5.29.2013

Laki-Laki dan Perempuan Luka



Bukan aku pelakunya. Bukan aku pembunuhnya. Aku tak keji, aku berhati nurani dan aku tak kan pernah sampai hati. Aku yang menumbuhkannya, aku yang membesarkan, aku sendirian.

***

Foto terbingkai dalam wadah logam berlapis kaca design modern minimalis. Classy. Seorang perempuan mencuri lihat dalam lirikan sekilasnya yang ditujukan pada isi bingkai. Setengah takut, setengahnya lagi rindu, keseluruhannya dilakukan untuk menguji keberadaan rasa dalam hatinya. Meja kerjanya entah mengapa dirasa tak lagi sama. Bukan soal ukuran, dari dulu selalu 1,25 x 100 cm. Juga bukan soal warna, dari dulu tetap khas cream kayu. Yang berbeda adalah isi. Seperangkan PC tentu masih bertengger di sudut kanan, tray dan file holder masih berderet rapih di sisi kiri, bagian depan , bingkai foto dan isinya, disana yang berbeda.

Tadinya jika seharian ini adalah neraka baginya, maka isi bingkai foto itu akan menjadi moodbooster yang mengingatkannya bahwa ada jaminan kebahagiaan di penghujung hari. Atau jika seharian penuh ini dirasanya lebih parah dari sekedar neraka yang ia bayangkan, ia bisa segera meratap lewat smartphone-nya, ditujukan pada isi bingkai foto.

Ia masih bisa merasakan ada getaran lembut yang turut berdenyut bersama dengan degub kemarahan dan getar sakit hati yang bercampur di dalamnya. Mendominasi untuk merusak mood beberapa jam kedepan atau bahkan seharian. Berkali-kali ia berniat membuang bingkai beserta foto yang menjadi isinya atau sekedar menelungkupkannya supaya isi foto tak terlalu mengganggu harinya lewat pandangan pertama. Tapi selalu diurungkan dengan berbagai macam alasan, mulai dari rasa sampai alasan kemanusiaan.
Kita semua tau, dia sedang tak ingin membunuh apapun, walau isi foto itu adalah alasan mengapa ia harus terluka.

***

Kamar ini masih sama, langit-langitnya masih tinggi, tak pernah runtuh walau hatinya runtuh menimpa harapan-harapannya akan sesuatu yang berpengaruh dalam masa depan yang dirakitnya dalam angan. Perempuan tadi berdiri di depan pintu kamarnya, lampu masih belum  menyala, atmosfir masih sama, sedikit lembab seperti biasa kala ia meninggalkan kamar agak lama. Disapukan pandangannya ke seisi kamar, langit-langit, menoleh kebelakang, ada harapan tersisa, minta dihidupi oleh keyakinan-keyakinan yang mati perlahan.

“Hhhh” ia menghelah nafas sebelum akhirnya menghilang dalam kamar.

Ia meletakkan sepasang stiletto di rak sepatu yang bertengger dibalik pintu. Terhenti beberapa saat sebelum meletakkan sepatunya di bagian tengah atas. Selalu tersisa satu spaceuntuk sepasang sepatu di deretan atas. Dan ia akan kosong dalam waktu yang tak bisa dipastikan sekarang. Tersenyum kecut. Diletakkan sepatunya di space special tadi, ia ingin mengacaukan pola yang diaturnya begitu teratur selama 2 tahun belakangan ini.

Dinyalakan sepuntung rokok, dinyalakan AC, mendengus tawa sinis. Ia tau tak aka nada nada protes dan teguran nyinyir lagi setelah kebiasaan lama yang diulangnya kembali 2 minggu ini. Perutnya lapar. Setelah menyalakan Tv di chanel yang selalu itu-itu saja, ia pergi ke meja dapurnya, mengecek bahan apa yang tersisa dan bisa dimasaknya jadi makan malamnya. Beberapa kali ia harus tersenyum dengan berbagai expresi. Saat menyalakan Tv di chanel yang selalu sama, saat membukan kotak persediaan bahan makanan dan menemukan saus barbeque dan parsley kering yang mengingatkannya pada chicken cordon bleu buatannya yang menjadi favorit seseorang, saat menemukan sepasang sumpit di dalam laci piring, bukannya di laci sendok garpu. Diambilnya beberapa butir telur, daun bawang, mix vegetable, keju dan korned, menu kesukaan seseorang yang paling sering dibuatnya.

Air matanya jatuh dalam penggorengan.

***

Aku sedang muak. Aku tak ingin menjalaninya lagi. Aku tak ingin mengulur sakit lebih lama lagi, aku tau ini percuma. Aku yang akan pergi, demi hati.

***

Lelaki ini ingin disebut lelaki sebenarnya. Dan seperangkat PC yang bertengger di sisi kiri meja kerjanya adalah pengalih sempurna dari apa yang sedang dihadapinya saat ini. Sibuk dengan socmed, dengan jejaring-jejaring maya yang digilainya sejak lama, tempat yang membesarkan harga diri dan jati dirinya, tempat dimana orang akan menerimanya tanpa penolakan yang sering dialaminya di dunia nyata. Ia meracau ini-itu, membual beberapa untai kata yang praktiknya adalah kosong. Ia tau itu, ia menyadarinya, tapi kenyamanan semu sudah terlanjur dinikmatinya sejak lama. Ia tak bisa pergi dari tipuan eksistensi.

Batinnya sedang berperang, bukan satu lawan satu, tapi satu lawan sekian. Nuraninya sedang tercabik, ia sedang tak menjadi dirinya. Walau sebenarnya itu sudah teradi sejak lama. Tapi kali ini, ia merasa bahwa ini lebih-lebih lagi. Bukan kebebasan, ia tau ini pembebasan sementara, ia sudah memprediksi kapan luka akan datang padanya dari gerakan kebebasan yang baru-baru saja dilakukannya. Ia tau persis akan aturan karma. Ia sedang diburu sesuatu, dan ia tau apa yang bisa dilakukannya untuk terus lari dari itu semua.

Malam ini adalah waktunya.

***

Tempat ini, deru kebisingan ini, ia pernah merindukannya, tapi kini ia tak yakin apakah ini yang benar-benar ia rindukan, sekarang tak ada lagi yang melarangnya pergi kemari dengan berbagai alasan moralitas. Ia sedang bersama para pengalih rasa, teman-teman yang selalu hampir di nomor utamakan, menggeser peran seseorang dalam hidupnya. Ia tau, sekarang ia bebas menghabiskan waktu dengan teman-teman pencari eksistensinya. Tapi hatinya belum terbiasa untuk merasa nyaman kembali melakukannya.

Musik menghentak. Ia menyibukkan segala yang terbangun dalam dirinya untuk terjun ke lantai dansa. Sedangkan di mejanya, sebotol minuman yang sama sedang menunggu. Minuman yang dipesannya di kencan pertamanya di depan perempuan lamanya, minuman yang menghantam kesadarannya. Ia tau malam ini ia akan sukses berlari. Tapi ia tak yakin apan yang terjadi nanti-nanti, ia tau ia tak bisa begini dalam waktu yang lama sekali. Tapi toh lelaki ini sangat menekankan fenomenologi, kini, ini dan saat ini.

Musik menghentak, kesadarannya berontak dan meledak.

***

Pukul 2 dini hari. Semua yang dirumah sudah tertidur. Dilucutinya semua busana, tertinggal boxer yang selalu melekat padanya. Tanpa membasuh apapun, dirobohkan tubuhnya di ranjang  sepi. Sejenak menoleh ke kiri, menyentil memori, tadinya ada perempuan yang tidur sembunyi-sembunyi di sisi kiri ini. Lalu terpejam. Bawah sadarnya menari-nari. Memunculkan ribuan memori dan beberapa perempuan yang sedang didekatinya kini, perempuan lama tak pernah lepaskan kendali mimpi, ia masih disini.

“14 hari. Sepi sudah kuhabisi”

Lelaki tadi mengigau dalam sepi.

***

Alarm berbunyi.

Laki-laki terbangun, entah itu dering keberapa, ia yakin ini bukan yang pertama kali. Dan ia kembali ingat, tak ada lagi yang akan marah-marah membangunkannya lagi. Setidaknya untuk saat ini dan beberapa waktu hingga entah kapan nanti. Ia tak mau ambil peduli, toh yang penting adalah masa kini. Alarm dalam ponsel ditekan mati. Pergi ke kamar mandi. Di bawah shower ia membasuh luntur cideramata peninggalan mimpi.

Biasanya sepagi ini aka nada perempuan yang mengomel dari ujung jari, membombardir ponselnya dengan ratusan pesan yang semuanya meratap ini – itu dan mebahas apapun kesana-kemari. Kini paginya tenang, seperti yang ia impikan, tapi kini (lagi-lagi) ia tak yakin bahwa ini yang dimaui. Akhirnya seperangkan PC menjadi penghibur lagi.

***

Jam makan siang. Makanan kantor menyusahkannya yang berlidah pemilih. Ia harus keluar. Kali ini sendiri. Tak ada perempuan lagi yang bisa diajaknya berunding soal “enaknya lunch dimana”. Pilihannya jatuh pada 


Dia bingung, ada beberapa option, beberapa tempat makan disekitar bilangan kantornya sudah dipenuhi perempuan lamanya. Pada akhirnya ia memilih melesat ke kedai mie ayam di seberang sana, dengan asumsi tak terlalu banyak kenangan soal perempuan tadi disana. Sampai disana tubuhnya menuntunya menempati kursi yang sama. Ia salah perhitungan. Kenangan disini terlalu kuat. Kenangan dimana ia memutuskan untuk mengakhiri kisah dengan perempuan itu.

Ia melihat baying perempuan itu di hadapannya, menunduk, membungkuk dalam tubuhnya yang mengurus, wajahnya tak bahagia, ia hamper tak mengenalinya, tapi kenangan ini kuat memainkan jatah di sebagaian besar otaknya. Ia merasa ada hentakan-hentakan keras yang memukul-mukul dinding nuraninya, ia mulai menyadari apa yang diperbuatnya pada seseorang. Tapi sayang, lelaki ini tak begitu pintar mengolah airmata, hanya saja asin dirasa mengalir di kerongkongannya. Mie ayam pun tak tampak begitu menarik lagi untuknya walau ya, ia harus mendewakan porsi logisnya untuk tetap makan, alih-alih menghindari merasa sama menyedihkannya dengan perempuan yang dicampakkannya. Tak ada yang perlu tau bahwa ia pun terluka.

***





Di 290513 , pada 9:52
Tanah ini, sedingin yang di dalam sini.
Aku masih mau tau 

5.24.2013

Pesan Botol kepada "Mu"

Hai, kamu ..
Apa yang sedang kau perbuat disana?
Pernah memikirkanku?
Aku sedang memikirkanmu,
Setidaknya mereka-reka dan meraba-raba bayang soal rupa dan bagaimana dirimu nantinya

Aku membujuk Tuhan berkali-kali untuk sekedar memberikan sedikiti bocoran mengenai bagaimana pertemuan kita nanti
Memberitahu bagaimana rupa-mu
Wajah dan jasad ragawi yaang akan bersamaku pada saatnya
Tuhan hanya menjawab dalam diam,
diam yang artinya, "Tunggulah, nak, bersabarlah"

Mungkin Tuhan berpikir,
membocorkan identitasmu sama halnya dengan memberitahuku kapan waktuku habis dan sempat atau tidak aku memberimu anak
:))

Mencurangi hidup
Tuhan tak mau aku melakukannya,
setidaknya, tidak lagi.

Mungkin, bisa jadi Tuhan sedang sibuk mensetting sebuah pertemuan tak terduga yang telah dirancang apik, hasil kolaborasi semesta (atas ijin Tuhan) dalam mempertemukan kita untuk menyatu pada akhirnya..

Bagaimana kamu nanti?
Bagaimana aku nanti?
Itu yang berputar di area besar tanya dalam diriku

Hei, aku sedang kepayahan
:)

Aku sedang kelelahan melompat-lompat dan jatuh-bangun dari jalan yang baru-baru saja usai kulewati
Aku sedang masa penyembuhan
Pulih dari luka hati, dari cidera waktu dari segalanya yang menyesakkan

Apa kabarmu?
Hatimu?
Apakah sedang menjadi milik orang atau sedang berkelana menerka-nerka seperti hatiku?

Hahaha,
Ada saat dimana kita bertemu nanti
Pasti
Dan saat itu semesta akan memberitahu,
"Mengapa segala yang kita lakukan tidak bermakna bagi mereka selama ini"
tentu saja karena ini hanya untukmu, untukku.


Hei,..
Apakah kita akan menemukan orang yang salah beberapa kali lagi sebelum bertemu?
Tak bisakah kita segera bertemu saja agar tak lagi ada luka atau apalah yang kurang baik diingat-ingat?

Hei,..
Apakah kau bisa bersabar sampai tiba saat kita?

Ah, ya...
Soal kita, tolong sepakatlah denganku,
Bahwa kita adalah aku bersama kamu, bukan aku dan kamu.

Hei,..
Jangan berjalan terlalu jauh, jangan berputar terlalu jauh, dan jangan singgah terlalu lama
aku ingin sisa waktu untuk kita bersama bisa lebih lama dari sekedar "lama"

:)

Sampai bertemu, kamu





Where Have You Been
- Rihanna -
PS :  Hey, I miss to be "someone" extra special,
dont  walk too far, find me.
240513 . 10:26 pm