10.25.2012

Favorite Sins


Astaga!


Sebuah kesalahan lagi. Terulang lagi. Semacam favourite sins. Laki-laki ini terlelap dalam posisi hampir tengkurap  di sebelahku. Aku masih terlindung selimut. Basah. Pengap sisa keringat. Beringsut pelan dari kasur yang tak lebih tebal dari 15 cm dari permukaan lantai. Ruang yang lumayan membangun mood untuk perjamuan tengah malam. Not bad. Gelap. Derit putaran fan sedikit mengusik sepi yang coba kuundang kembali. Aku suka tempat ini. Mengingatkanku akan suatu tempat yang pernah menjadi tempat terfavoritku dulu. Kamar yang lengang. Tak terlalu banyak barang walau memang orang di sebelahku ini kurang pintar menatanya dengan rapih. Bagaimanapun aku lebih menyukai kamarnya ketimbang kamarku dengan ukuran kotak dan beratap tinggi, membuatku tampak begitu kecil di dalamnya. Lantai dengan lapisan unik ini lumayan membuatku nyaman menidurinya, bantal hanya satu, entah bagaimana dia bisa menghabiskan sepanjang malam dengan cukup sebuah bantal tipis. Tanpa seprai pula. Ah! Lelaki. Tapi bagaimanapun, seperti yang kubilang sebelumnya, aku lebih suka ruangan ini ketimbang kamarku dengan banyak barang remeh-temeh yang memang tak bisa ku buang satu-satu.

Dia mendengkur halus. Sama seperti laki-laki lain sebelumnya. Karya sisa perjamuan nampaknya.

Ada sebuah sesak yang mendesak di dalam sini. Ada semacam rasa absurd yang mengganggu di sekitaran perut dan dada. Rasa yang selalu sama setelah perjamuan baru.

“Satu, dua, tiga, empat, … lima” aku menggumam tertahan. Menghitung ada berapa perjamuan seumur hidupku. Dua kali berada diangka yang sama, sisanya unggul atau tertinggal.

Langit-langit kamar rendah, putih, berdebu di sudut-sudut kaca jendela. Hidungku gatal. Aku merasa dingin. Beranjak dari lantai, kembali ke matras atau apalah namanya, mencoba mencuri hangat darinya. Dan nihil. Hasilnya tak sama.

Memang bukan dia. Sejak awalpun hati ini berkata bukan dia. Tapi sepasang mata dengan cekungan dalam itu memang membius. Membuat segalanya terlupakan, menjadikan segalanya legal dan halal. Berawal dari rasa penasaran pada bibir yang unik, mata gelap dengan cekungan dalam miliknya, dan punggung yang tak terlalu tegak menopang wibawa. Tidak terlalu mempesona memang. Hanya saja, rasa adalah rasa, dan rasa nyaris tak terelakkan. Juga hasrat liar naluriah yang sedang melambung tinggi seakan dipanggil-panggil.

Dan segalanya menjadi tepat malam ini.

Sudah bisa terprediksi sejak awal prosentase terbesar yang terjadi setelah pertemuan kami. Mencuri perhatian memang tak mudah, tapi juga tak begitu susah untukku. Dan masih dengan cara yang sama aku bisa mengundang mereka datang ke sarangku pada akhirnya.

Hhh, … kosong sekali batin ini.

Laki-laki ini hanya mampu memenuhi sebagian ragaku, bukan relung-relung sepi yang menganga di dalamnya.

Dan dari skala 1 sampai dengan 10, aku memberinya 6,8. Tak terlalu berkesan seperti yang terakhir. Dia tak mampu mengambil hati dalam perjamuan suci. Hanya berjibaku sendiri menemukan miliknya. Jemariku luput, kening ini tak tersentuh, helai-helai rambut pun berurai apa adanya. Tak menarik untuk sebuah awalan. Sialnya, aku menikmati bagaimana ia memandangku, menelanku dalam cekungan gelap matanya. Itu satu-satunya pesona.

Yang lupa kusampaikan padanya adalah, …


“Aku menyukai matamu yang cekung, mata yang sama dengan mata mantan kekasihku.”




Kali kedua pertemuan diam-diam antara aku dengan perempuan ini. Mengerikan. Ia hampir mampu membaca banyak hal yang kupikirkan. Nyali ini masih ada. Aku menggilai tubuhnya, sepasang kaki yang sering dipertontonkannya dalam balutan baju kerjanya. Sepasang kaki yang tak lebih menggoda dari bagian belakang tubuhnya yang memang menjadi pusat daya tariknya. Ah, tidak juga… wajhnya tak cantik, tak juga terlalu jelek, ia ahli mengemasnya dalam kesan unik yang membuat setiap pemiliki sepasang mata yang melihatnya menjadi bergidik dan terpesona secara bersamaan.

Nyali dan naluri ini memaksa kerja tubuhku mendekatinya dengan sebuah rasa penasaran. Perempuan yang lumayan cerdas dengan gaya bicaranya yang tak biasa dan berani menembak tepat sasaran. Aku tau ia mampu membaca segala hal yang terlintas dalam pikiranku di beberapa situasi, namun disini permainannya. Aku mengijinkannya memasuki-ku untuk memberiku jalan masuk ke pintunya.

Menarik.

Setelah beberapa malam lalu dimana aku dan perempuan ini menghabiskan dini hari dengan berpakaian lengkap dan bicara ini-itu, aku ingin hasil yang mampu memenuhi alasan akan nyali yang meninggi dan hasrat yang menari-nari belakangan ini.

Aku sedang bermain layang-layang. Sama seperti masa kecil dulu, aku masih ingat caranya, untuk membumbungkannya semakin tinggi, aku perlu menarik benang terlebih dahulu sebelum mengulurkannya cepat-cepat, dan kuulang berkali-kali, jika angin sedang berpihak, aku bisa mengikat talinya di suatu tempat, lalu bisa kutinggal sejenak bermain gundu atau yang lain.  

Malam ini kami sedang berada dalam satu atap. Rumahku tak begitu besar. Bukan bangunan mewah. Aku tak terlalu yakin mengajaknya masuk ke kamarku sendiri, masih terlalu banyak kenangan soal perempuan terakhir yang menidurinya bersamaku.

Aku tau ia mampu membaca alasanku yang picisan untuk memaksanya secara tak langsung singgah di rumahku. Tapi biarlah, toh dia juga lumayan cerdas untuk menembak kemana akhir undangan ini, dan selama ia masih dalam gaya yang sama, maka aku tau itu bukanlah masalah baginya. Dan sepertinya aku mulai meyakini perempuan ini juga memiliki rasa penasarannya sendiri tentangku.

Rambutnya panjang terurai, sesekali diacaknya sendiri, sudah 3 batang rokok habis dihisapnya. Sampai saat yang tepat, dimana jarak antara aku dan dia hanya sebuah jari, dan segalanya terjadi.

Perempuan yang unik. Binal bagiku. Tapi cerdas membawa suasana permainan ini. Dia bisa membaca persis betapa rindunya aku pada sesuatu, dan diberikannya dengan lebih dari sekedar yang aku bayangkan.


“Aku mau tidur. Bangunkan aku besok pagi. Antar aku pulang.”



Salam perpisahankah?






Siapa yang punya jaminan akan sesuatu yang kekal
251012  di 00.07Membunuh sesuatu di dalam sini

10.15.2012

Kita, Berbeda.




Tasbihku tetap tak pernah sama dengan rosariomu...
Kiblat kita sama, sujud kita berbeda kubu
Aku memintamu dlam doaku,
pun kamu memintaku dalam doamu
Ada'kah turun pertanda?

Kita bahagia?

Aku ragu..

Aku bahagia?
Ya.
Termat.

Kau?
Entahlah.
Cari jawab dalam dadamu, dalam getar yang bersemayam.


Jesusmu...
Allahku...
Kita berdoa hal yang sama...
Untuk kebahagiaan diri...

Yang berbeda, aku memintamu dalam kebahagiaanku..

Kau?
Entahlah...
Temukan jawab yang kau kunci dalam dadamu,
lewat debar, yang menggelegar.



Kita Berbeda
Satu tamparan rohani, dalam 2 kubu
AKU-KAMU
disini. 151012
di 23.23

10.01.2012

Bagaimana Jika Aku Pergi?

Pernahkah aku memberitahumu soal getar yang tak pernah habis di dalam sini,Sugar?

Ia menguat dan melemah seirama degub jantungku..

"Kamu mencintaiku?"

"Yes, dear...I do love you"

"Seperti apa?"

"Seperti aku mencintaimu"

"Sebesar apa?"

"Besaaaarr sekali"

"Kamu takut kehilangan aku?"

"Yes, of course"

"Kalau aku ilang, kamu bakal bingung?"

"Iya lah, dear"

"Kamu bakal cari?"

"Pasti"







Seringnya
011012
Kamu dalam  kenangan