Bukan
aku pelakunya. Bukan aku pembunuhnya. Aku tak keji, aku berhati nurani dan aku
tak kan pernah sampai hati. Aku yang menumbuhkannya, aku yang membesarkan, aku
sendirian.
***
Foto
terbingkai dalam wadah logam berlapis kaca design modern minimalis. Classy.
Seorang perempuan mencuri lihat dalam lirikan sekilasnya yang ditujukan pada
isi bingkai. Setengah takut, setengahnya lagi rindu, keseluruhannya dilakukan
untuk menguji keberadaan rasa dalam hatinya. Meja kerjanya entah mengapa dirasa
tak lagi sama. Bukan soal ukuran, dari dulu selalu 1,25 x 100 cm. Juga bukan
soal warna, dari dulu tetap khas cream kayu. Yang berbeda adalah isi.
Seperangkan PC tentu masih bertengger di sudut kanan, tray dan file holder
masih berderet rapih di sisi kiri, bagian depan , bingkai foto dan isinya,
disana yang berbeda.
Tadinya
jika seharian ini adalah neraka baginya, maka isi bingkai foto itu akan menjadi
moodbooster yang mengingatkannya bahwa ada jaminan kebahagiaan di penghujung
hari. Atau jika seharian penuh ini dirasanya lebih parah dari sekedar neraka
yang ia bayangkan, ia bisa segera meratap lewat smartphone-nya, ditujukan pada
isi bingkai foto.
Ia
masih bisa merasakan ada getaran lembut yang turut berdenyut bersama dengan
degub kemarahan dan getar sakit hati yang bercampur di dalamnya. Mendominasi
untuk merusak mood beberapa jam kedepan atau bahkan seharian. Berkali-kali ia
berniat membuang bingkai beserta foto yang menjadi isinya atau sekedar menelungkupkannya
supaya isi foto tak terlalu mengganggu harinya lewat pandangan pertama. Tapi
selalu diurungkan dengan berbagai macam alasan, mulai dari rasa sampai alasan
kemanusiaan.
Kita
semua tau, dia sedang tak ingin membunuh apapun, walau isi foto itu adalah
alasan mengapa ia harus terluka.
***
Kamar
ini masih sama, langit-langitnya masih tinggi, tak pernah runtuh walau hatinya
runtuh menimpa harapan-harapannya akan sesuatu yang berpengaruh dalam masa
depan yang dirakitnya dalam angan. Perempuan tadi berdiri di depan pintu
kamarnya, lampu masih belum menyala,
atmosfir masih sama, sedikit lembab seperti biasa kala ia meninggalkan kamar
agak lama. Disapukan pandangannya ke seisi kamar, langit-langit, menoleh kebelakang,
ada harapan tersisa, minta dihidupi oleh keyakinan-keyakinan yang mati
perlahan.
“Hhhh”
ia menghelah nafas sebelum akhirnya menghilang dalam kamar.
Ia
meletakkan sepasang stiletto di rak sepatu yang bertengger dibalik pintu.
Terhenti beberapa saat sebelum meletakkan sepatunya di bagian tengah atas.
Selalu tersisa satu spaceuntuk sepasang sepatu di deretan atas. Dan ia akan
kosong dalam waktu yang tak bisa dipastikan sekarang. Tersenyum kecut.
Diletakkan sepatunya di space special tadi, ia ingin mengacaukan pola yang
diaturnya begitu teratur selama 2 tahun belakangan ini.
Dinyalakan
sepuntung rokok, dinyalakan AC, mendengus tawa sinis. Ia tau tak aka nada nada
protes dan teguran nyinyir lagi setelah kebiasaan lama yang diulangnya kembali
2 minggu ini. Perutnya lapar. Setelah menyalakan Tv di chanel yang selalu
itu-itu saja, ia pergi ke meja dapurnya, mengecek bahan apa yang tersisa dan
bisa dimasaknya jadi makan malamnya. Beberapa kali ia harus tersenyum dengan
berbagai expresi. Saat menyalakan Tv di chanel yang selalu sama, saat membukan
kotak persediaan bahan makanan dan menemukan saus barbeque dan parsley kering
yang mengingatkannya pada chicken cordon bleu buatannya yang menjadi favorit
seseorang, saat menemukan sepasang sumpit di dalam laci piring, bukannya di
laci sendok garpu. Diambilnya beberapa butir telur, daun bawang, mix vegetable,
keju dan korned, menu kesukaan seseorang yang paling sering dibuatnya.
Air
matanya jatuh dalam penggorengan.
***
Aku
sedang muak. Aku tak ingin menjalaninya lagi. Aku tak ingin mengulur sakit
lebih lama lagi, aku tau ini percuma. Aku yang akan pergi, demi hati.
***
Lelaki
ini ingin disebut lelaki sebenarnya. Dan seperangkat PC yang bertengger di sisi
kiri meja kerjanya adalah pengalih sempurna dari apa yang sedang dihadapinya
saat ini. Sibuk dengan socmed, dengan jejaring-jejaring maya yang digilainya
sejak lama, tempat yang membesarkan harga diri dan jati dirinya, tempat dimana
orang akan menerimanya tanpa penolakan yang sering dialaminya di dunia nyata.
Ia meracau ini-itu, membual beberapa untai kata yang praktiknya adalah kosong.
Ia tau itu, ia menyadarinya, tapi kenyamanan semu sudah terlanjur dinikmatinya
sejak lama. Ia tak bisa pergi dari tipuan eksistensi.
Batinnya
sedang berperang, bukan satu lawan satu, tapi satu lawan sekian. Nuraninya
sedang tercabik, ia sedang tak menjadi dirinya. Walau sebenarnya itu sudah
teradi sejak lama. Tapi kali ini, ia merasa bahwa ini lebih-lebih lagi. Bukan
kebebasan, ia tau ini pembebasan sementara, ia sudah memprediksi kapan luka
akan datang padanya dari gerakan kebebasan yang baru-baru saja dilakukannya. Ia
tau persis akan aturan karma. Ia sedang diburu sesuatu, dan ia tau apa yang
bisa dilakukannya untuk terus lari dari itu semua.
Malam
ini adalah waktunya.
***
Tempat
ini, deru kebisingan ini, ia pernah merindukannya, tapi kini ia tak yakin
apakah ini yang benar-benar ia rindukan, sekarang tak ada lagi yang melarangnya
pergi kemari dengan berbagai alasan moralitas. Ia sedang bersama para pengalih
rasa, teman-teman yang selalu hampir di nomor utamakan, menggeser peran
seseorang dalam hidupnya. Ia tau, sekarang ia bebas menghabiskan waktu dengan
teman-teman pencari eksistensinya. Tapi hatinya belum terbiasa untuk merasa
nyaman kembali melakukannya.
Musik
menghentak. Ia menyibukkan segala yang terbangun dalam dirinya untuk terjun ke
lantai dansa. Sedangkan di mejanya, sebotol minuman yang sama sedang menunggu.
Minuman yang dipesannya di kencan pertamanya di depan perempuan lamanya,
minuman yang menghantam kesadarannya. Ia tau malam ini ia akan sukses berlari.
Tapi ia tak yakin apan yang terjadi nanti-nanti, ia tau ia tak bisa begini
dalam waktu yang lama sekali. Tapi toh lelaki ini sangat menekankan
fenomenologi, kini, ini dan saat ini.
Musik
menghentak, kesadarannya berontak dan meledak.
***
Pukul
2 dini hari. Semua yang dirumah sudah tertidur. Dilucutinya semua busana,
tertinggal boxer yang selalu melekat padanya. Tanpa membasuh apapun, dirobohkan
tubuhnya di ranjang sepi. Sejenak
menoleh ke kiri, menyentil memori, tadinya ada perempuan yang tidur
sembunyi-sembunyi di sisi kiri ini. Lalu terpejam. Bawah sadarnya menari-nari.
Memunculkan ribuan memori dan beberapa perempuan yang sedang didekatinya kini,
perempuan lama tak pernah lepaskan kendali mimpi, ia masih disini.
“14
hari. Sepi sudah kuhabisi”
Lelaki
tadi mengigau dalam sepi.
***
Alarm
berbunyi.
Laki-laki
terbangun, entah itu dering keberapa, ia yakin ini bukan yang pertama kali. Dan
ia kembali ingat, tak ada lagi yang akan marah-marah membangunkannya lagi.
Setidaknya untuk saat ini dan beberapa waktu hingga entah kapan nanti. Ia tak
mau ambil peduli, toh yang penting adalah masa kini. Alarm dalam ponsel ditekan
mati. Pergi ke kamar mandi. Di bawah shower ia membasuh luntur cideramata
peninggalan mimpi.
Biasanya
sepagi ini aka nada perempuan yang mengomel dari ujung jari, membombardir
ponselnya dengan ratusan pesan yang semuanya meratap ini – itu dan mebahas
apapun kesana-kemari. Kini paginya tenang, seperti yang ia impikan, tapi kini
(lagi-lagi) ia tak yakin bahwa ini yang dimaui. Akhirnya seperangkan PC menjadi
penghibur lagi.
***
Jam
makan siang. Makanan kantor menyusahkannya yang berlidah pemilih. Ia harus
keluar. Kali ini sendiri. Tak ada perempuan lagi yang bisa diajaknya berunding
soal “enaknya lunch dimana”. Pilihannya jatuh pada
…
Dia
bingung, ada beberapa option, beberapa tempat makan disekitar bilangan
kantornya sudah dipenuhi perempuan lamanya. Pada akhirnya ia memilih melesat ke
kedai mie ayam di seberang sana, dengan asumsi tak terlalu banyak kenangan soal
perempuan tadi disana. Sampai disana tubuhnya menuntunya menempati kursi yang
sama. Ia salah perhitungan. Kenangan disini terlalu kuat. Kenangan dimana ia
memutuskan untuk mengakhiri kisah dengan perempuan itu.
Ia
melihat baying perempuan itu di hadapannya, menunduk, membungkuk dalam tubuhnya
yang mengurus, wajahnya tak bahagia, ia hamper tak mengenalinya, tapi kenangan
ini kuat memainkan jatah di sebagaian besar otaknya. Ia merasa ada hentakan-hentakan
keras yang memukul-mukul dinding nuraninya, ia mulai menyadari apa yang
diperbuatnya pada seseorang. Tapi sayang, lelaki ini tak begitu pintar mengolah
airmata, hanya saja asin dirasa mengalir di kerongkongannya. Mie ayam pun tak
tampak begitu menarik lagi untuknya walau ya, ia harus mendewakan porsi
logisnya untuk tetap makan, alih-alih menghindari merasa sama menyedihkannya
dengan perempuan yang dicampakkannya. Tak ada yang perlu tau bahwa ia pun
terluka.
***
Di
290513 , pada 9:52
Tanah
ini, sedingin yang di dalam sini.
Aku
masih mau tau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar