12.22.2011

I call her, "Sugar" :)

Gadis kecilku sedang berpangkukan tangan diatas meja makan, dapur kami tak luas, tapi cukup nyaman untu dijadikan tempat berbincang dengan buah hatiku. Mata bulatnya mengerjap-ngerjap saat memperhatikanku mengupas kentang. Sup merah kegemarannya menu pilihan makan siangnya hari ini. Mulutnya sibuk mengunyah gula-gula yang dibeli neneknya sebagai oleh-oleh dari perjalanan keliling kampong halaman lalu. Napasnya mendengus-dengus pendek berirama.
Ah, buah hatiku ini sudah memiliki pesonanya sendiri sejak dini.
“Mah, capek?” aku menghentikan kesibukanku sebentar, mengamatinya sesaat, menggeleng dan tersenyum. Cantiknya gadis kecilku.
“Mah, nenek dulu juga suka mengajak mama main di dapur?” mata bulatnya jernih mengerjap-ngerjap menatapku, agaknya ia terganggu dengan uap kaldu supku.
“Nggak pernah sayang, tapi mama suka bantu nenek di dapur. Kupasin kentang, kupasin ketimun, wortel, banyak.”
“Aku sayang sama mamah dong.” Ah, kau selalu menemukan kalimatmu sendiri anakku. Kau selalu menemukan kalimat denga caramu sendiri untuk membuatku berdebar.
“Mama juga sayang kamuuu, Sugar..” aku berhenti memotong wortel, mencubit gemas pipinya.
“Kenapa sih mama suka panggil aku sugar? ”
“Karena kamu sangat manis. Lebih manis dari gula-gula yang kesukaanmu, Sugar. Sayangnya mama belum menemukan nama lain untuk memanggilmu yang manis selain Sugar. Kamu nggak suka?”
“Aku suka kok. Trus kenapa papa panggilin aku manis?”
“Karena memang kamu sangat manis. Papa sama mama kan sama-sama nge-fans kamu, Sugar.” Ku tarik kursi di hadapan gadis kecilku, menemaninya sebentar saja tak akan membuat sup merahku menjadi kehilangan cita rasanya.
“Aku dong, juga nge-fans sama mama-papa. Kaya yang di teve mah, you are my everything.” Ah, kamu selalu menemukan cara untuk merebut hati dan perhatian kami.
“Mama sama papa dong saking nge-fans nya sama kamu juga ikut-ikutan pengen bilang, I love you Kania.” Gadis kecilku berjengit girang. Melompat turun dari kursinya, memelukku.






Sebuah kisah dalam mimpi.
Dedicated for all mom n kid

12.19.2011

MISSing

Sudah 22 jam dan kamu belum juga memberi kabar. Kamu terlambat 22 jam. Dan Aku masih berdiam disini, menunggumu datang. Siapa tau kamu sedang terjebak macet yang tak bisa kamu jelaskan betapa padatnya dan susahnya kamu bergerak, sementara telepon genggammu mati, kehabisan pulsa atau ada di luar jangkauan signal kota. Yang pasti aku akan memberikan pengampunan untuk keterlambatanmu dan segala alasan yang memberatinya. 22 jam, 2 kali hujan dan angin kencang semalaman. Aku merindukanmu, tapi aku hanya bisa menunggu. Telepon genggamku sedang berjuang mengalahkan trouble, jemari tanganku juga sedang berperang melawan pengaruh pikiran dan perasaan. Aku pun kacau.

Di luar kaca jalanan masih sepi, gelap masih pekat angin masih menampar-nampar wajah malam. Mataku lelah terjaga semalaman. Kantuk benar-benar enggan menyapa perempuan yang sedang galau-balau memang. Sudah 2 pack rokok dan bergelas-gelas kopi kulewatkan tanpa cecap-sesap nikmat. Terlalu sibuk menunggumu. Kamu lama sekali. Ada apa?

Kalau kamu mau tau apa yang paling kubenci dari penantian kali ini adalah jarum jam. Sungguh aku tak pernah merasakan persis betapa cepat jarum detik berdetak menjadikan waktu pada hitungan menit. Dan sekarang tepat 22 jam dan 5 menit kau belum juga datang. Aku meletakkan jam kecil di meja ini, sungguh menyebalkan melihat 3 jarum berputar-putar. 22 jam 5 menit tanpa lampu, biar aku tak begitu terganggu dengan persis gerakan masing-masing jarum jam. Dan sia-sia saja, tetap mereka berdetak dalam bunyi, membuatku menghitung dalam hati, bahkan hatipun bisa menerka pasti pukul berapa ini.

Mataku lelah, sungguh..

***
23 jam lalu.

“Bisa kau akhiri cerita ini jika kau mengucapkannya didepanku sekarang juga. Bukankah 15 menit adalah waktu yang tak terlalu lama dibanding 3 tahun kebersamaan kita. 15 menit juga tak terlalu lama untuk aku menunggumu disini menyelesaikan segalanya diatara kita. Kutunggu disini, berhati-hatilah, aku tak akan mengganggu perjalanan beratmu, aku akan bersabar saja menunggumu disini.”

“Klik…” kamu memutuskan hubungan dari seberang dan telepon genggamku berdenyut gelisah. Tentu saja hatiku lebih dasyat lagi isyaratkan gelisahnya sendiri.

***
25 Jam lalu.

“Sudah kubilang, aku tak pernah menduakanmu sekalipun dengan pekerjaanku”
“Aku tau”

“Lalu kenapa kau begini padaku?”

“Itu yang aku tak tau. Jika kau tanya, tetap aku tak tau. Aku hanya tau aku mencintaimu. Aku yangt salah
memang.”

“Dimana salahku?”

“Ada, hanya saja aku susah mengatakannya.”

“Bisakah kamu lebih dewasa memilah cara penyelesaian masalahmu? Ayolah..”

“Aku hanya mau kamu memaafkanku. Cukup itu saja. Memang aku yang salah.”

“Aku tak bisa. Aku tak pernah menduakanmu, maka aku tak mau kau duakan sekalipun.”

Kalimat terakhirmu dalam sms. Kita selalu bertengkar dalam jarak.

***
29 Jam Lalu.

“Terimakasih sudah mengantarku pulang. Bisakah kita simpan malam ini hanya untuk kita berdua saja? Aku tak mau adikmu tau. Dia akan terluka jika tahu segalanya yang baru saja kita selesaikan.”
“Yang kita selesaikan barusan ini adalah segala hal yang kita simpan beberapa waktu sebelum kau mengenalnya. Bukan salahmu, tapi salahku yang telah membiarkanmu menungguku begitu lama.”
“Bisakah kita kembali seperti saat sebelum ada apa-apa diantara kita, walau aku telah menjalin sesuatu dengan adikmu?”
“Bisa kau pegang janjiku. Maafkan aku telah menyimpan kebodohan yang kupikir hanya akan menyiksaku seorang diri. Selamat malam.”

Sebelumnya waktu mempertemukan aku dengan kakakmu, membiarkan kami berada dalam satu tempat yang sama selama beberapa waktu, memberikan kami banyak kesempatan untuk saling jatuh cinta. Jauh sebelum aku mengenalkanmu. Kebodohanku adalah aku terlalu suka menunggu dan menyimpan. Kebodohannya adalah terlalu rapih menyimpan dan terlalu lama mempertimbangkan. Lalu kami berpisah dalam jarak dan waktu yang membuat kami pulang dengan pedih masing-masing.

Mengenalmu bukanlah sebuah kebetulan. Bertemu denganmu adalah sebuah keajaiban yang direncanakan Tuhan. Tapi mengetahui kau adalah adiknya adalah kebenaran yang membingungkan. Bukan karena rasa yang masih ada, tapi karena rasa yang tak pernah tersampaikan kembali muncul menjadi denyutan-denyutan yang mengganggu tumbuhnya cintaku untukmu.

Dan malam itu aku meminta kakakmu datang menyelesaikan urusan yang belum selesai dengan hatiku. Yang kau pikir adalah sebuah perselingkuhan, yang bagi kami adalah sebuah penyelesaian.

***
,div style="text-align: justify;">
03.15 am

Kakakmu datang. Hujan turun lagi. Aku hampir mati dihajar sakit hati.
“Kita butuh donor untuknya, kecelakaannya membuatnya harus dioperasi. Dia membutuhkan kamu.”

***
48 jam setelah itu

Aku masih disini. Kamu terlambat hampir 3 hari. Dan Aku masih berdiam disini, menunggumu datang. Kupikir ada sesuatu yang mengganggu perjalananmu, bisa jadi hujan yang turun beberapa hari ini, macet yang membuatmu sulit bergerak, atau ruang anatara kita yang sudah berbeda sama sekali. Yang pasti aku akan memberikan pengampunan untuk keterlambatanmu dan segala alasan yang memberatinya. Aku merindukanmu, tapi aku hanya bisa menunggu. Telepon genggamku sedang berjuang mengalahkan dimensi. Perasaanku sedang berperang melawan pikiran dan kenyataan yang mengatakan kamu sudah pergi dan tak akan datang lagi.





Di pojokku, pada 11:36
Di 171211
Mencoba Membuka Sesuatu

11.19.2011

Just For My Beloved Mom

Nak, hidup ini tidak susah..
Tapi harus kuat

Hidup ini tidak ramah,
Tapi bisa takluk

Hidup ini tidak rumit
Hanya saja kau perlu mawas diri

Aku juga pernah menjadi sepertimu
Meledak-ledak, bergelora dan terguncang

Aku juga pernah merasakan sesuatu yg tak jauh berbeda dg mu
Sakit hati, kecewa, terluka dan terlupa

Aku pernah juga menemukan segala yg hampir juga kau temukan dimasamu kini
Cinta, teman dan ada

Nak, hidup ini bukan masa..
Tapi akademi dengan penghargaannya sendiri

Aku pernah menang di satu frase dan mendapatkan ayahmu sbg tropi
Simbolis ketulusan cinta serta penyematan dari kesetiaan kasih

Aku pernah menang disebuah peperangan,
Dengan kisah yg berbeda...
Aku mendapatkanmu bebas menghirup nafas,
setelah aku menang bernegosiasi dg maut, untuk menggantikan posisimu denganku

Nak, sekarang saat mu...
Teruskan estafetku...




Dedicated to my beloved mom
Tina
:)

10.18.2011

Kalau Saja,..

Aku memimpikan hidup bersama kamu...

Bukan karena nanti aku akan bisa halal memelukmu, atau sah memilikimu..

Hanya saja bagiku adalah sebuah anugerah besar bisa menatapmu berlama-lama...

Hanya saja bagiku adalah suatu hal yang istimewa bahkan lebih jika bisa mendapatimu ada dekat disini...


Aku memimpikan bisa bersama-sama dengan kamu agak jauh lebih lama dari sekedar selamanya,

kalau saja...

Bagiku begitu berarti bisa memandangimu tengah malam, pagi buta atau bahkan saat terjaga membuka mata,

Andai saja...


Hhhh...

Kalau saja,...

10.06.2011

Dear God...If Only

Terkadang aku berdoa pada Tuhan kita, tapi dengan caraku sendiri...

Cara yg mereka bilang adalah jalan agamaku...



"Ya Tuhan satukan kami dengan cara terbaikmu, bukan hanya kami, tapi seluruh keluarga dan kerabat kami.

Jadikanlah kebersatuanku dan dia adalah suatu kebahagiaan juga untuk mereka, bukan hanya kami yang saling mencinta.

Karena Tuhan, ... Kami tak tau apa yang diperbuat oleh pendahulu-pendahulu kami,

sehingga mengakibatkan umatmu terpecah satu sama lain, tercerai berai sana - sini

Tuhan kami tau, kami meyakini ke-Esa-an Mu...

Kami tak memungkiri kami ada karena KuasaMu...

Tapi disini kami memohon keajaibanMu

Atas cinta yang tak pernah kami kehendaki untuk terlukai..."


Bukan aku yang memilihmu, ...

Bukan lantaran kamu lelaki yg menarik,

juga bukan karena aku sedang kesepian.

Perna kamu mendengar "Hati memilih jalannya sendiri?"

Hatiku memilih kamu...

Jangan tanyakan kenapa, karena sebelum kau tanyakan, aku telah bersusah payah jauh-jauh sebelumnya demi untuk menemukan penjelasan paling logis mengenai,

"Alasan aku mencintai kamu"

Dan memang terjadi begitu saja, seakan-akan seluruh alam dan sekitar kita berkonspirasi untuk mmembuat kita bertemu, mengenal, berbicara satu sama lain, tertawa, nyaman dan kemudian jatuh cinta...

Aku hanya sedang beusaha keras untuk mencari alasan terkuat, mengapa aku berdebar-debar saat pertama kali menatapmu, mengapa lidah ini kelu saat pertama kali akan memulai pembicaraan denganmu, dan mengapa begitu istimewa saat pertama kali menciummu...

Hatiku sudah mengisyaratkan sesuatu,

Sesuatu yang entah apa tak juga bisa ku mengerti konkritnya,

Hanya saat aku menjadi sedikit tau, ...

Aku tertarik padamu, saat mata kita bertemu tatap, saat kita bertukar suara, saat kepala ini tak berhenti menunduk, menunjukkan betapa aku menyadari ada sesuatu yang kuat yang mendorongku untuk sekedar menyentuh kamu...

Hanya saja...

Terkadang aku merasa susah, sedang di lain sisi kubu tertegar dalam diriku meneriakkan lantang hak-hak ku untuk memperjuangkan bagian dari kehidupanku..


"Apakah mencintainya adalah dosa, Tuhan? Sungguh aku tak meminta untuk dilenakan saat-saat istimewa bersamanya... Hatiku memilihnya, ... "

Hanya saja, ...

Aku dan bagian dari diriku merasa akan sangat sakit dan tercabik jika saat itu akan tiba...

Baiklah Tuhan ... Tidak ada sesuatupun yang akan terjadi tanpa ijinMu,...

Jika Kau ijinkan kami bertemu,

Kau ijinkan kami saling jatuh cinta,

Kau ijinkan kami bertahan sekian lama,

Maka ijinkanlah kami untuk terus bersama dan bahagia, ...

Atau sembuh setelah sama-sama terluka...

9.13.2011

Kepala Cenat-Cenut Karena Cinta

Deeuuuhhh..
emang asik ni main-main photoshop, scape, lightroom dsb..
kalo udah ada yg mo di buat, konsep udah dapet, autis deh!


Setelah bikin ini saya bener-bener mengalami SMASHmomment
"Kepala cenat-cenut" lantaran melototin satu-satu font, pilih2 font,
resize, crop, layer, layer lagi,...HAIS!!!

Ujung-ujungnya saya ga bisa bikin yg secakep punya doi...
buuuuuuw...


 noh...begini jadinya  (:

8.11.2011

Depresi

aku melihatmu...

kacau.

aku melihatmu...

risau.

kukumu patah,

setelah kau gores di tembok

ukirkan sebuah nama..

menyerupai namaku.

Matamu merah saga,

marah...

setelah berhari-hari menatap pongah

pada gambar berbingkai

serupai gambar wajahku

Tanganmu berdarah...

meremas tajam sesuatu dalam genggammu...

oh,..

hatiku berdenyut gelisah disana...

"lepaskan hei,... dia meronta"






di sudutku..
merenungkan sesuatu..
11.08.11  

7.26.2011

*Belum Kurenungkan Judulnya*

Aaargghh!!...

Kata-katamu merajam dalam otakku!!

Jari – jemarimu tembus kelabu sisi penuhnya…

Dipenuhi namamu…lagi

Aaaargghhh!!...

Larik-larik bait puisimu aliri darahku…

Bersenandung lewat desir darah dan helah nafasku

Lamat-lamat…

Menyebar…

Hangat.

Hhh,..

Lelah juga menatap fotomu!

Bingkainya batasi jemariku tuk menyentuhmu lebih dekat.

Lalu,..

Kapan kau nikahi aku eh?



Room 12 (12/04/10)


7.05.2011

All About BC





it's all about you BC...
bakal ada yg begini ini di kubikel kerja saya...
post it- post it bernasib sial yang harus kita corupt untuk menyampaikan "something" yg kadang hanya efektif jika diverbalisasikan...

sebodo ah!
lebih asik begini!!!

:))






kalo yang ini mah saya pas lagi iseng...
dari pada nganggur, bukalah si saliyem a.k.a laptop jaman purba saya
dikit tempel sono-sini,
merangkai kata (bgitu doang juga)
jadi deh...
mayan ... si BC bisa bersemu-semu a la bbm tu

xixixi
:))





yang ini saya buat di suatu siang, dalam kamar kost, dengan duduk diatas kasur
dan (lagi) berbekal saliyem dan setumpukan kata-kata yang memenuhi dada,
dan lagi...saking nganggurnya pula...
jadilah ini...
ada salah kata tu... "it" mustinya jadi "it's"...gitu kata si BC
(okay ...I know... kamu editor handal, dear..)





Woooopss!!!
:-O

yang ini nampaknya agak-agak "HOT"
come on!
lihat ke art-nya...

ini rangkuman dari momment-momment yg kita lalui bersama...

hihiiiii

:">





this is the last ...
yang paling terakhir yang saya buat ya ini
nothin' special...
hanya mencari media untuk menyampaikan sesuatu yang kadang susah diverbalisasikan...



That's all!!!

benernya saya juga lagi bingung mo posting apa...
udah berapa lama juga gak posting...

:)

4.15.2011

Untuk Khaiyla – Abisena (14/4/11)

(Kelak aku akan mengajakmu naik kereta kelinci, Khaila,..Abisena)


Kelak aku akan memberimu nama Khaiyla. Mengapa? Karena entah kenapa aku jatuh cinta pada nama itu sebelum kau ada. Lalu aku berjanji dalam hatiku, dengan bulat tekatku, akan kuhentikan cumbuanku dengan benda putih panjang ini, untuk menyiapkan tempat ternyaman agar bisa kau tinggali selama bersemayam dalam rahimku. Lalu aku akan mengubah pola hidupku. Aku akan meminum cairam putih lain yang penuh kalsium, yang sebelumnya kukutuk dengan ratus bahkan ribuan kata sebelumnya. Beberapa gelas susu untuk pertumbuhanmu. Aku akan menyiapkan asupan gizi terbaik melalui diriku, lewat pencernaanku yang nanti akan kau hisap melalui plasentamu yang tertanam juga dalam ragaku.
Nanti aku akan berjanji untuk selalu bersabar melewati 270 hari selama aku bersatu denganmu, demi menjaga agar hormone kortisol-ku untuk tak meracuni perkembanganmu. Karena sungguh, aku benar-benar mencintaimu. Menginginkanmu tumbuh menjadi kehidupan baru yang akan kubahagiakan nanti. Aku pasti akan menjadi sangat excited dan bahagia di setiap harinya ketika menunggu kedatanganmu. Lalu di bulan ketujuh, aku akan mulai addict untuk mendatangi baby shop, mempersiapkan atributmu, baju-baju mungil itu, yang kuning, yang hijau mint, atau putih, entah kenapa aku tak begitu menyukai serba pink untukmu sayang, aku tak ingin kau terlihat cengeng, Khaiylaku. Bukan masalah sebenarnya, karena kamu akan tetap cantik dan lucu tanpa warna pink sekalipun dalam hidupmu. Itu terlalu cengeng kukira. Lalu aku dan Papamu pasti akan berlama-lama memilih baby troller untukmu sayang. Aku akan memilih satu atau dua yang paling kuat, paling nyaman dan paling cantik untuk kau tiduri saat kami mengajakmu berkeliling menjemur kulit cantikmu di bawah hangat matahari pagi, agar pertumbuhanmu makin baik, agar kamu menjadi Khaiyla kami yang cantik dan sehat.
Kelak aku akan rela menebus sakit untuk bisa mendengar tangisan pertamamu ketika tiba masaku melahirkanmu, tangis pertama yang kunantikan, saat kau berjuang melakukan mekanisme pernapasan pertamamu, Khaiyla. Lalu aku akan membiarkanmu melakukan usaha pertamamu memperjuangkan kehidupan di masa inisiasimu. Mengamati keajaiban demi keajaiban saat pertama kamu memulai kehidupanmu, bersamaku. Tak bisa kubayangkan bagaimana bahagianya memeluk tubuh mungilmu untuk pertama kalinya. Mungkin aku akan menangis haru, karenamu, karenaku, dan segala keajaiban yang telah aku lewati bersamamu. Tentu saja juga berkat Papamu yang mau atau harus kupaksa untuk menemaniku sambil menggenggam tanganku selama proses persalinanku untuk membuatmu berada nanti.

****

Kelak aku akan memberimu sebuah nama, Abisena. Kenapa? Entahlah, aku juga tak tau kenapa aku begitu menginginkanmu untuk memilikinya. Nama yang memiliki arti yang tak pernah bisa persis ku definisikan sebelumnya. Abisenaku. Kelak kamu akan menjadi bocah yang lucu, kamu akan mewarisi sedikit dari Papamu, dan sedikit pula dariku. Karena kamu adalah Abisena, anugerah cinta antara aku dan Papamu. Aku membayangkan kamu memiliki mata yang serupa dengan milik Papamu, yang saat menatapnya aku akan melihat banyak harapan dan kebahagiaan di dalam sana.
Lalu aku akan rela menghentikan kebiasaanku yang lain, yang mungkin saja bisa merusak tempat ternyamanmu saat kamu menyatu dengan ragaku. Aku akan meninggalkan bercangkir-cangkir cairan hitam yang membuatku tergila-gila sebelumnya, sumber inspirasiku selain Papamu. Aku berjanji dalam hatiku, aku akan menggantinya dengan asupan vitamin dan gizi yang cukup untukmu. Aku akan rela memamah dan menelan berbagai sayuran untuk memberimu asupan terbaik melalui satu-satunya saranaku berbagi denganmu, plasentaku. Aku akan berolah raga, aku akan ikut pilates atau yoga untuk perkembanganmu, demi mendapatkan kesehatan untukmu kelak.
Aku memimpikan kamu ada diantara aku dan Papamu, tergelak diantara tawa bahagia kami. Lalu kamu akan menjadi jagoan kami, bukan kah lelaki identik dengan jagoan, Abisena? Kelak aku akan memilihkan metode terbaik demi nyaman menanti kelahiranmu, Abisena. Ah tidak! Apapun akan menjadi membanggakan asal aku bisa melahirkanmu dengan sempurna, asal itu tak menyakitimu dan tak mengurangi keajaiban Tuhan atas anugerahNya melaluimu.
Lalu Papamu akan menggerutu karena harus berlama-lama menungguku memilih seragam serba biru untukmu. Topi hangat, bantal mungil, feeding set, dan sepatu hangat, semuanya akan berwarna biru, biru yang tenang dan damai. Dan aku berjanji akan bersorak paling kencang merayakannya jika suatu saat nanti adalah kata “Mama” yang pertama kali kau sebut. Atas alasan apapun aku tak ingin kalah dengan Papamu untuk menyita kebahagiaan darimu, Abisena.
****

14.04.11

Aku sedang duduk di emperan jalan. Di sebuah café tenda emperan jalan, duduk sendirian di sebuah meja kecil dengan 4 kursi plastik tanpa sandaran. Secangkir cinnamon coffee masih mengepulkan asap panas, sebatang rokok terselip diantara sudut bibirku, mencoba mencampakkan dingin yang menggelayuti sepasang paha telanjang, mengamati sepasang suami-istri dan seorang batita lelaki yang sedang mengaduk-aduk makanan mamanya.
“Entah aku akan memiliki yang mana, tapi aku pasti akan melakukan yang terbaik untuk salah satu dari kalian,…Khaiyla, … Abisena. Suatu saat pun dua benda ini akan enyah diantara jemariku dan hidupku, demi salah satu diantara kalian, aku akan mengganti hidupku dengan satu yang lebih baru, bersama entah nanti siapapun yang akan menjadi Papamu, menemaniku membahagiakanmu, Nak.”

3.09.2011

"KONVENSIONAL"

Aku menyayangkan sesamaku. Sesamaku yang kurang mampu menghargai dirinya dengan cara yang paling beradap menurut segala pergeseran makna era ini. Kata orang manusia jaman sekarang mem-binatang. Kataku manusia era ini hanya sedang asik-asiknya menggunakan dorongan hewani-nya untuk merealisasikan segala drive yang bersarang dalam diri mereka. Sebenarnya bukan lantaran sekarang jaman bebas, maka semua bisa senang-senang, suka-suka, semau gue, seenak perut gue. Sebenarnya jika mau dinalar –dengan akal yang masih fungsional dengan norma yang semakin banyak pengkondisian dan penyesuaian dengan pergeseran jaman- yang semau gue, suka-suka gue dan seenak gue tadi masih tetap memiliki batasannya. 

Come on!
 
Kita hidup dalam ruang tak terbatas yang dinamai DUNIA, yang berarti KITA tidak sedang berdiri sendiri memiliki ruangan ini. Bahkan pada wacana ini “KITA” adalah subjek jamak yang berarti beberapa. Lalu bagaimana beberapa sesama saya di luar sana dengan pongah, petentang-petenteng meng”aku-aku”kan dirinya sebagai individu yang berdiri sendiri lantas bisa bertingkah semaunya dengan men-subjek-kan orang lain sebagai figuran tak penting dalam kehidupan mereka.
 
Sudah bijakkah?
 
Bukan berarti disini wacana yang saya angkat adalah sebuah pembenaran dari tataran nilai-nilai sosial kemanusiaan yang mendewakan unggah-ungguh, kebersamaan dan empati, bahkan bukan sekedar itu. Sebenarnya melalui ruang sempit ini saya ingin mengajak sesama saya untuk kembali menjadi gelas setengah penuh (karena mungkin tidak semua kalimat saya ada benarnya dan ada sesuainya) untuk menerima sedikit perenungan kecil tentang hidup.
 
Belakangan ini saya sering mengandai-andai bila di bola besar yang kita pijak dan dinamai bumi ini sedang diberlakukan satu aturan konvensional yang serempak dan universal.
 
Bagaimana jika seisi bumi menyepakati untuk tidak boleh mencintai sesama jenis?
 
Bagaiman jika seisi bumi ini menyetujui aturan untuk tidak mengijinkan sebuah life style terkini yang kita kenal dengan samen leven?
 
Bagaimana jika seisi bumi ini mengutuk suatu cairan senyawa melenakan yang disebut alcohol?
Bagaimana jika seisi bumi ini melarang adanya perceraian?
 
Apakah seperti ini kehidupan yang dimaui seisi bumi?
 
TIDAK! 
Saya berani jamin!
 
Hei! Bukankah hidup ini adalah kenyataan yang paling berwarna ragam dan ceritanya? Apa kalian pikir akan ada objek yang bisa dipelajari oleh para ilmuwan, cendekiawan dan orang-orang yang 70% dari otaknya itu berisi semacam kerutan dan area abu-abu, jika ternyata dunia ini isinya adem-adem aja?!
 
Apa kalian pikir hidup ini akan mencapai homeostatis kekal jika semuanya baik-baik saja?
Apa ada yang lupa kalau di dalam rumus hidup itu ada suatu istilah yang berbunyi “DI-NA-MI-KA”??
 
Itulah kenapa pada akhirnya manusia akan saling membutuhkan satu sama lain. Yang ingin selingkuh akan membutuhkan pasangan selingkuh, yang ingin menjalin cinta juga membutuhkan pasangan bercinta, yang ingin cari gara-gara juga pasti butuh musuh. Ini yang kita namai dikotomi ‘kan?
 
Segalanya berpasangan, dan segalanya berlawanan.
 
Siang-Malam ; Baik-Buruk; Lelaki-Perempuan; Kalah-Menang… 
Apakah menyenangkan hidup yang hanya lempeng-lempeng saja? Apakah ada yang kita curi, ambil, petik sebagai nilai untuk dipelajari jika hidup ini isinya seragam?
 
Dan syukurlah kita ini hidup di DUNIA NYATA yang dimana di dalamnya ada nano-nano cerita, ada aneka ragam manusia dan jenis perwatakannya. Kita mungkin tidak bisa menyeragamkan nilai, kita mungkin tidak bisa menyelaraskan langkah tujuan, tapi setidaknya kita ini masih sangat-amat mampu menemukan cara paling manusiawi untuk menjadi manusia kan?
 
Yang mau samen leven ya sudah, sana jalani hidupmu, asal jangan ganggu orang lain, asal jangan rusak generasi lain, simpan segala alasan “terkuat” apapun yang kalian punya untuk membenarkan pilihan kalian, tapi jangan sebarkan pada publik. Saya tidak membenarkan life style ini, tapi saya juga tidak pernah menyalahkan ini, toh semua keputusan sudah didasari dengan niat dan maksud kan? Lalu apa masalahnya jika mereka saja (si pemeran utama) sudah cukup siap dan tangguh untuk menghadapi segala macam resikonya? Nggak mungkin juga ‘kan orang bebrbuat tanpa terlintas kemungkinan apapun yang akan terjadi setelahnya? Pasti ada, pasti terlinta, walau hanya sementara atau benar-benar sepintas lalu. Yang saya sayangkan adalah tingkah “SOK PAMER” orang-orang macam ini, apa baiknya sih pamer-pamer hal yang kita tau banyak tidak disetujui orang lain? Ya sudah to, main sembunyi-sembunyian, tutup rapih dan bertingkahlah sopan. Di situ saja point nya buat saya.
 
Yang saya kecewakan dari berbagai persepsi public adalah bahwa “akhlak” manusia yang luar biasa bagusnya ini hanya diukur seputar dengan urusan selangkangan dan alcohol.
 
Sayang sekali kan?
 
Apakah tidak ada sesama saya di luar sana yang berakhlak ‘kacau’ walaupun dia tidak terlibat dengan 2 hal yang menjadi parameter tadi? Apa kabar dengan beberapa pelajar manis-manis kucing yang tumbuh dan dewasa hanya untuk menjadi seorang koruptor atau sekedar perampas hak sesamanya walaupun dirinya terbebas dari godaan selangkangan dan alcohol? Apakah ini cukup beradab?
 
Apakah bijak juga bila sepasang penganut life style samen leven dan seorang pecinta alcohol akan ditolak niat baiknya untuk sekedar membagi kebahagiaannya dengan sesamanya yang membutuhkan? Ada jaminan darimana bahwa apapun yang mereka berikan adalah sama haramnya dengan apa yang mereka geluti?
 
Apakah kamu akan membenci ibumu yang mantan alcohol addict, lalu melupakan jasa besarnya dalam mengandung, melahirkan, membesarkan dan mengajarimu mengeja A-B-C ?!
 
Nah!
 
Bisakah mulai sekarang kita memfokuskan pada pembenahan diri masing-masing terlebih dahulu sebelum mengoreksi dan menginterupsi orang  lain? Setidaknya jangan membuat diri sendiri kecewa dan malu dikemudian hari karena idealis sendiri.
 
Percayalah bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki banyak kesempatan dan pilihannya masing-masing untuk menjalani hidup mereka?
 
Bukan berarti kita tidak berhak untuk berempati, bersimpati dan mengingatkan. Tapi cobalah untuk menjadi manusia yang paling manusiawi, setidaknya untuk dirimu sendiri.

   

3.01.2011

BAHASA HATI


Yang perempuan sibuk di hadapan layar menyala, menyeruput kopi sesekali, meneguk, mencecap bekas yang masih melekat di lidah. Matanya nyalang menatap benda datar menyala. Jemarinya liar bergerak kesana-kemari, sedang merangkai aksara yang tercecer dalam khayalnya. Wajahnya kaku, beku kehilangan suhu yang semestinya tertinggal setelah pergumulan setengah jam sebelumnya. Cepat sekali dia mendingin.

Yang lelaki sedang sibuk dengan seperangkat multimedia lain. Monitor dengan jumawa bertahta di hadapannya, kini malam menjadi miliknya bersama benda mati itu. Sebatang rokok menyembul di sela telinganya, sebatang lagi sedang berasap terselip di sudut kanan bibirnya, kurang lebih begitu caranya mencari bahasa. Menerjemahkan rasa pada bait-bait kata. Wajahnya dingin, seakan hangat tak mau berlama-lama mendekam dalam dirinya, lupa bahwa setengah jam lalu dia adalah pria paling hangat di muka bumi ini.

                                                                               ***

“Aku membunuh kata-kata.”
“Aku juga mengaborsi bait-bait patahati dari rahimku.”
“Kita berubah menjadi pembunuh atas kehidupan kita masing-masing.”
“Bukan. Kita hanya lupa bagaimana cara meniupkan napas pada mereka hingga mereka ingat cara menjadi hidup dalam diri kita.”
“Ya,…aku rasa”
“Ya,…mungkin saja”
Yang laki-laki merosot dari singgasana malamnya. Yang perempuan melengos dari bilik nyaman kesayanganya, lalu mereka sibuk bersandang, menutupi luka borok masing-masing.
Yang laki-laki turun dari kasur, mengecup singkat kening Si Perempuan, tanpa senyum, hangat benar-benar lupa permisi, pergi begitu saja. Yang perempuan bangkit dari kasur, menyalakan rokok dari meja nakasnya, kembali ke bilik pribadinya. Rupanya hangat juga hanya sekedar singgah sejenak di dirinya. Dua insan ini budak. Budak dari kata-kata yang mendoktrin makna – demi makna yang mereka gumuli dengan penuh hasrat yang tersisa dari sekedar hidup mereka. Bagi mereka, cinta sekedar rasa yang berujung pada sebentuk ilham yang akhirya mereka tuangkan sambil berlama-lama bersenggama dengan multimedia. Mereka bukan tak bisa bercinta. Mereka hanya lupa bagaimana benarnya merasakan cinta. Mereka hanya sekedar membagi, menjadi sarana rasa satu sama lain.
                                                                                ***
Perempuan.

Aku kehilangan rasaku. Dia yang sedang duduk tersita jiwanya disana adalah pasanganku, ntah kami bisa disebut apa, aku membutuhkannya untuk melahirkan kata-kata, aku menginginkannya ada untuk membantuku menemukan rasa untuk memungut ceceran kata yang kucampakkan di sudut hatiku sana. Dia yang sedang tersandera bahasa itu, adalah pasanganku. Kami berbagi cara menemukan jiwa bagi kata-kata kami. Entah kami bisa disebut apa. Aku hanya membutuhkannya untuk ini itu demi lakihkan tulisanku. Tapi demi Tuhan, aku benar-benar tak ingin kehilangan dirinya, dengan satu alasan yang entah apa. Belum kupelajari tingkat abstraksinya hingga mampu ku deskripsikan persis dengan bendahara bahasaku, melalui metamorf-ku.

“Katakan kamu mencintaiku.” Suatu malam aku memintanya, ditengah-tengah ritual berbagi kami.

“Aku mencintaimu… sangat mencintaimu.” Demi Tuhan ada sesuatu yang bergemuruh di dadaku, semacam bentuk rasa yang selalu ku terjemahkan dalam bahasa tulisku. Ironisnya aku meragukan rasa itu ketika aku diambang pintumu.

“Apakah kau membutuhkanku?” Masih dengan penyangkalan rasa yang sama, aku mengingkari isyarat hatiku.

“Apakah aku bisa memintamu untuk itu?”

“Tak perlu. Aku memberinya cuma-cuma padamu. Seutuhnya.”

“Aku menerimamu, seutuhmu..”

Kamu tak pernah tau. Aku sedang gamang dengan tatapmu, dengan katamu, dengan sentuhanmu. Kamu tak pernah tau, aku kehilangan sesuatu bila kamu pergi ke sudut sana dan mencampakkanku.
                                                                               ***

Lelaki.


“Katakan kamu mencintaiku..” suatu malam disaat perjamuan kita berlangsung, kamu mengatakannya. Demi Tuhan ada yang berdesir lirih di dadaku. Tanpa kau minta aku akan mengatakannya padamu, sebentuk rasaku, yang walaupun kadang tak kumengerti tapi pasti kuyakini.

“Aku mencintaimu..” aku mengucapkannya dengan caraku, yang mungkin tak mampu membuatmu yakin dengan tatapku. “sangat mencintaimu..” aku meyakinkanmu kali ini. Kumohon, percayalah. Aku hanya tak bisa dengan baik menyampaikannya. Kumohon jangan tatap aku dengan tatapan nanar seperti itu, benar adanya aku memang sangat mencintaimu.

“Apakah kau membutuhkanku?” hampir roboh aku kau hantam tanya itu. Miris hatiku mendengar itu. KKau tak mempercayaiku yang menyampaikan rasaku padamu dengan satu-satunya caraku. Kumohon percayalah, aku hanya tak pandai menyampaikannya dengan kata, aku hanya bisa bermain bahasa.

“Apakah aku bisa memintamu untuk itu?” Demi Tuhan kali ini aku benar-benar memintamu. Percayalah padaku, pada apa yang kuberikan padamu, pada apa yang kuminta darimu.

“Tak perlu. Aku memberinya cuma-cuma padamu. Seutuhnya.” Kamu tetap menatapku dengan cara yang sama. Mata nanarmu melukai hatiku yang sedang memohon padamu.

“Aku menerimamu, seutuhmu..” Semoga kamu mengerti, aku bermaksud untuk memelukmu sepenuhnya menjagamu. Semoga.

Kamu tak pernah tau, aku sangat menginginkanmu percaya bahwa aku sangat menginginkanmu seutuhnya. Aku hanya tak mampu memberitahukannya dengan cara termudah untuk kau pahami. Aku selalu pergi ke sudut sana, terduduk kaku di depan monitor, bukan bersibuk diri dengan bahasa, bukan apa-apa, aku hanya sedang membunuh takut dalam diriku untuk memintamu mencintaiku. Aku hanya tak mampu mencari cara terbaik untuk memberitahumu.
                                                                               ***

“Aku ingin bicara”

“Bisakah kau bicara setelah aku bicara padamu sebelumnya?”

“Soal apa?”

“Soal hati..”

“Kenapa?”

“Entahlah, aku hanya sedang tak menemukan kata yang tepat untuk kujadikan penghantar rasa suciku padamu”

“Tak usah. Karena aku juga tak mampu menemukan kata yang pasti untuk memberitahumu seberapa entah apa ukuran yang pasti untuk menunjukkan rasaku padamu”

“Apakah ini soal cinta ataukah ini soal kasih aku tak pandai berkata-kata dalam bahasa”

“Ya, apakah ini tentang rasa apakah ini perkara asmara aku juga tak tau pasti.. aku tak pintar berolah kata dengan bahasa”

“Ada debar yang tak mau kuredam untuk diam saat aku bersamamu, dan ada getar yang menggelegar tak mau berdamai denganku saat aku jauh darimu…apa kau tau?”

“Mungkin semacam desir lirih yang tak pernah mati bisikkan namamu di hatiku, yang semakin nanti semakin membuatku menggelepar jika aku tak bertemu kamu…”

“Apakah aku mencintaimu?”

“Aku tak tau. Tapi kau cukup tau aku mencintaimu, lepas dari sebentuk rasa yang saat ini kau yakini hanya untukku atau apalah itu. Cukup aku mencintaimu. Dan semua akan baik-baik saja.”





saat aku dan kamu
bersatu menjadi kita
itulah "cinta"
(16.00)
dalam kubikelku 

2.17.2011

Monolog Hati (Kisah darimu Malam itu)


Aku tamumu malam ini. Tamu tak seberapa istmewa yang akan menggeser posisinya menjadi segalanya dan satu-satunya malam ini juga. Aku akan mengubah atmosfir sekitarmu, mencuri peluang dari waktu yang ada untuk tetap bersama-samamu menjadikannya sebagai satu-satunya pilihan yang akan kau ambil, memberikan tendensi terkuat untuk membelokkan akal sehatmu pada beberapa saat setelahnya. Aku akan mencari dimana titik lemahmu dan menjadikannya satu-satunya fokus dari daya tarikku untuk melenakanmu dalam ladang cinta yang akan kita siangi bersama-sama tengah malam-malam ini. Aku tertarik padamu, kau juga akan tertarik padaku setelah ini, aku akan membuatnya begitu. Dan kita akan bermain peran bersama, aku dengan lakonku, kau dengan pilihan lakonmu.

Aku tertarik padamu. Kamu memiliki sesuatu yang kunilai patut untuk kuselami lebih dalam lagi, dan aku melihat kamu memiliki potensi untuk layak menjadi pasanganku, untuk sekedar berbagi rasa, cerita dan entahlah, malam ini. Dan malam ini kita disini, duduk bersama di bangku panjang teras samping rumahmu. Dengan langit malam sepi bintang dan sebuah purnama pucat disana, sebuah pemandangan yang nampaknya sengaja kau suguhkan untukku sebagai awalan pembangun atmosfir kedekatan kita yang akan kita awali malam ini. Menarik. Aku menikmati upayamu. Karena itu aku akan menengadah dan mengembangkan senyum terhangatku malam ini, untukmu, yang kubiaskan dengan sesekali menengadah dan mengayunkan kaki sesekali. 

Apakah sekarang aku cukup memancarkan hangat di malammu kali ini? Lalu kemari dan mendekatlah padaku, kita masih terpatut di ujung-ujung bangku yang kita duduki. Ataukah aku harus berpura-pura kedinginan sambil menggosok-gosok sepanjang lengan atau sekedar meniup-niup pelan sepasang telapak tanganku?
***

Malam ini aku mengundangmu sebagai tamuku. Mungkin kencan malam ini tak begitu menarik awalnya, tapi aku akan memastikan mendapatkanmu malam ini. Aku akan membuatmu jatuh pada menit kesekian di perjamuan kita malam ini, lalu mendapatkan segala perhatianmu setelahnya, setidaknya untuk malam ini, dan diawal pagi esoknya, sebelum kamu pulang atau aku pergi meninggalkanmu. Aku tau, kamu dapat memerankan peranmu dengan baik, dan untuk itu aku akan memerankan peranku dengan baik pula untukmu. Setidaknya malam ini kita akan melepas topeng pura-pura kita dan bertelanjang polos tanpa naïf dan munafik.
Malam ini kita disini, duduk berpencar diujung-ujung bangku panjang di teras samping rumahku. Aku menyuguhkan sebuah display malam yang mengirimkan sebuah pesan untuk kau tangkap dengan naluriahmu, naluriah seorang perempuan sepertimu. Aku akan menciptakan kesan dingin dan kosong, untuk kemudian kita isi dengan kehangatan bersama tengah malam-malam ini. Setidaknya sampai segalanya menjadi jelas, akan kita mulai dengan cara yang bagaimana untuk menggeser peran kita satu sama lain malam ini. Menarik. Dan memang aku tertarik padamu. Lalu aku akan membuatmu semakin penasaran dengan awalanku yang setengah-setengah ini. Aku akan membuatmu menebak-nebak, dan aku akan menikmatinya.
Apakah aku kurang misterius untuk kau selami perlahan malam ini? Apakah aku masih perlu memancing rasa penasaranmu jauh lebih menggila lagi? Ayolah kita mulai saja perjamuan kita, karena semakin aku bermain, kamu juga semakin menggoda, aku semakin takluk dan kamu semakin membuat takjub.

“Mana yang menarik? Bulan pucat pasi atau beberapa bintang yang tersebar disana?”
“Aku menggilai bulan nampaknya, tampak tegar dimataku… tak peduli tanpa teman, tak berkelompok seperti bintang”
“Lalu sampai kapan kamu mau mencumbui mereka? Membiarkan tubuhmu digelayuti dingin. Kemarilah.”

*** 

Aku menurunkan kepalaku, menatap ke arahmu, tepat di sampingku. Lalu aku melihatmu yang sedang tersenyum hangat, dengan lengan kiri terbuka, menawarkan kehangatan yang semakin menjanjikan tenang untukku malam ini. Aku tau, kau sedang berusaha membangun atmosfir baru, setelah kehadiranku malam ini, dan aku menghargai upayamu sekali lagi. Karena itu aku datang dan masuk ke dalam hangat pelukanmu malam ini. Lalu aku akan menawarkan sebuah balasan atas hangat yang kau tularkan untukku.
“Kamu benar. Disini dingin.”
“Masuklah kalau begitu. Ada bilik yang nyaman di dalam sana.”

Kamu berdiri, mengulurkan tanganmu, menggamit jemariku, membimbingku memasuki bilik yang kamu janjikan. Kamu memerankan peranmu dengan sangat baik, rapih dan terselubung. Debaran dalam dadaku semakin membumbung, ada semacam rasa yang berontak untuk segera disudahi hasratnya, ada semacam getar yang mengelegar untuk diredam saat itu juga. Aku kacau, aku berantakan, tapi aku menuju ke arahmu.

***

Kamu datang, beringsut masuk ke dalam pelukanku. Aku akan membuatmu menemukan nyaman yang tak kau temukan saat terdiam di sudut bangku sana.
“Kamu benar. Disini dingin.”
“Masuklah kalau begitu. Ada bilik yang nyaman di dalam sana.”
Aku berdiri mendahuluimu, menggamit jemarimu yang memang benar mendingin, membimbingmu masuk ke bilik yang telah aku janjikan, yang kuharap mampu membawa nyaman untuk mu, juga untuk ku setelahnya. Ada rasa yang entah apa di sini, di dekat dadaku, meletup-letup mengangguku, tapi aku sadar bahwa aku semakin menikmatinya. Ada semacam getar yang semakin menggelepar saat ku cekik dengan akal sehatku, yang semakin nanti akan semakin menjadi. Aku memilikimu malam ini. Aku patut atas dirimu saat ini.

*** 

“Bilikmu nyaman. Terimakasih,…sendirikah aku disini? Tak kah kamu mau menemani?”
“Aku disini…”
“Bisakah kita mulai hal yang bisa kita bagi hanya berdua saja malam ini?”
“…dan aku berharap lebih.”
“Maka aku akan menawarkan segala yang tanpa batas padamu malam ini..”

***

17 Dec 2010

Kamu pergi pagi-pagi, saat aku belum berbenah, saat aku belum lancarkan inderawiku tuk sadari keberadaanmu sebelum kau pergi. Secarik kertas kau tinggal di lemari es ku,
“Terimakasih atas perjamuan malammu”
Kamu tak pernah tau, aku mulai menggilaimu sejak malam tadi, sejak kau menikmati pucat purnama dan kedinginan. Sejak kita menuangkan rasa dalam satu kantong plastik. Kamu tak akan tau, aku sangat menginginkanmu karena aku sudah tertarik padamu sebelum aku mengawali perjamuan kita malam ini. Dan kamu pergi pagi-pagi tadi, hanya dengan sepenggal pesan yang tak kumengerti apa yang tersirat disana.
Pagi ini adalah akhir kisah kita bukan?
Istriku akan pulang siang nanti, aku akan berbenah, menjemputnya. Istriku.
***

Aku terbangun dengan segala dosa di pagi-pagi buta, disebelahmu. Aku sempat terlena dengan sensasi nyaman yang kau tawarkan, aku menikmati wajahmu semauku kali ini. Aku terjatuh di cintamu sejak malam tadi, sejak kau tawarkan hangat peluk nyamanmu untukku yang berpura-pura kedinginan malam tadi. Kamu tak pernah tau, aku benar-benar terjerembab dan susah berdiri di palung hatimu.
Aku ingat. Aku harus bergegas dan berbenah. Pagi ini suamiku pulang, aku akan di rumah dan memasak untuknya.
Kutinggalkan sebuah pesan untukmu,..
“Terimakasih atas perjamuan malammu”
… Apakah kamu tau? Aku mengisyaratkan sebuah rasa padamu, rasa yang mulai saat ini akan menghajarku dengan bertubi kangen.

***
“Perselingkuhan kita tak sehat”

*** 

“Perselingkuhan ini tak sehat”

160211
(berlanjut dalam kubikelku)

1.22.2011

Satu dari Akademi Kehidupan

"Melepas."

"Pelepasan."

dan "Terlepas."

Tiga hal yang sedang saya pelajari.


Seringnya orang memaknai "melepas" sebagai suatu upaya pergi dari sesuatu, ntah nyaman, ntah aman atau  beberapa antecedent mengerikan apapun itu. Tapi banyak dari kita lupa (termasuk saya yang melupa) bahwa inti makna dari "melepas" adalah lebih kepada bagaimana kita mulai merelakan apapun hal yang sedang menghambat proses BELAJAR kita yg sebagai PEMBELAJAR ini. Kenapa saya pakai istilah "belajar" dan "pembelajar" disini adalah berangkat dari perenungan dari suatu bacaan yang ditulis oleh salah satu penulis favorit saya (Mitch Albom) dalam bukunya "Tuesday Morning with Morrie". Dimana didalamnya menjelaskan bahwa hidup yang sekali ini adalah hal berharga yang harus kita renungi tiap momment-nya. Lalu muncullah analogi dalam kotak pikir saya, bahwa..

"Kita hidup di ruang besar tanpa batas yang dinamakan DUNIA,..Tugas kita adalah sebagai PEMBELAJAR. Materi kita adalah KEHIDUPAN. Karena saat menitipkan nyawa, Tuhan telah mendaftarkan kita dalam AKADEMI KEHIDUPAN. Hasil akhirnya adalah OPTIMUM LIFE ENDING"

Sebuah analogi penuh kepercayadirian saya kira, cukup optimis, cukup idealis namun cukup dijadikan sebagai motivasi dan arah.

Yups, bact to the topic..."Melepas"

Sudahkah kita melepas sepenuhnya segala mental block yang menghalangi kita (yg notabene adalah seorang pembelajar ini) untuk melangkah menuju frase hidup yang lebih baik? Kebanyakan memang sudah, beberapa setengah melepas bagian-bagian tertentu, beberapa lagi sisanya hanyalah pura-pura "akan" melepas. 

Saya sedang belajar melepas sesuatu yang mengikat saya kuat-kuat selama 5 atau 6 tahun ini, sangat susah, tapi saya yakin bisa, karena saya mau. Tantangan terbesarnya adalah saat saya harus mencoba keluar dari mental block saya, yang secara tak langsung berarti saya harus meninggalkan zona aman saya untuk melangkah keluar, melihat keadaan, dan mencoba berjalan. Padahal mental block ini sebelumnya adalah benteng saya, yang melindungi saya dari rasa tak aman, rasa tak nyaman dan ancaman lain. Tapi saya harus pergi keluar dan berpindah zona dan iklim untuk meneruskan misi BELAJAR saya dalam AKADEMI KEHIDUPAN. Inilah arti melepas.

"Pelepasan"

Saya memaknai pelepasan ini sebagai tahap dimana saya mulai merasa aman dengan iklim baru tanpa merasa rindu dengan zona aman sebelumnya. Dimana saya mulai mampu kembali membuka-buka lembaran kenangan tentang hal (apapun itu) yg membuat saya terhalang utk terus BELAJAR. Lalu saya mulai perlahan merelakan ketidaknyamanan sedikit-demi sedikit untuk tereduksi dari skema berpikir saya. Mulai belajar mengenang kembali, memaknai dengan cara yang berbeda, berpikir kembali dan berandai jika terjadi lagi.


"Terlepas"

Saya memaknai terlepas sebagai tahap dimana saya terlahir sebagai pribadi baru dengan banyak bekal yang telah saya peroleh dari masa sebelumnya. Dimana saya tak hanya mampu mengingat dan mengenang kembali kenangan (yang sebelumnya merupakan ancaman bagi saya) namun juga mampu tersenyum dan membagi kenangan tersebut dengan banyak orang.


Beginilah...

1.15.2011

S.E.L.I.N.G.K.U.H

Saat makan pagi ini kamu juga bersamaku. Selalu sehangat ini, selalu semanis ini kesan yang kamu berikan padaku di setiap awal kubuka mata. Lalu kamu akan mengecup keningku, tersenyum dan meletakkan sarapan pagi di mejaku. Kamu akan tetap di situ, duduk manis menatapku, tersenyum dan tak sekalipun menyentuh makananmu, bagimu aku adalah pemandangan terindah yang tak adil jika kau lewatkan, kau ucapkan itu setiap kali aku menyatakan ketidak sediaanku saat kau memandangiku dengan senyum semakin mengembang setiap pagi. Kau adalah seorang istri yang sangat mencintaiku. Dan aku adalah suamimu, yang sah memanimu setelah kuucapkan ijab Kabul Minggu pagi 7 bulan yang lalu. Tak hanya kau mencintaiku, aku juga mencintaimu. Hanya satu yang kurang, aku tak bisa memenuhi keinginanmu untuk memiliki seorang bidadari kecil pelengkap kebahagiaan kita. 

“Nanti” aku selalu berkata begitu saat malam-malam kau menangis dalam tidurmu, terjaga dari mimpi manismu bersama malaikat kecilmu. Dan kau akan memintaku untuk memelukmu erat-erat setelah itu, sampai kau lelap dalam tidurmu.
 
Kita bertemu dua tahun lalu. Kau masih seorang perempuan manja dulu, yang tak bisa lepas dari godaan mall dan kenyamanan starbuck di setiap harimu. Perempuan yang tak akan tahan berpanas-panas di halte bus atau metromini. Perempuan yang akan pingsan dan stress jika dibebani banyak tanggung jawab. Perempuan yang akan merengek-rengek sepanjang hari pada kekasihnya saat menginginkan sesuatu. Lalu aku datang padamu dengan segala kesederhanaanku.
 
“Kamu duniaku” katamu setelah sekian lama mengenalku, dan setelah sekian lama aku membuatmu nyaman dengan atmosfirku. Memodifikasimu dengan sesuatu yang orang sebut kekuatan cinta, segala sesuatu yang bagiku itu hanyalah sekedar kebetulan dan keberuntungan. Lalu kita saling dekat, dan semakin tak tersekat. Malam dimana aku membuatmu menangis setelah kita bersama-sama memadu kasih, malam dimana kamu menyumpahku untuk segera menikahimu. Semuanya terjadi tepat pada waktunya, seakan aku tak mengupayakan satu halpun untuk terjadi dan terukir begitu manis bersamamu. Aku mendapatkanmu begitu saja.
 
“Nikahilah dia,…dia perempuan yang baik untukmu, dan kami tak perlu lagi meragukan kebahagiaanmu setelah ini, Ndi… Menikahlah, ibu dan ayahmu ini pasti akan senang menerima keluarga barumu.”  Berjalan sangat lancar. Aku mencurigai sekongkol alam semesta akan cerita kita. Lalu aku dan kamu menikah. Aku dengan keluargaku yang serba pas-pasan dan kamu dengan keluarga high-class mu.
 
Kamu bahagia bersamaku, bagimu menikah dan hidup bersamaku adalah pilihan paling tepat dalam hidupmu. Dan aku semakin meringis menahan perih yang mengiris dadaku. Aku menipumu dengan cintaku. Aku menipumu dengan kesetiaan semu yang kuciptakan seakan hanya untukmu. Aku tak berdaya dikontrol bisikan egoku untuk memenuhi insting-demi insting yang melintas dalam inginku. Aku menyelingkuhi setiamu.
 
Ya, aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa meninggalkanmu. Bahkan aku tak bisa merasakan hidup tanpamu, aku kehilangan nafasku sebagai sarat untuk menyecap warna rasa dunia bila mungkin aku tak lagi bersamamu, tapi aku juga tak bisa merasa utuh tanpa membagi hati dengan sosok-sosok sebelummu. Aku menjanjikan kamu yang terakhir untukku, seperti yang terucap saat aku memasangkan cincin kawin kita, tapi aku tak menjanjikanmu satu-satunya. Maaf. Aku tau aku tak akan pernah sanggup mengakui seberapa besar penyesalan akan ketakberdayaanku atas kendali diriku dan seberapa besar aku mencintaimu. Kau adalah tempat untukku pulang. Cukup itu yang bisa kukatakan mewakili segala rasa dan emosi yang terpaut padamu.
Aku selalu mampu membuat beberapa perempuan sepertimu tertarik padaku. Termasuk mereka, Donna, Risa, Ratih dan Lena. Dan yang paling berat kukatakan padamu adalah bahwa kamu bukan satu-satunya perempuan yang pernah berbagi ranjang denganku, yang kusimpan rapat tak kubeberkan pada siapapun. Mereka adalah yang pertama. Dan bagi mereka ini adalah kebahagiaan, kebahagiaan yang menurut mereka adalah suatu cara untuk membagi kasih sayang dengan seseorang yang mereka kasihi. Membagi segalanya, itu yang aku dan mereka lakukan.
 
Jangan bilang tak adil!!
 
Karena ketidak-adilan hanya bersarang padaku, seorang laki-laki 29 tahun yang memiliki segalanya dan sebuah penyakit meningitis. Hidupku bukan sinetron!!! Aku merasa dipermainkan nasib dan cerita hidup yang tak bisa kutulis sendiri dengan penaku! Orang tuaku yang hanya berlatar belakang pendidikan tak sampai SMA tak pernah tau penyakit apa yang menyerang anaknya. Keterbatasan kami membuat hidupku kacau, membuat segala rencanaku carut-marut dihajar permainan nasib. Mereka hanya tau penyakit demam dan pusing-pusing. Sampai aku tumbuh menjadi suatu kebanggan untuk mereka, sampai aku mengetahui penyakitku selama ini. Pahit!
 
Lalu muncul Donna, seorang gadis teman sekelas semasa kuliah. Seorang gadis yang hidup dalam serba kelebihan, pintar, cantik, kaya. Seorang gadis yang kurasa belum pernah mengecap getirnya hidup. Kemudian seorang Risa, teman sekantor yang selalu dekat denganku. Perhatian dan kelembutannya membuat aku terlena sesaat dan memutuskan untuk menciumnya petang itu di pantry, lalu kami melanjutkan perselingkuhan kami. Ratih adalah seorang mantan teman SMA yang dulu pernah menjalin kisah bersamaku, datang kembali untuk mencicipi getar-getar yang masih berdenyut dalam masing-masing dada kami. Dan Lena, sahabat setia istriku. Istriku adalah yang terakhir untukku, tempat aku pulang.
Kamu tak pernah tau, aku tidur dengan yang mana saat aku tak pulang ke rumah dan berada di sisimu. Kamu tak pernah ragu. Ini yang menyiksaku.
 
Dan semalam adalah malam kesekian kamu menangis dalam pelukku, memintaku memberikan seorang malaikat kecil yang harus kutanam benihnya dalam rahimmu. Juga malam kesekian diriku berdusta padamu, berdalih tak bisa melakukannya karena aku akan sibuk untuk 2 tahun kedepan. Dan benar dirimu memang perempuan baik dari segala perempuan, kamu mengiyakan, mencium keningku, memelukku dan mengatupkan kelopak matamu. Aku tau kamu kesepian saat aku tak ada. Dan setela ini, mungkin kamu akan lebih kesepian lagi.
 
 Pagi ini Ratih menungguku di apartemennya. Dan aku harus membersihkan bayangmu dari hatiku untuk beberapa jam ke depan, karena saat itu aku utuh milik seorang Ratih. Hanya sejenak, biarlah Ratih memilikiku untuk sejenak, kau tetap perempuan yang paling memonopoliku, karena kau istriku. Akan selalu seperti ini, hari bergilir untuk menemui satu-satu perempuan yang aku cintai, perempuan-perempuan yang selalu hangat menyambutku saat aku benar-benar membutuhkan pelampiasan segala inginku, segala hasratku.
Ini akan baik-baik saja, semua akan selalu baik-baik saja, karena setidaknya aku adalah pena untuk kisah hidup 5 perempuan ini, yang selalu senang membagi cinta bersamaku. Akan baik-baik saja mungkin untuk mereka, karena mereka tak pernah tau siapa aku, aku menciptakan dunia-dunia yang berbeda untuk kelimanya, dan aku ada di masing-masing itu.
                        ---

4th June 2009
Gita
“Mas,… sudah sebulan kamu pergi. Bahkan kamu tak memberiku seorang malaikat untuk menemaniku saat kamu pergi untuk selamanya. Aku kesepian… ”
                        ---
Ratih
“kami dimana, Ndi… kenapa pergi tak memberiku kabar selain secarik kertas untuk mengingatkanku akan pentingnya meneruskan hidupku… ini tak adil untukku, Ndi… aku kesepian.”
                        ---
Donna
“Sayang,… ranjang ini dingin tanpamu. Tidakkah ada yang jauh lebih bijak dari sepenggal pesan untuk meneruskan hidupku?”
                        ---
Risa
“Apapun itu,… Aku akan tetap mencintaimu, Ndi. Kembalilah suatu saat nanti. Kamu memilikiku. Kenapa kamu harus pergi dengan pesan yang serba tak kumengerti maknanya…”
                        ---
Lena
“Aku turut merasakan apa yang dirasa Gita, mas… Bukan hanya istrimu yang merindukan hangatmu,… Aku juga akan selalu merindukannya. Tenang mas, perselingkuhan ini akan hanya menjadi rahasia kita.”
                        ---


4th May 2009
“Seorang lelaki berinisial AN (27th) ditemukan tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di jalan protokol”
                        ---
Aku meninggalkan sepenggal cerita yang belum selesai kutulis untuk lembaran kalian masing-masing. Maafkan aku…

1.14.2011

CROSSROADS (Ketika Cinta Harus Salah Arah)


Aku memang mencintaimu. Ya aku mencintaimu, dan akan tetap bersamamu, karena aku terlebih dahulu mengenalmu, dan karena aku harus melakukan ini untuk menyelamatkan hubunganmu dengan kakakmu, yang juga kekasihku. Kamu boleh membenciku setelah ini, saat mungkin suatu saat nanti perselingkuhanku akan tercium oleh firasat hatimu, tapi aku akan tetap menjagamu, menjagamu dari sakit hati akan pengkhianatan yang terpaksa aku lakukan dengan menjalin hubungan gelap dengan kakakmu. Aku berjanji.

Andai saja aku adalah seseorang yang bisa menjaga satu-satunya hatiku hanya untukmu, andai saja kakakmu bukanlah seseorang yang pernah diam-diam aku inginkan untuk menjadi tempatku berbagi segala rasa dan hasratku. Tiba-tiba kisah cinta ini menjadi tak pernah adil hanya untukmu. Ini semua bermula ketika kamu pergi, ketika kita harus terpisah jarak ratusan kilometer karena urusan masa depanmu. Kamu tak ada di sisiku, aku kesepian. Kesalahanmu adalah menitipkanku pada kakakmu. Kesalahanku adalah tak bisa menjaga hatiku hanya untukmu. Kesalahannya adalah tak bisa menahan hasratnya yang ternyata juga untukku. Semua menjadi alasan yang begitu tepat untukku dan kakakmu memulai sebuah ikatan yang tak pernah kamu tau.
 
Semua berawal pada sore itu, saat aku dan kakakmu terjebak dalam sebuah situasi yang sangat mendukung masing-masing dari kami untuk mengingat masa-masa perkenalan kami dulu, sebelum aku mengenalmu dan memutuskan untuk mengalihkan segenap cintaku untukmu, cinta yang sebelumnya hanya kupupuk untuk kuberikan hanya pada kakakmu. Cinta yang dengan segenap hati aku bekap hingga mati agar tak meninggalkan asa menyakitkan akan arti kakakmu di hatiku. Namun gagal. Masih tersisa denyut pada cinta yang sekuat hati kucampakkan.
 
“Dulu aku mencintaimu…” entah kenapa kalimat penuh dosa itu melompat begitu saja dari mulutku. Membuat waktu seakan terhenti hanya diantara aku dan kakakmu. Aku menyesal. Namun aku merasa harus membuang kalimat itu cepat-cepat dari kepaku, mengeluarkannya lewat mulutku. Cara yang mungkin tak tepat sama sekali untuk membuang perasaan.
 
“Kenapa?”
 
“Karena aku harus mengatakannya sekarang. Agar bisa kubunuh segalanya sore ini juga, dan meneruskan hidupku tanpa kenangan darimu. Hanya itu. Maaf..”
 
“Kenapa baru kamu bilang sekarang? Kenapa bukan sebelum aku mengenalkanmu pada adikku dan sebelum kamu memutuskan untuk menerima cintanya?!”
 
“Maksutmu?”
 
“Aku tak punya keberanian untuk menyatakannya duluan padamu. Aku juga menginginkanmu, bahkan sekarang ini menjadi semakin menyiksaku. Aku masih sangat menginginkanmu.”
 
 Hening. Kakakmu menyisakan sebuah hasrat yang tak tepat yang mulai tumbuh dalam diriku. Kemudian hanya tersisa diam disepanjang perjalanan pulang kami. Aku sibuk dengan pikiranku yang mencoba menerka rasa entah apa yang barusan ditanam kakakmu padaku, dan kakakmu sibuk dengan entah apa yang memenuhi pikirannya. Kami sama-sama didera galau yang sama malam itu, saat perjalanan pulang kami dari kafe tempat biasa aku menghabiskan waktu denganmu. Aku sekuat tenaga menahan keinginan aneh dalam diriku yang tiba-tiba muncul begitu saja, keinginan untuk memeluk kakakmu dan mengatakan sekali lagi bahwa aku mencintainya. Aku tak berdaya dihajar hasrat yang telah bertahun-tahun kukubur dalam serambi hatiku, bilik paling tak terjamah selama aku bersamamu, tapi sore ini semuanya terbongkar begitu saja, aku yang memulainya.
 
“Cintai aku sekali lagi.” Kakakmu mengucapkannya tepat sebelum aku turun dari mobil yang berhenti tepat di depan rumahku. Saat itu juga segala hasrat yang sengaja kuikat kuat dengan akal sehat sejak tadi tiba-tiba menghambur lepas, memerintahku untuk menyampaikannya dengan segala cara yang sebelumnya tak pernah kupikirkan. Aku masih mencintai kakakmu, ini kenyataan baru yang kutemukan saat bibir kami saling menyentuh. Aku membuat rasa itu semakin kuat, aku melupakanmu malam itu. Ya, aku yang salah.
 
Kamu akan tetap menjadi kekasihku, aku janji. Dan kamu akan tetap menjadi satu-satunya orang yang akan diakui sebagai seseorang yang memilikiku. Namun aku mohon, biarkan aku dan kakakmu saling melepaskan desakan ribuan keinginan kami yang belum tersampai dari beberapa tahun lalu. Saat itu aku berpikir paling tidak biarkan dia menggantikan posisimu selama kamu tak bersamaku, selama aku kesepian tanpa kamu. Aku terpaksa mengkhianatimu karena kelemahanku yang tak bisa membendung segalanya untuk kesekian kali tanpa keberadaanmu sebagai pembatas antara aku dan kakakmu. Kamu akan tetap menjadi orang pertama yang mencintaiku dengan tulus dan mempercayaiku, namun kakakmu adalah orang pertama yang rela mencintaiku dan tersakiti diam-diam saat aku sedang bersamamu. Kamu mungkin adalah orang pertama yang membahagiakanku dengan segala kesetiaanmu sebagai kekasihku, tapi kakakmu adala sosok yang selalu menjagaku diam-diam dibelakangmu. Karena itu, aku menjadi tak bisa menemukan dimana hatiku benar-benar memilih. Aku yang salah, maaf.
 
Sampai saat itu tiba. Saat dimana kamu bermaksud memberiku sebuah kejutan penuh kebahagiaan yang mungkin telah kau pikirkan untuk membuatku senang. Saat kamu memutuskan untuk tiba-tiba pulang tanpa memberiku sebuah kabar. Saat kamu tiba-tiba masuk ke dalam rumah kontrakanku diam-diam dan melihat sebuah display paling menyakitkan dalam hidupmu, melihatku berada dalam ranjang yang sama dengan seseorang yang juga kamu sayangi, kakakmu. Aku tau, begitu mengerikan bagimu membayangkan apalagi mengetahui diriku melakukan kegiatan yang sama dengan laki-laki lain, kegiatan yang sama seperti yang hanya kita lakukan berdua. Sangat mengerikan bagimu mengetahui bahwa kakakmu adalah seseorang yang berkonspirasi dengan kekasihmu untuk menyakitimu dengan sebuah pengkhianatan yang kotor. Aku tau kamu sangat terluka dan kecewa, yang mungkin tak pernah aku tau persis seperti apa sakit yang kamu rasakan. Tapi kamu juga perlu tau, aku dan kakakmu juga sama-sama terluka saat harus menyembunyikan perasaan kami masing-masing.

Sayang,…maafkan aku. Juga maafkan kakakmu. Maafkan kami untuk sebuah ketidak jujuran yang kami simpan dalam hati kami masing-masing. Terimakasih telah mencintaiku lebih dari apapun selama ini, terimakasih untuk segala kepercayaan yang kamu berikan untukku dan kakakmu selama ini. Aku bersedih atas keputusanmu untuk mengakhiri ini semua. Aku tak akan menyianyiakan pengorbananmu untuk memberiku kesempatan sekali lagi untuk meneruskan cintaku dengan kakakmu. 

“Selamat jalan, Son… Tuhan memberkatimu. Maafkan kami, Son.” Aku menyeka airmataku sebelum beranjak dari sebuah pusara seseorang yang pernah sangat mencintaiku, seseorang yang tersakiti karena pengkhianatanku dengan kakaknya. Selesai sudah kubacakan surat terakhirku untuknya.

1.04.2011

Android

Didepanku duduk orang-orang
berwajah kaku...
Mata tertumpu pada buku
Otak terpatut pada komputer
Akal terpekur dalam multimedia

Mereka yang duduk didepanku
adalah dosen-dosen,hasil didikan dosen,
ilmuwan,praktisi, skaligus
robot-robot atas kehidupan
mereka masing-masing.

