Kekasihnya
mati. Itu satu-satunya gaun hitam
tersopan yang dimilikinya, dari kekasihnya, dan baru sempat dipakainya di
pemakaman kekasihnya.
***
Sebuah pigura
berkaca retak, mengaburkan gambar foto yang tersimpan di dalamnya. Bukan salah
meletakkan, pemiliknya sedang marah pada kenyataan. Puntung rokok bertebaran,
abu rokok menyatu dengan debu di lantai kamar. Bau kesedihan begitu kental
disini. Tapi aroma kemarahan lebih semarak disini. Suhu paling rendah dari yang
selama ini digunakannya bersama seseorang, ia merindukan kehangat yang selalu
menjadi jaminan saat ia mengeluh kedinginan jika suhu kamarnya diturunkan
hingga belasan derajat oleh kekasihnya dulu. Gelas tinggal satu di nakas, air
berisi setengah, sejak 2 hari lalu. Air terakhir yang memasuki kerongkongannya
yang tercekat ditengah ledak tangisnya. Air mata kering. Mata bosan di rodi
terjaga dan menangis berulang kali.
Tak ada apa-apa
selain kosong dan suara hati yang melolong.
***
Mereka baik-baik
saja minggu sebelumnya. Saling melempar candaan sarkasme seperti biasa. Saling
menertawakan kebodohan satu sama lain. Saling meributkan hal-hal kecil dan
berakhir saling tuding yang diakhiri pelukan dan tawa kecil sebelum sebuah
adegan. Tubuh mereka masih sama-sama hangat. Hati mereka masih sama-sama
berdegub dalam getaran satu irama. Yang perempuan tertidur, yang laki-laki
meninggalkan tempat tidur dengan gerakan seminimal mungkin, menjaga kekasihnya
yang sensitive dengan hal-hal kecil untuk tetap terlelap tak tergaja. Dan
paginya akan ada beberaapa pesan yang ditemukan perempuannya, di ponsel, di
post it yang menempel di dinding dimana ia selalu menghadap ketika tertidur, di
dalam post it yang tertempel di kaca kamar mandi.
Mereka masih
sama-sama bahagia minggu sebelumnya.
Dimana yang
perempuan bisa menyentuh laki-lakinya, dimana si laki-laki masih bisa
menatapnya dengaan sebagaimana mestinya cara itu akan terasa sama persis dengan
saat dimana mereka memutuskan untuk mengijinkan hati mereka saling jatuh cinta.
Mereka masih
bersama-sama minggu sebelumnya.
Dimana ketika
sang perempuan mengirim puluhan bahkan ratusan pesan singkat akan selalu
direspon sama banyak oleh lelakinya. Dimana saat lelakinya ingin di buatkan
sekedar mie instan si perempuan akan tersenyum dan beranjak dari apapun yang
sedang menyita dirinya saat itu. Dimana makan siang bisa mereka lewatkan
bersama dengan mencuri-curi waktu bekerja. Segalanya masih menyenangkan minggu
sebelumnya.
***
Taun kemarin.
“ Aku akan
menikah nanti.”
Ia berkata
dengan keyakinan diri yang selalu membuatnya tampak memukau di mata siapapun
yang memperhaatikannyaa saat itu. Dimana senyum merekah dan mata berbinar.
Lelakinya yang menyibukkan kesadaran dengan hiburan televise di kamarnya,
berpaling. Perempuan ini memang lebih menarik saat ia sedang menceritakan
impiannya. Lelakinya tersenyum, lembuh, dan menuntun kepalanya rebah di bahu
kirinya.
“Anakku satu ah.
Satu tapi dia harus bahagia. Harus!”
Kali ini ada getar
tak biasa dalam beberapa kata. Lelakinya tau ini soal apa, karenanya sekarang
tangannya bergerak membelai kepala perempuannya dengan lembut, ia tak
berkata-kata, tapi jemarinya bicara lebih dari sekedar kata.
“Lalu aku akan
punyaa seorang anak yang cantik, matanya bulat cantik, rambutnya ikal tipis
cantik”
Lelakinya
berhenti. Tertawa kecil, lalu mengecup puncak keningnya. Membelai lagi.
Tak pernah ada
kata yang berlompatan percuma saat itu hanya kata semata. Tak pernah ada
taanggapan suara yang begitu bohongnya saat itu tak pernah terjadi nyata-nyata.
Tapi seluruh diri lelaki tadi, selalu menjawab dengan caranya sendiri, dan
menenangkan apapun yang sedang bergolak saat itu. Entahlah, perempuan ini
selalu mampu menangkapnya.
***
Tengah tahun
lalu.
Sebuah gelas
pecah menjadi kepingan berserak di lantai. Kaca rias pecah sebagian, terantuk
gelas yang sempat beradu dengannya sebelum berkeping di lantai. Ada banyak
sekali noda air mata di sprei. Si perempuan terbujur tak beranjak dari sana
selama 2 hari. Ia mencoba membunuh
dirinya dengan tidak mengijinkan apapun memasuki tubuhnya dan memberikan sarat
kehidupan kecuali oksigen. Ada yang ingin mati menyudahi segala beban hidupnya,
melepas segala sesak yang berhimpitan di dalam dirinya. Lelakinya sudah 3 hari tak
ada kabar. Mereka pecah dalam tengkar.
Ia tak mau ada
suara. Ia hanya ingin mendengar langkah ringan tergesa yang berhenti di depan
kamarnya. Satu-satunya indera yang
diijinkannya tetap terjaga hanyaa pendengaarannya. Ia ingin mendengar lelakinya
ada di dekatnya sebelum melihat nyata-nyata dan menyentuhnya.
Beberapa butir
ragam obat bertebaran di nakas. Ia sedang tak ingin menghitung, ia hanya ingin
mengira-ngira apakah yang terlihat sudah cukup menjamin dirinya untuk
kehilangan nyawa dengan segera.
Laki-lakinyaa
datang. Nyawaa perempuannya gagal hilang.
***
4 hari
sebelumnya.
Sebuah pesan
singkat. Jelas begitu menyakitkan bagi siapapun yang menjadi tujuan.
***
6 hari
sebelumnya.
Lelakinya
datang. Perempuannya berwajah pucat. Hari keempat tanpa asupan yang memadai
sarat hidup. Sedang tidak berpijak nyata paadaa apa yang ada saat ini.
Lelakinya berwajah dingin. Bahasa tubuhnya begitu asing. Tidak ada kaata-kataa
bertebaran. Hanya ada beberaapa debaran tak biasa, debaran asing yang sama-sama
gagal mereka terjemahkan.
“Kenapa datang?”
“Aku akan pergi.
Kita lebih baik sendiri-sendiri”
“Ya. Aku sudah
sendiri 4 hari. Aku bisa”
“Maafkan aku.
Aku pergi”
Pintu di tutup.
Punggung hilang. Perempuan menjerit menjadi dalam hati.
***
2 jam setelah
lelaki pergi.
Sebuah pesan
singkat dari seorang teman.
“Better you go find
him in Hospital.”
Gelap.
***
“Kamu pergi.
Dalam marahmu kaamu meninggalkan aku. Dalam marahku aku membiarkanmu menjauh
hingga tak lagi bisa kuraih kembali. Apa yang sedang mempermainkan kita saat
ini, dia pemenangnya.”
Sebuah gelas
terguling, jejak air meresap di lantai marmer. Perempuan tak jauh terbaring,
mulut berbuih.
My new
17 minutes
091013/00:17
Let me
to let you go, please