4.26.2013

SEPERGIMU



Kurasa awalnya kita berada dalam satu titik pertemuan yang sama, kita menyebutnya, saling tertarik. Waktu berhamburan, hal menyenangkan juga banyak berceceran diantaranya, diantara kita, dalam waktu-waktu kita yang terlalu banyak beriringan, lalu kita sadar, entah sejak kapan kita saling jatuh pada cinta yang sama. Aku jatuh di cintamu, kamu jatuh di cintaku, kita saling jatuh cinta. Kita sepakat bahwa seringya orang berlaku bodoh, bahkan terlalu bodoh saat mereka jantuh cinta. Kita juga melakukan yang sama. Kebodohan termanis, kita me-masabodoh-kan perbedaan kubu keyakinan kita. Kita lebur perbedaan kita selama kurang lebih 2 tahun kebersamaan kita dengan sebuah statement ampuh, “Tuhan itu satu, dan agama selalu benar dengan cara-caranya.” Lalu kita bahagia bersama di atas tanah lumpur dan dataran berlumut, dimana terperosok dan tergelincir akan menjadi kejutan yang sering terjadi.

Aku ingat kali pertama kamu membawaku ke sebuah café kopi yang katamu oke hanya karena kamu pernah bekerja sebagai barista disana, ya memang oke, bagiku segala hal yang ada kamunya adalah oke, dan pada dasarnya aku adalah pecandu kopi yang tak pernah menyia-nyiakan kopi hitamku. Dan malam itu, kopiku sangat oke. Kopi pertama yang membuatku tak bisa tidur, bukan karena kandungan cafein kurasa, tapi lebih pada kandungan debaran selama cafein tadi kusesap habis. Kamu.

Kamu ingat kali pertama perjalanan lintas kota kita? Aku yakin kamu tak bisa lupa, kecuali sebuah benturan keras mengacaukan salah satu fungsi Long Term Memmory-mu. Kota yang dingin kan? Kota yang pas untuk saling membagi kehangatan. Dan waktu  yang tepat untuk saling meyakinkan apa yang sedang tumbuh diantara kita. Lalu menurutmu, malam itu kita sudah resmi menjadi sepsang kekasih. Lucunya.

Ingat pertengkaran pertama kita? Terjadi tak lama setelah perjalanan keluar kota yang pertama, kamu mencoba menipuku, terserah apapun pembelaanmu, kamu sudah mencoba berbohong padaku. Dan aku tak mau mengakui pembelaanmu untuk menumpulkan sensibilitasku dalam membaca gesture, eye contact dan susunan katamu. Kamu berbohonh, kamu melakukan kesalahan, dan ini yang harus kamu akui. Aku marah besar, marah dalam caraku yang paling khas, dengan diam. Kamu kelimpungan, kamu ketakutan dalam gerik yang tertangkap olehku, kamu kebingungan. Aku ingat betapa banyak getaran rasa takut dalam setiap kalimat yang kamu katakan untuk meyakinkanku bahwa ini tak akan lagi terulang. Aku memercayai itu, aku memaafkanmu, tapi aku gagal melunasi harga untuk melupakan permasalahan pertama ini. Aku tau, kita akan semakin sering seperti ini lagi. Mungkin kamu juga memiliki prediksi begitu.

Aku masih persis mengingat kado pertama darimu, sebuah pukulan besar dan kebanggan hebat kauberikan sekalian, dalam satu wujud. Al-qur’an. Dimana malam sebelumnya aku menangis dalam doaku, dalam cara terbenar menurut keyakinanku akan Tuhan, aku meminta isyarat Tuhan akan kamu, aku dan bagaimana mestinya kita. Dan pemberianmu sungguh ambigu, apa yang terjadi pagi itu sungguh abu-abu. Pukulan besar bahwa kamu menegaskan aku untuk melekat pada keyakinanku akan Tuhanku. Kebanggaan bahwa aku sedang menjalin hubungan bersama seseorang yang menghargai perbedaan paling hakiki yang ada diantara kami. Aku memutuskan untuk mengartikan segala abu-abu ini sebagai ijin Tuhan.

