10.09.2013

Let Me To Let You Go


Kekasihnya mati.  Itu satu-satunya gaun hitam tersopan yang dimilikinya, dari kekasihnya, dan baru sempat dipakainya di pemakaman kekasihnya.

***

Sebuah pigura berkaca retak, mengaburkan gambar foto yang tersimpan di dalamnya. Bukan salah meletakkan, pemiliknya sedang marah pada kenyataan. Puntung rokok bertebaran, abu rokok menyatu dengan debu di lantai kamar. Bau kesedihan begitu kental disini. Tapi aroma kemarahan lebih semarak disini. Suhu paling rendah dari yang selama ini digunakannya bersama seseorang, ia merindukan kehangat yang selalu menjadi jaminan saat ia mengeluh kedinginan jika suhu kamarnya diturunkan hingga belasan derajat oleh kekasihnya dulu. Gelas tinggal satu di nakas, air berisi setengah, sejak 2 hari lalu. Air terakhir yang memasuki kerongkongannya yang tercekat ditengah ledak tangisnya. Air mata kering. Mata bosan di rodi terjaga dan menangis berulang kali.

Tak ada apa-apa selain kosong dan suara hati yang melolong.

***

Mereka baik-baik saja minggu sebelumnya. Saling melempar candaan sarkasme seperti biasa. Saling menertawakan kebodohan satu sama lain. Saling meributkan hal-hal kecil dan berakhir saling tuding yang diakhiri pelukan dan tawa kecil sebelum sebuah adegan. Tubuh mereka masih sama-sama hangat. Hati mereka masih sama-sama berdegub dalam getaran satu irama. Yang perempuan tertidur, yang laki-laki meninggalkan tempat tidur dengan gerakan seminimal mungkin, menjaga kekasihnya yang sensitive dengan hal-hal kecil untuk tetap terlelap tak tergaja. Dan paginya akan ada beberaapa pesan yang ditemukan perempuannya, di ponsel, di post it yang menempel di dinding dimana ia selalu menghadap ketika tertidur, di dalam post it yang tertempel di kaca kamar mandi.

Mereka masih sama-sama bahagia minggu sebelumnya.

Dimana yang perempuan bisa menyentuh laki-lakinya, dimana si laki-laki masih bisa menatapnya dengaan sebagaimana mestinya cara itu akan terasa sama persis dengan saat dimana mereka memutuskan untuk mengijinkan hati mereka saling jatuh cinta.

Mereka masih bersama-sama minggu sebelumnya.

Dimana ketika sang perempuan mengirim puluhan bahkan ratusan pesan singkat akan selalu direspon sama banyak oleh lelakinya. Dimana saat lelakinya ingin di buatkan sekedar mie instan si perempuan akan tersenyum dan beranjak dari apapun yang sedang menyita dirinya saat itu. Dimana makan siang bisa mereka lewatkan bersama dengan mencuri-curi waktu bekerja. Segalanya masih menyenangkan minggu sebelumnya.

***

Taun kemarin.

“ Aku akan menikah nanti.”

Ia berkata dengan keyakinan diri yang selalu membuatnya tampak memukau di mata siapapun yang memperhaatikannyaa saat itu. Dimana senyum merekah dan mata berbinar. Lelakinya yang menyibukkan kesadaran dengan hiburan televise di kamarnya, berpaling. Perempuan ini memang lebih menarik saat ia sedang menceritakan impiannya. Lelakinya tersenyum, lembuh, dan menuntun kepalanya rebah di bahu kirinya.

“Anakku satu ah. Satu tapi dia harus bahagia. Harus!”

Kali ini ada getar tak biasa dalam beberapa kata. Lelakinya tau ini soal apa, karenanya sekarang tangannya bergerak membelai kepala perempuannya dengan lembut, ia tak berkata-kata, tapi jemarinya bicara lebih dari sekedar kata.

“Lalu aku akan punyaa seorang anak yang cantik, matanya bulat cantik, rambutnya ikal tipis cantik”

Lelakinya berhenti. Tertawa kecil, lalu mengecup puncak keningnya. Membelai lagi.

Tak pernah ada kata yang berlompatan percuma saat itu hanya kata semata. Tak pernah ada taanggapan suara yang begitu bohongnya saat itu tak pernah terjadi nyata-nyata. Tapi seluruh diri lelaki tadi, selalu menjawab dengan caranya sendiri, dan menenangkan apapun yang sedang bergolak saat itu. Entahlah, perempuan ini selalu mampu menangkapnya.

***

Tengah tahun lalu.

Sebuah gelas pecah menjadi kepingan berserak di lantai. Kaca rias pecah sebagian, terantuk gelas yang sempat beradu dengannya sebelum berkeping di lantai. Ada banyak sekali noda air mata di sprei. Si perempuan terbujur tak beranjak dari sana selama 2 hari.  Ia mencoba membunuh dirinya dengan tidak mengijinkan apapun memasuki tubuhnya dan memberikan sarat kehidupan kecuali oksigen. Ada yang ingin mati menyudahi segala beban hidupnya, melepas segala sesak yang berhimpitan di dalam dirinya. Lelakinya sudah 3 hari tak ada kabar. Mereka pecah dalam tengkar.

Ia tak mau ada suara. Ia hanya ingin mendengar langkah ringan tergesa yang berhenti di depan kamarnya.  Satu-satunya indera yang diijinkannya tetap terjaga hanyaa pendengaarannya. Ia ingin mendengar lelakinya ada di dekatnya sebelum melihat nyata-nyata dan menyentuhnya.

Beberapa butir ragam obat bertebaran di nakas. Ia sedang tak ingin menghitung, ia hanya ingin mengira-ngira apakah yang terlihat sudah cukup menjamin dirinya untuk kehilangan nyawa dengan segera.

Laki-lakinyaa datang. Nyawaa perempuannya gagal hilang.

***

4 hari sebelumnya.

Sebuah pesan singkat. Jelas begitu menyakitkan bagi siapapun yang menjadi tujuan.

***

6 hari sebelumnya.

Lelakinya datang. Perempuannya berwajah pucat. Hari keempat tanpa asupan yang memadai sarat hidup. Sedang tidak berpijak nyata paadaa apa yang ada saat ini. Lelakinya berwajah dingin. Bahasa tubuhnya begitu asing. Tidak ada kaata-kataa bertebaran. Hanya ada beberaapa debaran tak biasa, debaran asing yang sama-sama gagal mereka terjemahkan.

“Kenapa datang?”

“Aku akan pergi. Kita lebih baik sendiri-sendiri”

“Ya. Aku sudah sendiri 4 hari. Aku bisa”

“Maafkan aku. Aku pergi”

Pintu di tutup. Punggung hilang. Perempuan menjerit menjadi dalam hati.

***

2 jam setelah lelaki pergi.

Sebuah pesan singkat dari seorang teman.

“Better you go find him in Hospital.”

Gelap.

***

“Kamu pergi. Dalam marahmu kaamu meninggalkan aku. Dalam marahku aku membiarkanmu menjauh hingga tak lagi bisa kuraih kembali. Apa yang sedang mempermainkan kita saat ini, dia pemenangnya.”

Sebuah gelas terguling, jejak air meresap di lantai marmer. Perempuan tak jauh terbaring, mulut berbuih.

 

 

 

 

 

 

 

 

My new 17 minutes

091013/00:17

Let me to let you go, please

 

2 komentar: