Apa yang terjadi
sebenarnya. Kamu pergi, dan aku percaya ini karena kita. Karena aku yang begini
dan kamu yang begitu, karena kita tak menemukan sebuah cara baru yang bisa kita
pakai bersama-sama untuk adil. Aku sempat menyalahkan diriku atas apa yang
terjadi diantara kita, dan rasa itu menghukumku. Aku sakit di banyak tempat,
aku terluka di banyak waktu, dan aku tergelincir beberapa kali di beberapa moment.
Dan ini semua beberapa persennya berkat ulahmu. Akui itu.
Aku mau pergi.
Aku mau bisa juga melangkah jauh ke depan -menuju arah yang tak lagi sama denganmu-
sepertimu. Aku ingin langkah-langkah ini ringan menapak maju. Aku tak mau
diberati ketak-mampuanku atas apa yang terhubung denganmu. Aku ingin pergi
meninggalkan sakit, seperti caramu pergi meninggalkan aku. Kamu pernah
berjanji, ah bukan, kita telah sepakat masalah menjaga tali-tali kebaikan untuk
saling bertautan, tapi kamu mengingkarinya di malam perdana kita untuk
membuktikannya. Kamu menjadi setan yang bertubuh kamu, bertingkah semenyebalkan
dan sekejam penjahat dalam sosok kamu. Kamu bertingkah acuh –come on aku tak
memintamu menggandeng dan memeluk pinggangku- berjalan begitu jauh di depan
seakan aku perempuan bau yang tak nyaman untuk sekedar kamu jajari saat
berjalan. Kamu bicara seakan aku adala anggota fans beratmu yang rela kamu
apa-apakan untuk membayar kesempatan bersama. Aku baru saja bisa berdiri tegak malam itu, dan kamu menghantamku telak dengan tingkahmu. Sesusah itu berlaku baik pada aku yang dulu ada sosok untukmu?
Aku tak tau
dimana hatimu saat itu. Dimana rasa kemanusiaanmu.
Malamnya aku
memenuhi apa yang belum kulakukan denganmu dan hanya malam itu kesempatan aku
memakai baju kedua sekaligus yang terakhir yang kamu belikan untukku. Aku tak
peduli kamu sadar/tidak, aku melakukannya untuk kebutuhanku sendiri. Supaya aku
lega dan tak merasa tak berhutang pamer. Dalam mobil yang minim suara. Aku
masih baik-baik saja. Sampai entah tiba-tiba kamu menyebalkan dengan mengumpat
sumpah serapah yang selama usia hubungan kita yang lalu, tak lagi pernah kamu
ucapkan. Kamu menjadi makhluk mengerikan malam itu. Belum lagi temperamenmu
yang berubah seakan aku tak pernah mengenalmu sebelumnya. Kamu mengangkat
telepon dari suara perempuan yang diseret manja di sebelahku. Sedangkan aku,
aku harus bertindak sewajarnya untuk kenyamananmu dan kepentinganku sekaligus.
Sepanjang umur
hubungan kita, seingatku kamu tak pernah mempermasalahkan hal sepele sebegini
pentingnya, seakan ini urusan hidup-mati yang membawa-bawa nyawa. Kamu protes
padaku yang kurang pas menutup pintu mobil (papa)mu. Aku minta maaf. Kamu mengungkit
lagi. Aku muak, ya, kali ini giliran aku yang bilang bahwa ini ‘akumulasi
kemarahanku atas tingkahmu seharian’. Aku menangis, menelepon ibu (kamu orang
yang mengembalikanku pada fungsi keluarga), aku bercerita semua yang terjadi
dan menyebalkan hari itu. Ibu meminta untuk aku menjaga diriku sendiri tanpa
lagi memberati kamu. Aku tak yakin. Tapi aku tau pelan-pelan aku pasti bisa
mengerti.
Sampai suatu
hari aku merasa kamu tak lagi membutuhkanku ada dalam hidupmu. Aku pergi, demi
keleluasaanmu, demi kemudahanku, sekali lagi demi kita walau kini aku dan kamu
bukanlah kita lagi. Aku memutuskan semua kontak. Aku memutus akses. Aku bersiap
menambah speedku, dan mengembalikan segala kebebasan padamu. Supaya kamu tak
perlu takut-takut atau tak enak hati saat ingin memajang foto bersama perempuan
barumu.
Aku menemukan
sebuah temuan dalam link-link pertemanan kita. Tuhan berbicara lagi padaku. Aku
menemukan sebuah foto, melihat tanganmu merangkul pundak perempuan lain. Ha.
Bingo! Kamu tak bisa membunuh sensibilitasku, dan kamu perlu tau, kadang apa
yang bisa kita lihat berbicara jauh lebih banyak dari apa yang bisa mulut katakana
dengan jujur. Besoknya aku tau kenyataannya, kamu sedang menjalin sesuatu
bersama salah satu objek kecurigaanku sejak dulu.
Hebatnya kamu.
Apa yang sedang kamu mainkan dengan apik di
belakangku selama ini? Apa yang sedang kamu rajut dengan rapih tanpa
sepengetahuanku selama ini? Sedangkan
aku yakin kamu tau persis sejauh apa aku menghukum diri karena aku menyalahkan
diri atas segala yang terjadi diantara kita, dan ini karena aku percaya, tidak
pernah ada siapa-siapa.
Maka jangan tanya
kenapa aku tak mau menjawabmu. Kamu masih mengenal caraku marah. Dan bagaimana
bicaraku padaku yang sedang marah. Maka gunakan otakmu kali ini, bawa hatimu
serta dan perlakukan semestinya.
1st
0f June 13
010613
, 03:09
Ruang
Panas
Ya, aku meninggalkan pesan