Terlalu banyak tempat yang menjadi lokasi-lokasi monumental percintaan kita, walau mungkin kini cinta telah mati di dalammu, tapi kamu, aku, kita berdua tetap tak pernah bisa menipu kenangan soal, ya, kita pernah bahagia karena saling mencintai dan memelihara cinta. Terlalu banyak waktu yang kita lewatkan bersama-sama rasanya, sehingga menghapus apa yang terjadi dan apa yang dilewati bersama sepertinya akan sangat mustahil, sekali lagi, kecuali jika ada hantaman keras yang mengganggu fungsi Long Term Memmory-mu.

Hal favoritku adalah mengenang lelucon-lelucon sarkastik yang sering kita berdua lemparkan satu sama lain. Bisa terjadi dimana saja, di kamar, di jalan, di café, di kantor, dalam media, dimana saja. Dan kita suka saling menertawai kebodohan masing-masing untuk sekedar mencairkan suasana sucks yang sedang terjadi. Dan hei, kadang kamu suka kelewatan dengan tak mau mengalah dalam adu pukul kita, atau adu mulut kita.

Masih ingat seberapa sering aku memberitahumu bahwa hal yang paling menyenangkan bagiku adalah menunggumu datang? Haha. Itu betulan, aku lebih menikmati renggang waktu menanti kedatanganmu dari kuliahmu dengan melakukan beberap hal tak penting, sekedar killing times, sambil sesekali menghitung jam dan menit kedatanganmu. Jika tak tahan, maka aku mengirim bbm atau sekedar sms, memastikan masih ada sisa nafas didalammu, memastikan bahwa asupan oksigen cukup untuk membuatmu hidup dan memiliki waktu untuk menemui sepulang ini. Ini serius.

Kita bahagia, aku tau, aku yakin kamu pun juga tau itu, tapi lagi-lagi kita dipaksa sadar, bahwa kebahagiaan ini akan sulit, bahwa ini akan tak lama lagi. Kita saling yakin akan cinta di hati kita masing-masing, tapi kita, aku, kamu, tak memiliki keberanin untuk membicarakannya lebih jauh. Kita terhenti pada masa ini, saat ini, hanya sekarang. Bukan besok, bukan beberapa tahun kedepan. Kita tau, hubungan kita tak punya masa depan. Aku tau, aku mencoba mengingkarinya dengan menolak berpikir tentang besok. Aku tak tau bagaimana denganmu, karena kamu selalu abu-abu dalam memberikan jawabanmu saat kita terlanjur terjebak dalam pembicaraan soal nanti.

Apakah kita dulu pasangan keras kepala? Hmm, kurasa iya. Entah bagaimana menurutmu. Kita keras kepala dengan tetap melanjutkan banyak hal bersama dan memelihara cinta, karena terlanjur terpelihara dan hidup bernyawa, kita jadi tak tega membunuh cinta. Hingga kita sampai pada satu tahap pemahaman dan penerimaan yang luar biasa soal perbedaan hakiki kita. Kita akan menikah, ini akan susah tapi kita masih bisa bahagia. Naifnya.

“Dengan apa kamu menikahiku?”
Sebuah kalimat yang selalu meronta ingin keluar, tapi selalu berhasil tertahan kuat diujung lidah keluku. Aku tau, ini akan melukai keyakinanku, keyakinanmu dan kebahagiaan kita saat ini. Maka itu kupilih untuk memenjarakannya dalam pikiran saja. Bisa jadi tanya serupa sedang kau penjarakan dalam kepalamu sendiri. Haha.

Ada satu saat miris dimana aku dan kamu, kita, saling memahami luka di masing-masing hati pemeluk kubu. Natal pertamamu. Malam dimana aku mengucapkan, “Merry Christmas” (oh, tenang, bagiku ini tolerasi, bukan sebuah pengakuan keTuhanan berlebihan) lewat bbm dan kamu menceritakan betapa excitednya kamu, adikmu yang istimewa, mama dan papamu untuk mempersiapkan malam –entah apa namanaya- di gereja kota asalmu –Geraja yang kamu rekomendasikan untuk kudatangi dan kunikmati klasik interiornya saat aku dinas di kota asalmu dulu, kamu memang tau seleraku, dan satu-satunya orang yang tak pernah mengejek soal itu-. Lalu kamu bercerita soal betapa ketatnya penjagaan aparat kemanan Negara di sekeliling Gerejamu, dimana perayan ibadah yang sacral jadi begitu terganggu dengan adanya pemeriksaan sebelum memasuki areal Gereja. Bom Bali, Bom depan Gereja, dan serentetan tragedy-tragedi Bom lain yang kebanyakan dilakukan oleh front-front teroris aneh yang mengatas namakan Islam dalam setiap aksinya. Hhh, andai kamu tau aku pun ikut tercoreng dan pedih akan hal itu, tak perlu kuceritakan, kamu mengerti caraku berpikir sedikit-banyak, kurasa.

Aa satu saat favoritku yang lain, dimana kamu ikut menemaniku berpuasa selama Ramadhan, alih-alih itu adalah salah satu gebrakan ibadah terbesarmu dalam keyakinanmu, puasa entah apa namanya, yang total jumlahnya adalah 10 hari. Tapi kalau saja kamu tau, aku sangat-sangat-SANGAT menghargai besar toleransimu akan ibadahku sendiri. Aku melihat badanmu berubah bentuk dan pipimu mengurus –haha, aku suka kamu kurus, tapi ini jauh lebih suka lagi, entahlah aku tak bisa menjelaskan- selama bulan-bulan puasa kita. Ingat-ingat lagi, kita pernah berbuka dengan hal yang tidak biasa.

Satu hal, kamu terlalu banyak berbohong soal betapa tak menawannya dirimu sehingga aku tak perlu mengkhawatirkan akan ada perempuan lain yang mengusik ketenangan cintamu untuk aku. Kamu menawan dengan caramu –walau, hei terkadang kamu memaksakan itu, kamu perlu tau ini-, dan hanya kami yang melihat yang tau persis soal itu. Kamu berkali-kali meyakinkanku dengan berkata,
“Karena pada dasarnya memang aku nggak semenarik kamu yang punya banyak penggemar, cuman kamu yang berselera aneh aja yang mau sama aku. ”
Aku tau kamu bohong, tapi aku memilih untuk pura-pura percaya dan menghargai upayamu menenangkanku dengan cara yang naif ini. J

Kita pernah menjadi pasangan yang WOW –aku tak menemukan istilah oke lain untuk menamai apa hubungan ini dulu-. Kita sering bertengkar namun –so far, kecuali yang membuat kita terpisah pada akhirnya- kita tetap akan baik-baik saja setelah katarsis satu sama lain. Kita ahlinya! Kamu harus mengakui itu, karena aku sudah mengakui ini sejak lama, bahkan dengan bangga memamerkan kehebatan pertengkaran kita dan proses baikan kita ke segala penjuru yang alat pendengarnya masih valid.

Tapi,...
Kita tau kita tak bisa terus seperti ini, kita tak bisa terus menipu diri, kita harus menerima kenyataan, melepas tutup mata yang kita pakai selama 2 tahun ini. Berawal dari hari yang indah, minggu pagi yang menyenangkan, hanya saja minggu ini kita tak bisa bertemu sepulang Gerejamu, seperti biasa. Aku tak menyangka ini akan jadi Minggu terakhir dimana kita sama-sama bahagia. Sebuah pertengkaran tersulut karena kebiasaanmu, kekurang terbukaanmu dalam menyampaikan sesuatu dengan semestinya –kamu harus mengakuinya, kamu tak boleh lari lagi, kisah kita selesai, kamu tak perlu lelah-lelah lagi- dan malam itu kita saling teriak, saling menuding, dan kamu pergi.

Kamu bilang ini soal akumulasi, soal sedimentasi kemarahan-kemarahan yang tak terkendali namun tak diakui. Ya, bisa jadi. Tapi kamu tak mau tau tentang sedimentasi-sedimentasi kekecewaan dan kemarahanku sendiri. Jangan bilang aku egois, untuk pertengakaran kali ini kamu lebih egois, dan sedikit lebih kejam. Kamu membiarkan aku berjibaku dala upayaku memperbaiki segalanya diantara kita sendirian.

Candle light dinner pertama dan terakhir dengan alunan cover Girl on Fire – Alicia Keys, Black Florist Mini Dress, baju kerjamu, home made chicken cordon bleu di kali perdanaku, dan segelas home made coffee punch. Aku ingin kamu mengingat sekali lagi apa yang terjadi malam itu, dengan senyuman –kita harus bahagia, itu hak kita-. Kamu sangat menyebalkan dengan statement “Not Bad” soal Chicken Cordon Bleu-ku. Semua orang menyukainya dan memuji CCB ku, Sial! Kamu bohong! Ini lebih enak ketimbang CCb yang kita makan di Drop Chocolate! Ih! Hei, aku berhasil mengingat semua kenangan-kenangan manis dengan senyuman. Bagaimana denganmu? Aku rasa kita tak perlu mencederai kenangan, karana bisa jadi itu adalah satu-satunya kebahagiaan yang bisa dijadikan harta karun suatu saat nanti.

Aku terjatuh, parah sekali, payah sekali. Kamu yang selalu ada, tiba-tiba hilang. Aku semacam kehilangan landas pijakku untuk berjalan maju. Aku semacam kehilangan satu-satunya alas an untuk terus bertahan ada dan bernafas. Dunia menjadi salah, segalanya menjadi tak pada tempatnya. Segalanya sucks! Dan kamu tetap tak pulang, kamu hilang, lari –boleh kamu akui dengan berbesar hati- dariku, lari dari kita.

Tinggal aku sendirian melawan alam semesta, menyangkan bahwa kemarin bukanlah kini, menyangkal bahwa masa lalu tak bisa dinanti lagi. Aku melompat-lompat dari lalu kembali ke kini, dari dulu kembali pada saat ini, dari bersama menjadi hanya seorang diri. Aku berjibaku dalam kesedihanku memerangi mimpiku sendiri.

Aku melupakan soal aku, melupakan soal keluargaku, melupakan soal hidupku, aku kehilangan diriku, sekian lama. Dan tiba-tiba kamu hilang dan melempar dunia kembali padaku – aku yang sebenarnya adalah poros dari duniaku sendiri -. Kamu melempar duniaku padaku, tanpa mengajariku sebelumnya, soal bagaimana mengurusnya sendiri. Itu kriminal! –akui saja! Kamu harus, supaya hidupmu lancar, haha-

Aku bisa pada akhirnya. Aku sadar pada akhirnya. Kesendirian yang selama ini kutolak dan kutakuti, adalah bagian yang tak terpisah dari hidupku dan hidup siapapun. Aku tak bisa menolaknya, ia harus ada, aku perlu sendiri untuk beberapa situasi, aku perlu sendiri untuk beberapa masa, dan aku perlu sendiri, sangat, maka aku tak boleh menolaknya. Aku belajar sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah tentang bagaimana mengembalikan poros padaku. Menjalankan putaran kehidupanku sendiri.

Aku sadar sudah tidak ada kamu lagi di sekitarku. Aku tau tidak akan ada kuping yang setia mendengarkan segala racauanku lagi. Aku terbangun akhirnya. Aku tak membutuhkanmu, atau siapapun lagi untuk mejalani hidupku sendiri. Aku hanya butuh diriku sendiri. Orang datang dan pergi, dan orang akan mati suatu saat nanti. Kamu orang. Cepat atau lambat, aku pun akan kehilangan satu per satu orang dari kehidupanku, sampai hidupku sendiri berakhir. Maka kuputuskan untuk hanya mencintai orang-orang, bukan melekati mereka.

Berpisah darimu membuatku begitu banyak memiliki waktu sendiri yang bisa kumaksimalkan untuk tidak melakukan apapun tanpa tujuan penantian, melakukan hal yang memang sedang kurencanakan sendiri dan melakukan hal-hal yang belum pernah kupikirkan untuk kujalani sendiri. Sepergimu, aku merasa semakin utuh. Ah, ini bukan semacam umpatan terselubung, tapi ini sebuah temuan besar dalam hidupku setelah beberapa badai dating bertubi padaku.

Karena apa yang kualami belakangan –sejak awal tahun- aku jadi lebih oke memberikan advice pada mereka-mereka yang mempercayaiku sebagai tempat bertanya atau sekedar berbagi keluh kesah. Aku mejadi merasa jauh-jauh-JAUH lebih hebat dan HEBAT lagi. Aku jadi merasa menemukan banyak-banyak dan BANYAK lagi hal yang perlu aku syukuri dengan caraku meyakini Tuhan.

O ya,… aku masih pada kesepakatan kita, bahwa “Tuhan itu satu, cara kita mengadu yang menjadikan kubu-kubu”.

Sepergimu,…








Sepergimu/250413/4:41/My Cubical 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar