Kurasa awalnya kita berada dalam
satu titik pertemuan yang sama, kita menyebutnya, saling tertarik. Waktu
berhamburan, hal menyenangkan juga banyak berceceran diantaranya, diantara
kita, dalam waktu-waktu kita yang terlalu banyak beriringan, lalu kita sadar,
entah sejak kapan kita saling jatuh pada cinta yang sama. Aku jatuh di cintamu,
kamu jatuh di cintaku, kita saling jatuh cinta. Kita sepakat bahwa seringya
orang berlaku bodoh, bahkan terlalu bodoh saat mereka jantuh cinta. Kita juga melakukan yang sama. Kebodohan termanis, kita
me-masabodoh-kan perbedaan kubu keyakinan kita. Kita lebur perbedaan kita
selama kurang lebih 2 tahun kebersamaan kita dengan sebuah statement ampuh,
“Tuhan itu satu, dan agama selalu benar dengan cara-caranya.” Lalu kita bahagia
bersama di atas tanah lumpur dan dataran berlumut, dimana terperosok dan
tergelincir akan menjadi kejutan yang sering terjadi.
Aku ingat kali pertama kamu membawaku ke sebuah café kopi yang
katamu oke hanya karena kamu pernah bekerja sebagai barista disana, ya memang
oke, bagiku segala hal yang ada kamunya adalah oke, dan pada dasarnya aku
adalah pecandu kopi yang tak pernah menyia-nyiakan kopi hitamku. Dan malam itu,
kopiku sangat oke. Kopi pertama yang membuatku tak bisa tidur, bukan karena kandungan
cafein kurasa, tapi lebih pada kandungan debaran selama cafein tadi kusesap
habis. Kamu.
Kamu ingat kali pertama perjalanan
lintas kota kita? Aku yakin kamu tak bisa lupa, kecuali sebuah benturan keras
mengacaukan salah satu fungsi Long Term Memmory-mu. Kota yang dingin kan ? Kota yang pas untuk saling membagi
kehangatan. Dan waktu yang tepat untuk
saling meyakinkan apa yang sedang tumbuh diantara kita. Lalu menurutmu, malam itu kita sudah
resmi menjadi sepsang kekasih. Lucunya.
Ingat pertengkaran pertama kita?
Terjadi tak lama setelah perjalanan keluar kota yang pertama, kamu mencoba
menipuku, terserah apapun pembelaanmu, kamu sudah mencoba berbohong padaku. Dan
aku tak mau mengakui pembelaanmu untuk menumpulkan sensibilitasku dalam membaca
gesture, eye contact dan susunan katamu. Kamu berbohonh, kamu melakukan
kesalahan, dan ini yang harus kamu akui. Aku marah besar, marah dalam caraku
yang paling khas, dengan diam. Kamu kelimpungan, kamu ketakutan dalam gerik
yang tertangkap olehku, kamu kebingungan. Aku ingat betapa banyak getaran rasa
takut dalam setiap kalimat yang kamu katakan untuk meyakinkanku bahwa ini tak
akan lagi terulang. Aku memercayai itu, aku memaafkanmu, tapi aku gagal
melunasi harga untuk melupakan permasalahan pertama ini. Aku tau, kita akan semakin sering seperti ini lagi. Mungkin kamu
juga memiliki prediksi begitu.
Aku masih persis mengingat kado pertama darimu, sebuah pukulan besar
dan kebanggan hebat kauberikan sekalian, dalam satu wujud. Al-qur’an. Dimana
malam sebelumnya aku menangis dalam doaku, dalam cara terbenar menurut
keyakinanku akan Tuhan, aku meminta isyarat Tuhan akan kamu, aku dan bagaimana
mestinya kita. Dan pemberianmu sungguh ambigu, apa yang terjadi pagi itu
sungguh abu-abu. Pukulan besar bahwa kamu menegaskan aku untuk melekat pada
keyakinanku akan Tuhanku. Kebanggaan bahwa aku sedang menjalin hubungan bersama
seseorang yang menghargai perbedaan paling hakiki yang ada diantara kami. Aku
memutuskan untuk mengartikan segala abu-abu ini sebagai ijin Tuhan.
Terlalu banyak tempat yang menjadi lokasi-lokasi monumental
percintaan kita, walau mungkin kini cinta telah mati di dalammu, tapi kamu,
aku, kita berdua tetap tak pernah bisa menipu kenangan soal, ya, kita pernah
bahagia karena saling mencintai dan memelihara cinta. Terlalu banyak waktu yang
kita lewatkan bersama-sama rasanya, sehingga menghapus apa yang terjadi dan apa
yang dilewati bersama sepertinya akan sangat mustahil, sekali lagi, kecuali
jika ada hantaman keras yang mengganggu fungsi Long Term Memmory-mu.
Hal favoritku adalah mengenang lelucon-lelucon sarkastik yang sering
kita berdua lemparkan satu sama lain. Bisa terjadi dimana saja, di kamar, di jalan, di café, di kantor, dalam
media, dimana saja. Dan kita suka saling menertawai kebodohan masing-masing
untuk sekedar mencairkan suasana sucks yang sedang terjadi. Dan hei, kadang
kamu suka kelewatan dengan tak mau mengalah dalam adu pukul kita, atau adu
mulut kita.
Masih ingat seberapa sering aku
memberitahumu bahwa hal yang paling menyenangkan bagiku adalah menunggumu
datang? Haha. Itu betulan, aku lebih menikmati renggang waktu menanti
kedatanganmu dari kuliahmu dengan melakukan beberap hal tak penting, sekedar
killing times, sambil sesekali menghitung jam dan menit kedatanganmu. Jika tak
tahan, maka aku mengirim bbm atau sekedar sms, memastikan masih ada sisa nafas
didalammu, memastikan bahwa asupan oksigen cukup untuk membuatmu hidup dan
memiliki waktu untuk menemui sepulang ini. Ini serius.
Kita bahagia, aku tau, aku yakin
kamu pun juga tau itu, tapi lagi-lagi kita dipaksa sadar, bahwa kebahagiaan ini
akan sulit, bahwa ini akan tak lama lagi. Kita saling yakin akan cinta di hati
kita masing-masing, tapi kita, aku, kamu, tak memiliki keberanin untuk
membicarakannya lebih jauh. Kita terhenti pada masa ini, saat ini, hanya
sekarang. Bukan besok, bukan beberapa tahun kedepan. Kita tau, hubungan kita
tak punya masa depan. Aku tau, aku mencoba
mengingkarinya dengan menolak berpikir tentang besok. Aku tak tau bagaimana
denganmu, karena kamu selalu abu-abu dalam memberikan jawabanmu saat kita
terlanjur terjebak dalam pembicaraan soal nanti.
Apakah kita dulu pasangan keras
kepala? Hmm, kurasa iya. Entah bagaimana menurutmu. Kita keras kepala dengan
tetap melanjutkan banyak hal bersama dan memelihara cinta, karena terlanjur
terpelihara dan hidup bernyawa, kita jadi tak tega membunuh cinta. Hingga kita
sampai pada satu tahap pemahaman dan penerimaan yang luar biasa soal perbedaan
hakiki kita. Kita akan menikah, ini akan susah tapi kita masih bisa bahagia.
Naifnya.
“Dengan apa kamu menikahiku?”
Sebuah kalimat yang selalu meronta
ingin keluar, tapi selalu berhasil tertahan kuat diujung lidah keluku. Aku tau,
ini akan melukai keyakinanku, keyakinanmu dan kebahagiaan kita saat ini. Maka
itu kupilih untuk memenjarakannya dalam pikiran saja. Bisa jadi tanya serupa
sedang kau penjarakan dalam kepalamu sendiri. Haha.
Aa satu saat favoritku yang lain, dimana kamu ikut menemaniku
berpuasa selama Ramadhan, alih-alih itu adalah salah satu gebrakan ibadah
terbesarmu dalam keyakinanmu, puasa entah apa namanya, yang total jumlahnya
adalah 10 hari. Tapi
kalau saja kamu tau, aku sangat-sangat-SANGAT menghargai besar toleransimu akan
ibadahku sendiri. Aku melihat badanmu berubah bentuk dan pipimu mengurus –haha,
aku suka kamu kurus, tapi ini jauh lebih suka lagi, entahlah aku tak bisa
menjelaskan- selama bulan-bulan puasa kita. Ingat-ingat lagi, kita pernah
berbuka dengan hal yang tidak biasa.
Satu hal, kamu terlalu banyak
berbohong soal betapa tak menawannya dirimu sehingga aku tak perlu
mengkhawatirkan akan ada perempuan lain yang mengusik ketenangan cintamu untuk
aku. Kamu menawan dengan caramu –walau, hei terkadang kamu memaksakan itu, kamu
perlu tau ini-, dan hanya kami yang melihat yang tau persis soal itu. Kamu
berkali-kali meyakinkanku dengan berkata,
“Karena pada dasarnya memang aku
nggak semenarik kamu yang punya banyak penggemar, cuman kamu yang berselera
aneh aja yang mau sama aku. ”
Aku tau kamu bohong, tapi aku
memilih untuk pura-pura percaya dan menghargai upayamu menenangkanku dengan
cara yang naif ini. J
Kita pernah menjadi pasangan yang
WOW –aku tak menemukan istilah oke lain untuk menamai apa hubungan ini dulu-. Kita
sering bertengkar namun –so far, kecuali yang membuat kita terpisah pada
akhirnya- kita tetap akan baik-baik saja setelah katarsis satu sama lain. Kita
ahlinya! Kamu harus mengakui itu, karena aku sudah mengakui ini sejak lama,
bahkan dengan bangga memamerkan kehebatan pertengkaran kita dan proses baikan
kita ke segala penjuru yang alat pendengarnya masih valid.
Tapi,...
Kita tau kita tak bisa terus seperti
ini, kita tak bisa terus menipu diri, kita harus menerima kenyataan, melepas tutup
mata yang kita pakai selama 2 tahun ini. Berawal dari hari yang indah, minggu
pagi yang menyenangkan, hanya saja minggu ini kita tak bisa bertemu sepulang
Gerejamu, seperti biasa. Aku tak menyangka ini akan jadi Minggu terakhir dimana
kita sama-sama bahagia. Sebuah pertengkaran tersulut karena kebiasaanmu,
kekurang terbukaanmu dalam menyampaikan sesuatu dengan semestinya –kamu harus
mengakuinya, kamu tak boleh lari lagi, kisah kita selesai, kamu tak perlu
lelah-lelah lagi- dan malam itu kita saling teriak, saling menuding, dan kamu
pergi.
Kamu bilang ini soal akumulasi, soal
sedimentasi kemarahan-kemarahan yang tak terkendali namun tak diakui. Ya, bisa
jadi. Tapi kamu tak mau tau tentang sedimentasi-sedimentasi kekecewaan dan
kemarahanku sendiri. Jangan bilang aku egois, untuk pertengakaran kali ini kamu
lebih egois, dan sedikit lebih kejam. Kamu membiarkan aku berjibaku dala
upayaku memperbaiki segalanya diantara kita sendirian.
Candle light dinner pertama dan terakhir dengan alunan cover Girl on
Fire – Alicia Keys, Black Florist Mini Dress, baju kerjamu, home made chicken
cordon bleu di kali perdanaku, dan segelas home made coffee punch. Aku ingin
kamu mengingat sekali lagi apa yang terjadi malam itu, dengan senyuman –kita
harus bahagia, itu hak kita-. Kamu sangat menyebalkan dengan statement “Not
Bad” soal Chicken Cordon Bleu-ku. Semua orang menyukainya dan memuji CCB ku,
Sial! Kamu bohong! Ini lebih enak ketimbang CCb yang kita makan di Drop
Chocolate! Ih! Hei, aku berhasil mengingat semua kenangan-kenangan manis dengan
senyuman. Bagaimana denganmu? Aku rasa kita tak perlu mencederai kenangan,
karana bisa jadi itu adalah satu-satunya kebahagiaan yang bisa dijadikan harta
karun suatu saat nanti.
Aku terjatuh, parah sekali, payah sekali. Kamu yang selalu ada,
tiba-tiba hilang. Aku semacam kehilangan landas pijakku untuk berjalan maju.
Aku semacam kehilangan satu-satunya alas an untuk terus bertahan ada dan
bernafas. Dunia menjadi
salah, segalanya menjadi tak pada tempatnya. Segalanya sucks! Dan kamu tetap
tak pulang, kamu hilang, lari –boleh kamu akui dengan berbesar hati- dariku,
lari dari kita.
Tinggal aku sendirian melawan alam
semesta, menyangkan bahwa kemarin bukanlah kini, menyangkal bahwa masa lalu tak
bisa dinanti lagi. Aku melompat-lompat dari lalu kembali ke kini, dari dulu
kembali pada saat ini, dari bersama menjadi hanya seorang diri. Aku berjibaku
dalam kesedihanku memerangi mimpiku sendiri.
Aku melupakan soal aku, melupakan
soal keluargaku, melupakan soal hidupku, aku kehilangan diriku, sekian lama. Dan
tiba-tiba kamu hilang dan melempar dunia kembali padaku – aku yang sebenarnya
adalah poros dari duniaku sendiri -. Kamu melempar duniaku padaku, tanpa
mengajariku sebelumnya, soal bagaimana mengurusnya sendiri. Itu kriminal! –akui
saja! Kamu harus, supaya hidupmu lancar, haha-
Aku bisa pada akhirnya. Aku sadar
pada akhirnya. Kesendirian yang selama ini kutolak dan kutakuti, adalah bagian
yang tak terpisah dari hidupku dan hidup siapapun. Aku tak bisa menolaknya, ia
harus ada, aku perlu sendiri untuk beberapa situasi, aku perlu sendiri untuk
beberapa masa, dan aku perlu sendiri, sangat, maka aku tak boleh menolaknya.
Aku belajar sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah tentang bagaimana
mengembalikan poros padaku. Menjalankan putaran kehidupanku sendiri.
Aku sadar sudah tidak ada kamu lagi
di sekitarku. Aku tau tidak akan ada kuping yang setia mendengarkan segala
racauanku lagi. Aku terbangun akhirnya. Aku tak membutuhkanmu, atau siapapun
lagi untuk mejalani hidupku sendiri. Aku hanya butuh
diriku sendiri. Orang datang dan pergi, dan orang akan mati suatu saat nanti. Kamu
orang. Cepat atau lambat, aku pun akan kehilangan satu per satu orang dari
kehidupanku, sampai hidupku sendiri berakhir. Maka kuputuskan untuk hanya
mencintai orang-orang, bukan melekati mereka.
Berpisah darimu membuatku begitu banyak memiliki waktu sendiri yang
bisa kumaksimalkan untuk tidak melakukan apapun tanpa tujuan penantian,
melakukan hal yang memang sedang kurencanakan sendiri dan melakukan hal-hal
yang belum pernah kupikirkan untuk kujalani sendiri. Sepergimu, aku merasa
semakin utuh. Ah, ini bukan semacam umpatan terselubung, tapi ini sebuah temuan
besar dalam hidupku setelah beberapa badai dating bertubi padaku.
Karena apa yang kualami belakangan –sejak awal tahun- aku jadi lebih
oke memberikan advice pada mereka-mereka yang mempercayaiku sebagai tempat
bertanya atau sekedar berbagi keluh kesah. Aku mejadi merasa jauh-jauh-JAUH
lebih hebat dan HEBAT lagi. Aku jadi merasa menemukan banyak-banyak dan BANYAK
lagi hal yang perlu aku syukuri dengan caraku meyakini Tuhan.
O ya,… aku masih pada kesepakatan kita, bahwa “Tuhan itu satu, cara
kita mengadu yang menjadikan kubu-kubu”.
Sepergimu,…
Sepergimu/250413/4:41/My Cubical
Tidak ada komentar:
Posting Komentar