6.01.2013

CHEATER!


Apa yang terjadi sebenarnya. Kamu pergi, dan aku percaya ini karena kita. Karena aku yang begini dan kamu yang begitu, karena kita tak menemukan sebuah cara baru yang bisa kita pakai bersama-sama untuk adil. Aku sempat menyalahkan diriku atas apa yang terjadi diantara kita, dan rasa itu menghukumku. Aku sakit di banyak tempat, aku terluka di banyak waktu, dan aku tergelincir beberapa kali di beberapa moment. Dan ini semua beberapa persennya berkat ulahmu. Akui itu.

Aku mau pergi. Aku mau bisa juga melangkah jauh ke depan -menuju arah yang tak lagi sama denganmu- sepertimu. Aku ingin langkah-langkah ini ringan menapak maju. Aku tak mau diberati ketak-mampuanku atas apa yang terhubung denganmu. Aku ingin pergi meninggalkan sakit, seperti caramu pergi meninggalkan aku. Kamu pernah berjanji, ah bukan, kita telah sepakat masalah menjaga tali-tali kebaikan untuk saling bertautan, tapi kamu mengingkarinya di malam perdana kita untuk membuktikannya. Kamu menjadi setan yang bertubuh kamu, bertingkah semenyebalkan dan sekejam penjahat dalam sosok kamu. Kamu bertingkah acuh –come on aku tak memintamu menggandeng dan memeluk pinggangku- berjalan begitu jauh di depan seakan aku perempuan bau yang tak nyaman untuk sekedar kamu jajari saat berjalan. Kamu bicara seakan aku adala anggota fans beratmu yang rela kamu apa-apakan untuk membayar kesempatan bersama. Aku baru saja bisa berdiri tegak malam itu, dan kamu menghantamku telak dengan tingkahmu. Sesusah itu berlaku baik pada aku yang dulu ada sosok untukmu?

Aku tak tau dimana hatimu saat itu. Dimana rasa kemanusiaanmu.

Malamnya aku memenuhi apa yang belum kulakukan denganmu dan hanya malam itu kesempatan aku memakai baju kedua sekaligus yang terakhir yang kamu belikan untukku. Aku tak peduli kamu sadar/tidak, aku melakukannya untuk kebutuhanku sendiri. Supaya aku lega dan tak merasa tak berhutang pamer. Dalam mobil yang minim suara. Aku masih baik-baik saja. Sampai entah tiba-tiba kamu menyebalkan dengan mengumpat sumpah serapah yang selama usia hubungan kita yang lalu, tak lagi pernah kamu ucapkan. Kamu menjadi makhluk mengerikan malam itu. Belum lagi temperamenmu yang berubah seakan aku tak pernah mengenalmu sebelumnya. Kamu mengangkat telepon dari suara perempuan yang diseret manja di sebelahku. Sedangkan aku, aku harus bertindak sewajarnya untuk kenyamananmu dan kepentinganku sekaligus.

Sepanjang umur hubungan kita, seingatku kamu tak pernah mempermasalahkan hal sepele sebegini pentingnya, seakan ini urusan hidup-mati yang membawa-bawa nyawa. Kamu protes padaku yang kurang pas menutup pintu mobil (papa)mu. Aku minta maaf. Kamu mengungkit lagi. Aku muak, ya, kali ini giliran aku yang bilang bahwa ini ‘akumulasi kemarahanku atas tingkahmu seharian’. Aku menangis, menelepon ibu (kamu orang yang mengembalikanku pada fungsi keluarga), aku bercerita semua yang terjadi dan menyebalkan hari itu. Ibu meminta untuk aku menjaga diriku sendiri tanpa lagi memberati kamu. Aku tak yakin. Tapi aku tau pelan-pelan aku pasti bisa mengerti.

Sampai suatu hari aku merasa kamu tak lagi membutuhkanku ada dalam hidupmu. Aku pergi, demi keleluasaanmu, demi kemudahanku, sekali lagi demi kita walau kini aku dan kamu bukanlah kita lagi. Aku memutuskan semua kontak. Aku memutus akses. Aku bersiap menambah speedku, dan mengembalikan segala kebebasan padamu. Supaya kamu tak perlu takut-takut atau tak enak hati saat ingin memajang foto bersama perempuan barumu.

Aku menemukan sebuah temuan dalam link-link pertemanan kita. Tuhan berbicara lagi padaku. Aku menemukan sebuah foto, melihat tanganmu merangkul pundak perempuan lain. Ha. Bingo! Kamu tak bisa membunuh sensibilitasku, dan kamu perlu tau, kadang apa yang bisa kita lihat berbicara jauh lebih banyak dari apa yang bisa mulut katakana dengan jujur. Besoknya aku tau kenyataannya, kamu sedang menjalin sesuatu bersama salah satu objek kecurigaanku sejak dulu.

 Hebatnya kamu.

Apa yang sedang kamu mainkan dengan apik di belakangku selama ini? Apa yang sedang kamu rajut dengan rapih tanpa sepengetahuanku selama ini?  Sedangkan aku yakin kamu tau persis sejauh apa aku menghukum diri karena aku menyalahkan diri atas segala yang terjadi diantara kita, dan ini karena aku percaya, tidak pernah ada siapa-siapa.

Maka jangan tanya kenapa aku tak mau menjawabmu. Kamu masih mengenal caraku marah. Dan bagaimana bicaraku padaku yang sedang marah. Maka gunakan otakmu kali ini, bawa hatimu serta dan perlakukan semestinya.





1st 0f June 13
010613 , 03:09
Ruang Panas
Ya, aku meninggalkan pesan