Menunggu vonis,..

Yang beragam bunyinya,
yang endingnya satu...
"Keputusan"


15.55
040111

1.03.2011

Cerita Antara Saya dan Mas Tono

Mas Tono bilang dia akan ada di dekat saya kapanpun saya membutuhkannya. Mas Tono bilang saya sudah melakukan hal yang benar untuknya, untuk kita, saya dan Mas Tono sendiri. Tapi saya merasa kacau akhir-akhir ini. Mas Tono selalu bilang sangat mencintai saya, menyayangi saya. Yang saya tau sayang itu adalah segala-galanya bahkan punya level lebih tinggi dan lebih sakral daripada cinta. Dan Mas Tono memberikan keduanya kepada saya. Seharusnya tak ada alasan untuk saya merasa galau seperti sekarang, kecuali siklus mens saya yang tiba-tiba telat. Saya sudah berkali-kali berniat membicarakan ini dengan Mas Tono, saya ingin menjadikan dia bukan hanya tempat untuk berbagi hasrat, tapi juga berbagi segalanya termasuk apa yag saya alami sekarang, saya berantakan. Tapi berkali-kali juga saya urungkan niat saya. Saya takut Mas Tono meninggalkan saya. Saya takut Mas Tono akan sama seperti laki-laki kebanyakan, yang hobi menebar benih sebagai penanda wilayah sebelum mereka pergi. Ini ketakutan yang belum sanggup saya bagi dengan Mas Tono, sosok yang selama ini saya percaya untuk mendapatkan segalanya dari saya.

“Mas,…sampeyan dimana?”

“Siti??”

“iya mas ini saya, siti…sampean dimana?”

“Aku kerja,Ti…”

“Dimana mas? Di kantor toh?... lha kok sepi toh mas kantornya?” saya curiga. Cara bicara Mas Tono tidak terdengar seperti biasanya. Sebenarnya nggak semencurigakan itu. Tapi batin saya mengatakan Mas Tono sedang berbohong. Kata ibu saya, batin seorang perempuan itu kuat. Maka saya mempercayai kata batin saya, karena alasan bahwa ibu merupakan sosok paling benar bagi saya.

“Wes toh, Ti… saya ini kerja banting tulang buat cari modal nikah kita…mbok ya kamu percaya saya toh…Ada apa toh ini?”

“Saya mau ngomong, Mas…Ada yang penting ini.”

“Iyo…iyo. Wes, nanti saya datang ke kost kamu. Sudah ya, saya lanjut dulu kerjaan saya..”
Di tutup. Hati saya semakin kacau. Bukan karena Mas Tono yang nggak mau diajak bicara sekarang, tapi karena tadi sebelum menutup telepon saya samar-samar mendengar ada suara perempuan memanggil Mas Tono. Apa iya Mas Tono sedang kerja? Hati saya semakin galau. Inikah benarnya firasat seorang perempuan? Saya nggak tau apa ini juga berlaku untuk gadis belasan tahun seperti saya.

Saya mengenal Mas Tono di tempat saya bekerja. Ini Surabaya. Kata ibu, ini kota besar, kata ibu juga, kota besar itu sarang orang-orang berhati hitam. Ya, yang saya tau di sana-sini banyak copet, orang-orang disini harus benar-benar ekstra waspada menjaga diri dan harta yang melekat di tubuh mereka. Dan saya ada disini karena jasa teman ibu yang mempekerjakan saya di apotek miliknya. Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, setelah 9 tahun lalu ayah pergi karena panggilan-Nya. Ibu hanya perempuan biasa, dari keluarga biasa, orang jawa, dan hanya berlatar belakangan pendidikan sampai kelas 4 SD. Saya anak ibu satu-satunya, setelah Mas Teja yang setahun lalu juga dipanggil-Nya dalam sebuah kecelakaan. Tanpa saya membebani, hidup yang ibu jalani sudah terlalu berat. Karena itu saya memantapkan hati dan meyakinkan ibu supaya mengijinkan saya berangkat ke Surabaya untuk bekerja, di usia saya yang ke 15 tahun.

Setahun bekerja di Apotek lumayan membantu kehidupan saya, memang melelahkan, tapi ini juga demi hidup saya sendiri dan ibu. Saya bangga bisa kirim uang untuk sekedar bantuan belanja ibu di Solo. Selebihnya dari gaji saya, bisa saya irit untuk biaya kost, makan dan Alhamdulillah kalau bisa nyimpen tabungan di celengan. Saya pingin mengumpulkan modal untuk ibu buka usaha took kecil disana. Biar ibu nggak harus kerja mburuh tani di sawah orang, panas-panasan, kaki kering pecah-pecah terkena air potas. Dan Saya mengenal Mas Tono saat itu. Mas Tono adalah laki-laki paling tegas yang pernah saya kenal. Awalnya saya hanya menghafal namanya saja, Tono. Dari surat resep obat tebusan dari dokter. Tapi karena seringnya Mas Tono datang menebus obat ke Apotek, saya jadi akrab pelan-pelan, sampai suatu ketika, saya bisa ngobrol dengan mas Tono dan berkenalan sebagaimana mestinya. Malam jam 9, Apotik sudah hampir tutup, hujan, dan Mas Tono datang sambil basah-basahan mendatangi saya di menja penyerahan resep, saya bilang apotek mau tutup, Mas Tono memohon, terlihat sangat bingung, dan saya kasihan. Setelah itu kami mulai menjadi akrab, setelah maalam itu juga Mas Tono mengantar Saya pulang ke kost.

Kami berpacaran sudah lebih dari dua bulan ini. Mas Tono memang laki-laki yang bisa membuat saya bahagia karena cinta. Terkadang saya memang ragu, apa iya gejolak yang saya rasakan saat ini adalah cinta yang sebenarnya. Tapi berkali-kali pula Mas Tono bisa membuat saya yakin, saya mencintainya. Dan karena saya mencintainya, saya menyerahkan segalanya untuk Mas Tono. Segala tempat pertama untuk Mas Tono, bahkan untuk keperawanan saya. Saya menginginkan Mas Tono menjadi yang pertama, dan terakhir untuk saya.

Sekarang sudah genap seminggu saya menunggu Mas Tono. Dari terakhir saya telepon sampai sekarang, Mas Tono belum juga mendaatangi saya. Entah kemana Mas Tono. Saya juga ngga tau dimana Mas Tono sekarang. Nomer Hp Mas Tono juga mati. Saya mengkhawatirkan Mas Tono, juga siklus bulanan saya.

“Piye toh mbak ikiii,…” samapai suatu ketika saya memutuskan untuk menceritakan apa yang menjadi kegalauan saya pada Mbak Sri, penjaga rumah kost yang saya tempati selama ini.

“Pakai alat tes kehamilan aja, Ti. Pasti hasilnya. Asal ya gitu, kamu makainya juga kudu bener, Ti.”

“Saya ndak berani, Mbak. Saya tau alatnya, bisa saya ambil dari apotek, tapi saya ndak tau gimana makainya. ”

“Lah, ka nada petunjuknya toh, Ti. Dibelakangnya situ. Kamu baca. Wes yoh, nduk. Kamu coba dulu… Nanti biar kamu tau pastinya.”

Semalaman saya nggak bisa tidur. Saya takut. Takut kalau hasilnya menyatakan kalau saya positif. Berarti saya hamil. Ada calon bayi di dalam tubuh saya. Beberapa kali saya sempat tertidur sebentar dan bangun lagi karena mimpi. Saya memimpikan bayi laki-laki, matanya sama seperti mata saya, hidungnya seperti hidung Mas Tono, tersenyum. Saya menginginkan bayi dalam mimpi saya tadi, tapi saya juga takut. Saya nggak mau mengecewakan ibu, saya nggak tega melihat wajah ibu yang terluka karena saya, dan satu lagi, saya nggak tega kalau harus melunturkan jabang bayi ini dari tubuh saya. Tapi sesungguhnya saya juga belum siap, umur saya masih terlalu muda, 16 tahun.

Akhirnya saya nggak tidur di sisa malam ini. Test Pack, alat tes kehamilan yang dijual di apotek tempat saya bekerja, tergeletak di kasur saya, dan saya memandanginya cukup lama. Tadi sudah saya baca cara pemakaiannya, saya sudah paham. Strip satu berarti negatif, saya nggak hamil. Strip dua berarti neraka bagi saya. Positif, dan saya akan memiliki bayi. Ini menakutkan. Begitu terus sampai saya mendengar adzan subuh. Saya berdiri, beranjak dari kasur saya, menyelempangkan handuk di bahu saya, membawa baju ganti, dan menyelipkan test pack diantara baju ganti saya, menurut petunjuk pemakaian, ini akan bekerja kalalu saya memakainya pada air seni pertama saya di pagi hari.

Saya takut. Beberapa langkah lagi kamar mandi sudah bisa saya masuki.

“…tuuut…tuuuut” Alhamdulillah nyambung. Siang ini saya mencoba menghubungi hp Mas Tono lagi, dengan kekacauan hati yang tidak beda jauh dari sebelumnya.

“Halo?...”

Astaghfirullah.. perempuan mana ini yang bersama Mas Tono sekarang?! Saya takut. Perasaan saya kacau, tangan dan seluruh tubuh saya gemetaran, lalu hp dan tubuh saya jatuh bersamaan. Saya tertidur. Dalm tidur saya, teringat kejadian subuh tadi, saya menunggu 3 menit, berjongkok di depan alat test kehamilan yang saya pakai, menunggu munculnya strip yang sangat menentukan hidup saya kemudian. Sekita pada menit pertama satu strip muncul, merah jelas. Mata saya perih. Saya merunduk lama, lebih dari 5 menit, berdoa berkali-kali menyebut nama Tuhan memohon untuk tidak memberikan apa yang tidak saya inginkan terjadi, menangis, gemetaran. Dan muncul strip merah terang berikutnya diatas strip pertama. POSITIF.

Mbak Sri bilang kadang kala test pack memiliki tingkat akurasi yang rendah, Mbak Sri menyarankan saya untuk test urine di lab. