harus kehilangan dan berpisah dengan kamu, maka aku kehilangan satu atau bisa jadi beberapa peluang untuk membuat kebahagiaanku sendiri, karena bagiku, peluang bahagia adalah saat aku merasa nyaman bersama dengan seseorang, dan beruntungnya itu adalah kamu.

Mengapa bisa kubilang beruntung?
Karena aku bisa membuat kebahagiaan-kebahagiaan dengan berbagai takaran sejak aku mengenal kamu, dekat dengan kamu, dan menyatu dengan kamu. Walalupun itu hanya sebentar, walaupun itu tak ada jaminan akan berlaku selamanya, walaupun itu sudah berlalu.



Catatan Tentang Kamu
Hari di Awal Minggu, hampir tengah hari.

2.25.2012

Daily Note (Just a Little Story)


Please,..grow old with me...




Pernah tau cycle of love story?

Ketemu --> kenal --> deket --> saling tertarik --> Jatuh Cinta --> Sakit Hati (atau Saling Menerima) --> Bertengkar (atau Saling Memahami) --> Putus (atau Tumbuh Menua Bersama)


Percabangan pertama terjadi ketika dua belah pihak saling jatuh cinta, kamu dan aku bisa memilih untuk berujung pada yang mana.

Kalau aku,

Aku ingin tumbuh dan menua bersamamu, bersamamu yang mencintai aku yang lebih dulu mencintaimu.

Jangan bilang tidak atau tak mungkin. Jangan.
Itu semacam ketidak adilan untuk harapan dan kebahagiaan dalam diri bagiku.

Katakan saja, "Kita akan mencoba"
Dan lakukan seperti apa yang kau katakan,
Coba dan upayakan kebahagiaan kita.




Catatan Kecil Hari Ini
250212 : 13.00

2.07.2012

Malam Perjamuan Terakhir

“Katakan kamu mencintaiku.”

“Hmm, aku mencintaimu tentu saja sayang.”

“Katakan dengan sungguh-sungguh.”

Kamu beranjak dari tidurmu. Bangkit dalam duduk, menatapku, terdiam lama, sangat lama bagiku yang sedang dihajar ragu. Mata yang sama sedang menatapku. Tangan yang sama sedang menangkup jemariku didalamnya. Ragamu sedang utuh menjadi milikku saat ini.

“Aku yang sedang ada dihadapanmu ini, teramat mencintai kamu.”

Sigh!

Ini yang tak sama. Perpaduan dari sentuhan yang berbeda, tatapan yang berbeda dan ketulusan yang membaur dalam kata dan suara yang juga tak sama. Apa yang kau katakana dengan kesungguhan yang kau upayakan semurni mungkin tadi terdengar seperti ,”Pergi atau matilah saja sana” bagiku. Sangat mengiris, sangat sakit.

Bisakah ku pesan sebuah benturan keras yang minimal membuatku lupa bagaimana itu sakit dan bagaimana itu bersedih? Bisakah otakku dikacaukan secara parsial yang membuatnya lupa seperti apa itu kecewa dan bagaimana itu kehilangan? Karena aku hanya ingin mengingat kamu sebagai hal terindah yang pernah kudiami sebagai dunia yang artinya adalah segalanya. Sungguh!

49 Minggu bersamamu. Tak pernah kurang sedikitpun kebahagiaan di dalam sini. Tak ada yang kurang
sedikitpun didalam sini, segala ruang terisi penuh dengan kebahagiaan darimu. Kamu yang datang di saat aku selesai merapikan ruang tamu di hatiku, tepat setelah aku usai meriasnya seindah mungkin untuk disinggahi. Kita berlama-lama membagi segalanya disana, hingga waktu yang menentukan segalanya telah tepat untuk menjamumu di ruang makan, dan di dalam bilikku. Bilik yang hanya akan berisi aku dan kamu.

Rasanya seperti harus mencabut satu-satu sayap yang kupunya untuk bisa terbang tinggi dan menikmati awan kembali. Mencabut satu-satu dengan tanganku sendiri. Rasanya seperti harus mencabuti tulang sendiri, memaksanya lepas dari raga ini, hingga tinggal daging terpuruk. Rasanya menyakitkan. Aku tak akan membaginya bersamamu tentu saja. Bisa jadi kamu sedang menikam perihmu sendiri, dan memakai topeng pura-puramu. Bisa jadi kamu memang beranjak sembuh dari sakit pengharapan. Bisa juga kamu sedang mencekik cinta pelan-pelan dalam hatimu. Bisa saja.

“Peluk aku..”

Diam pecah dalam parauku, parau yang kemudian dengan sangat susah kutenggelamkan kembali jauh kebawah kuasa diri. Kamu menatapku, dan aku kehilangan kamusku dalam membaca isyaratmu. Kita berpelukan. Kucoba mengingat-ingat kembali bagaimana rasa pelukanmu yang terakhir. Tak sama. Tetap tak sama. Sekali lagi tak sama. Tapi aku tak ingin melepasnya. Aku tak ingin kehilangan pelukanmu walau rasanya tak lagi sama. Walau itu tak lagi membuatku merasa aman, damai dan memiliki segalanya. Biar kuberi tau, pelukanmu saat ini membuatku merasa ditusuki disekujur tubuh, sakit sekali, membuatku ingin menangis, sakit sekali. Tapi sungguh aku tak ingin melepasnya, tetaplah begini, setidaknya ini adalah dirimu.

Dulu aku akan mendapatkan sebuah kecupan yang masih kuingat persis bagaimana lembutnya, bagaimana hangat yang digetarkannya ke sekujur tubuhku. Bagaimana sebuah kecupan membuatku merasa sangat lengkap dan sempurna. Dulu aku selalu mendapatkanya setiap kali aku berada dalam dekapanmu. Dan aku sedang hidup di masa sekarang. Aku sedang bernafas dan susah payah menjalani peran di masa sekarang. Masih bersama kamu. Kamu yang sekarang.

“Apa aku patut dicintai, Yo?” masih kubenamkan seluruh wajahku didalam pelukanmu, mencium dada bidangmu, yang dulu selalu bisa menyampaikan hangat dan perlindungan padaku.

“Uhuumm. Kenapa bertanya begitu?”

“Nothing. I just… ah, forget it. I miss you.”

“I’m here baby. I’m hear my dear.”

Hening lagi. Pelukanmu semakin ragu. Semakin longgar dan semakin rela melepasku.

Beritahu aku, apa yang bisa aku lakukan untu memulangkanmu? Atau apa yang kau ingin kulakukan untuk aku bisa menemui dirimu lagi? Beritahu aku apa yang bisa kuberi untuk membuat kita mendapatkan hal yang sama yang pernah kita dapatkan sebelumnya.

Kamu tahu bagaimana proses kerja sebuah candu? Mereka memberikan sebuah rasa istimewa yang memabukkan, membuatmu bahagia dan melayang. Kamu tahu butuh berapa lama menjadikan candu sebagai sesuatu yang membuat ketergantungan? Mereka membutuhkan waktu yang tak cukup lama bila ada saling kecocokan. Mereka masuk dan merasuk dalam nadi, menyatu dalam darah, menyebar keseluruh tubuh. Kamu tau bagaimana sakitnya disiksa candu dan kehilangan? Sama ketika kebahagiaan dan sesuatu yang istimewa yang sebelumnya telah merasuk dalam nadi, darah dan sekujur tubuhmu disedot dengan cepat dan kamu dibiarkan terguncang karena kehilangan. Tak ada yang peduli. Tak ada yang bisa menolong. Persis. Aku kecanduan kamu.

Aku keluar dari pelukanmu. Menjauhkan tubuh beberapa inci. Ingin mengamati apa lagi yang berbeda darimu. Yah, lengkap. Dirimu menjadi orang asing kini. Tak apa, aku tetap perempuan yang sama, yang tetap kecanduan padamu. Kudekatkan kembali tubuhku. Polos. Kita lihat, sejauh apa dirimu berganti wujud.

Tak sama. Kecupanmu ragu. Tak sama. Ciumanmu gamang. Tak sama. Sentuhanmu bimbang. Segalanya tak ada yang sama hingga akhir perjamuan kita.

Katakan padaku sekarang, cara apa yang bisa membuatku sembuh dari kecanduanku?

Karena sungguh sangat menyiksa saat aku bisa memilikimu tanpa aku menemukan dirimu bahagia bersamaku kembali. Tak kah kamu memahami bahwa kita harus sama-sama bahagia untuk bisa dikatakan sebagai pasangan yang saling mencintai? Ataukah cinta sudah berhasil meregang nyawa dalam cekikan dihatimu? Kenapa tak kau cekik dengan cepat pula cinta di hatiku? Agar setidaknya mereka bisa bersatu dan bahagia di tempat yang lain.

“Sudah terlalu malam sayang. Aku harus pulang.”

“When I will see you again?”

Kamu tersenyum. Setidaknya ini yang sama. Ini yang akan mengantarku untuk selalu mengingatmu yang amat mencintaiku. Kamu yang terlalu menjagaku dan takut kehilangan diriku. Setidaknya ini yang akan menjadi hal terakhir yang kekal untuk menyimpan segalanya tentang kamu.

“Tomorrow my dear.”

***

Kukemasi segalanya malam ini. Segala rasa yang hanya kujaga untuk kuberikan padamu, segenap sakit yang kutelan dan kudekap saat tak lagi bisa memiliki kamu, seluruh waktu yang terlewat dan bergulir dengan begitu cepat selama aku bersama kamu. Segala yang harus disudahi dan dibawa pergi.

Malam ini aku berkemas. Pergi seperti yang kau mau untuk aku dan dirimu. Selamat tinggal cinta, setidaknya aku adalah satu yang pernah mengajarimu sesuatu, semoga. Jangan bertanya soal cinta yang kuat dan pengorbanan yang sungguh, kamupun tau aku ahlinya. Jangan bertanya soal berapa lama aku bisa mengobati dan merelakan ini semua, kamupun tau, aku manusia paling bodoh untuk yang satu ini.





070212
12 hari lagi
Sakit disini meradang

God,..If Only

Aku tidak tau apa yang sedang dipermainkan waktu padaku, padamu, pada ini semua. Mula-mula aku sendiri ditemani waktu menjalani kisah sedihku. Waktu menemaniku ketika aku dalam masa penantianku. Waktu saksi yang melihatku dihempaskan lantang oleh sesuatu yang menyakitkan. Waktu juga yang memberikan aku hantaman telak yang membuat aku jatuh terjengkang. Waktu membuat aku berada pada masa dimana aku dicampakkan olehnya, sendirian, kesepian dan bertemu kamu. Waktu satu-satunya yang ada diantara kita. Diantara segala hal. Dan Tuhan memberikan kita banyak waktu yang tepat untuk saling mengenal, dekat, lekat dan saling jatuh cinta.

“Katakan kamu akan menikahiku.” Di tengah diam, diantara hangat pelukan, aku menuntutmu. Kamu menurunkan kepalamu, menatapku, tersenyum dalam anggukan.
“Katakan.”
“Iya.”
“Apa?”
“Aku akan menikahimu.”
“Kapan?”
“Ketika waktunya, entah kapan.”
Mencelos.
Hatiku kecut mendengarnya. Kata entah kapan-mu menyiratkan pesan mengerikan untukku. Pesan yang memiliki arti serupa dengan, “Bisakah aku hanya memacarimu? Apakah aku perlu menikahimu dan hidup selamanya bersamamu?”
Aku merunduk makin dalam. Bersembunyi dalam pelukanmu. Kalau bisa, aku memilih tak akan pernah keluar dari sana. Karena sesungguhnya aku pun tak pernah membutuhkan pernikahan jika kita bisa damai tinggal bersama dalam waktu yang lama. Sangat lama. Minimal sampai aku menutup mata untuk selamanya, lalu kamu boleh pergi kemana saja.
Apakah berdosa jika aku mencintaimu dengan takaran yang sedikit melebihi batasan? Aku hanya sedang kesulitan
mengatur segalanya yang berasal dari hati dan getaran saat aku bersama kamu. Aku hanya sedang merasa kecanduan dengan saat-saat bersama kamu.
Kamu tau bagaimana pesonanya candu kan? Kamu pernah tau atau sekedar melihat, mendengar atau apalah yang mengingatkanmu pada seorang pecandu yang merindukan candunya kan? Kurang lebih begitu yang kurasakan saat aku jauh darimu. Tak nyaman. Sangat tak nyaman. Kamu tau hal apa yang sangat ingin aku lakukan saat aku merasakan siksanya? Aku ingin berlari. Berlari menghampirimu, mencarimu, atau mungkin berlari dari tikaman-tikaman menyakitkan dari rindu. Yang mana saja, asal bisa membebaskanku dari sesaknya merindukan kamu.
Bisakah kita tinggal bersama?
Setidaknya jika kita tinggal bersama aku akan menjadi semakin jarang merindukan kamu. Sama artinya dengan aku akan jarang disiksa kangen yang semakin menjadi ketika aku tak bersama kamu. Setidaknya jika kita tinggal bersama aku akan lebih memiliki banyak waktu untuk kulewatkan bersama kamu di malam hari. Aku tak meminta 24 jam. Aku hanya mendambakan 18 jam saja. Bersama kamu. 18 jam di setiap harinya.
Sudah kubilang. Aku kecanduan kamu.

***

“Mungkin kita nggak usah menikah saja.” Aku memunggungimu. Menyakitkan sekali mengatakan itu sambil menatap mata teduhmu.
“Kenapa?”
“Terlalu banyak yang berbeda.”
Bagaimana bisa kita mengucap sumpah pernikahan yang sama, sedangkan caramu dan caraku memanggil Tuhan saja berbeda. Sedangkan arahmu dan arahku untuk memuja Tuhan saja berlainan. Sekali lagi waktu berperan dalam andilnya mempertemukanku dan kamu yang berbeda.
“Semuanya akan lebih mudah jika kita sama.”
Kamu melonggarkan pelukanmu, tak banyak, tapi sangat terasa. Kamu mencium puncak kepalaku, dalam. Aku memejam, menahan luka yang tergores entah disebelah mana. Di dalam sana tentu saja. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Apakah patut aku menyalahkan Tuhan? Apakah patut aku memperdosakan leluhurku, leluhurmu dan leluhur lain dalam keyakinannya memuja Tuhan? Apakah aku yang salah mencintaimu? Ataukah rasa kita yang salah jika saling bertautan? Atau justru sakit ini yang salah telah berhinggapan di hati-hati kita? Entahlah.
Aku tak tau. Semakin merasa tak tau.
“Apakah mencintaimu adalah dosa besar?” aku berputar, mengahadapmu lagi. Mencari jawaban lewat sepasang matamu. Kamu tenang, aku tau kamu sedang membohongi kasatku. Aku tau kamu juga menyimpan resah yang sama. Entahlah, lebih besar mungkin, atau gusarku lebih besar lagi. Tapi aku tak pernah benar-benar tau, apakah kamu resah jika tak lagi bisa atau tak lagi diijinkan untuk mencintai aku.
“Enggak sayang.” Kamu membelai lembut kepalaku. Mendaratkan sebuah kecupan lembut di keningku. Kamu tau, kecupanmu terasa begitu bimbang. Getarannya sampai padaku. Isyaratnya tertangkap oleh naluriku.
“Kamu pernah berpikir untuk menikahiku?”
“Ya, tentu saja.” Lebih mantap dan memang begitu.
“Kamu ingin hidup bersama aku?”
“Sangat”
“Kamu bahagia bersama aku?”
“Sangat bahagia sayang.”
“Tidak terlihat seperti itu.” Kamu diam. Menatapku. Lama. Aku tak bisa mendefinisikannya. Aku kehilangan kepekaanku membacamu. Atau…aku ingin membunuh mereka, kepekaanku untuk membaca segala isyarat tersiratmu. Aku mengutuknya.
“Aku mencintai kamu dan aku ingin hidup bersamamu juga.”
“Andai saja..”
“Ya, Andai saja..”

***

Apakah kita bukan orang baik, Tuhan?
Apakah kita adalah orang-orang yang salah telah bertemu dan saling jatuh cinta?
Apakah cinta yang Kau ciptakan bukanlah suatu anugerah bagi kita?
Apakah Kau tak mencintai kecintaan kami pada satu sama lain dan perdamaian antara kami?
Bukankah kau membenci permusuhan, Tuhan? Bukankah Kau mencintai perdamaian dan hangat berbagi?
Kami melakukannya Tuhan, dan semakin menghayatinya ketika kami bersama-sama. Semakin kami menyembahMu dan semakin kami mengagungkanMu, atas kemurahanMu dan kasih sayangMu yang telah mempertemukan kami.

Dengan cara kami masing-masing, kami menghadapMu, Tuhan. Kami memohon dengan cara kami masing-masing. Memohon kepadaMu untuk kebahagian kami, untuk meminta padaMu mempersatukan kami dalam cara terbaikMu, cara yang tak hanya membuat kami bahagia, tapi seluruh orang di sekitar kami.
Apakah kami salah memujaMu dengan cara yang berlainan, Tuhan?
Bisakah turun pada kami dan beri tahu kami, cara terbenarMu. Cara yang membuat semuanya terang dalam bertindak dan lurus dalam berjalan, ke arahMu.
Beri tau kami, Tuhan. Bagaimana melewati ini semua. Bagaimana kami tetap bisa bersama tanpa menyalahi apapun. Karna sungguh, Tuhan, sungguh demi Kau segala pemilik dan pencipta segala, kami tak pernah tau bagaimana melewati segalanya dengan baik-baik saja tanpa bantuanMu.
Apakah kami bukan orang baik Tuhan?
Apakah saling cinta diantara kami adalah dosa besar bagiMu, Tuhan? Karena sungguh, teramat menyakitkan saat dihadapkan pada jurang dengan tebing yang curam, dan kami terpisah diantaranya.
Kau pemilik segala bahagia dan seluruh rasa sakit yang ada Tuhan. Kau yang paling mengerti sakit yang paling menyiksa dan kebahagiaan yang paling kekal.
Harus dengan apa kami memohon padaMu?
Bolehkah aku memohon kebahagiaan untuknya dan untukku, Tuhan?
Bolehkah aku memohon sebuah kebahagiaan yang sama untuk kami dan orang-orang yang kami sayangi?
Ini sangat menyakitkan bagi kami, Tuhan. Karena sesungguhnya tak ada satupun dari kami yang ingin tersesat dalam memujaMu.
Tak Ada.

***

“Kamu tau sayang, hal yang paling menakutkan bagiku adalah saat kita harus berpisah dalam keadaan yang baik-baik saja. Karena tidak mudah membunuh segalanya dengan tangan yang sedang menggenggam cinta.” Aku berpaling kembali padamu, memelukmu dengan pelukan paling erat dan ketakutan yang teramat yang pernah ada. Andai kamu tau, andai kamu tau.

“Jikapun harus berakhir, aku ingin kita tetap mengenangnya dengan baik. Dan hingga detik ini, cinta di dalam sini tak berubah sedikitpun.” Kamu membalas pelukanku, sama erat dan sama risau dengan yang kuberikan. Kita sama-sama
sedang mebayar harga termahal dari perjanjian hati kita.
Kita diam. Hanya getaran hati masing-masing yang menyampaikan kalutnya lewat tatap, lewat pelukan, bulir air mata dan cinta yang terluka.
Tidak ada yang mengutuk Tuhan.
Tidak ada.
Kita masih memohon, pada Tuhan yang satu, Tuhan yang sama, dengan cara yang berbeda.






Kuselesaikan malam ini
310112/23:45
Dalam kalut kita