Dia tertidur disebelahku. Kami
sangat dekat. Bisa kuhabisi jeda jika ia berani memunculkan jarak. Bisa kubunuh
kesendirian jika ia berani melahirkan sepi. Aku bisa melihat wajahnya yang
pulas. Wajah yang tadinya, ah tidak, bahkan sampai saat ini tak perna bosan
kulihat dan kuamati lamat-lamat. Aku membayangkan bisa terus seperti ini
bersamanya. Aku menunggunya membuka mata. Apakah aku yang akan pertama kali
dilihatnya nanti? Entahlah. Aku hanya ingin menunggunya membuka mata. Aku ingin
melihat bagaimana ia terbuai dalam pulas dan bagaimana ia bersemangat membuka
mata, yang tak pasti bisa kutemui di setiap hari-hari lainnya.
Aku sangat ingin menyentuhnya.
Menyentuh rahangnya yang tegas, menyentuh hidungnya yang khas dengan tonjolan
kecil dipuncak, atau bibirnya yang tak pernah sekalipun tak kurindukan. Aku
mengagumi sosoknya, entah itu wujud ragawinya atau sekedar suara sarat dari
keberadaannya. Aku sangat ingin menyentuhnya. Tapi aku tak berani. Aku tak mau
merusak apa yang sedang kunikmati dengan mengusiknya sedikitpun, walaupun
memang menahan rasa ini adalah suatu ujian berat untukku. Cengkungan matanya,
aku selalu jatuh cinta pada mata sayunya.
Aku membayangkan betapa
bahagianya aku jika bisa mengamatinya seperti ini setiap hari, berada di
sisinya setiap hari. Bersama-sama dengan dia, adalah sebuah masa depan bagiku,
yang akan kutemui dengan sebuah perjuangan sebelumnya.
Ah,..
Aku merindukannya. Sangat
merindukannya. Aneh sekali. Aku merindukan laki-laki yang sedang tidur di
sisiku. Soal jarak, soal sendiri, segalanya terpatahkan, tapi soal sepi, aku
tak bisa membantu diriku sendiri untuk membetotnya lepas dari segala relung
kosong yang berlama-lama melompong di dalam diriku.
“Apa kamu sadar ada jarak dengan
dinding yang begitu tebal diantara kita Boo?”
Aku berbisik. Sangat lirih.
Berharap hatimu mendengarnya. Aku merapatkan tubuh padamu. Berharap ada sedikit
ketenangan yang akan kau alirkan padaku, mengobati banyak kebimbangan dalam
diriku. Aku benar-benar merindukan saat-saat dimana kita lepas tertawa dan
memuja satu sama lain. Aku merindukan sensasi yang sama ketika kamu
menyentuhku. Aku merindukan caramu melihatku dengan khasmu, khas caramu
menyiratkan cinta dalam tatapmu.
Aku merasa kamu menemukan sebuah
transit. Transit untuk berlindung dari keburukanku dan membagi apa yang
selayaknya hanya menjadi milikku. Aku merasakan kau sedang mengiris hatimu
sendiri dan membaginya pada seseorang selain aku, yang aku tak tau, mana yang
akan kau beri paling besar. Jelas keduanya akan tetap meyakitiku.
“Apa kamu mengingatku dengan cara
yang sama Boo?”
Kembali lirih berbisik. Ada sedikit getar dalam
dadaku. Segala rasa sakit dan tak enak muncul bercampur. Sesuatu dalam diriku
menjerit-jerit dicambuki rasa yang tak bisa diraba arahnya kemana. Sesuatu di
dalam diriku meronta-ronta ingin lepas dari perih yang tak bisa diterka dari
mana asalnya. Ada
nyeri di dada, ada getar di sekujur tubuh, ada air mata yang menyumbat
kerongkongan. Mengharuskanku menahan nafas berkali-kali, mengerjap-kerjap,
menelan ludah berkali dan meremas selimut. Aku merasakannya tiap malam. Bahkan
malam ini ketika kita pun berdampingan.
“Selamatkan aku Boo..”
Getar dan tangis tumpah.
Anak-anak sungai mengalir di pipiku, turun membasahi bantalku. Kamu tetap lelap
dalam buai malammu.
Help me, Boo..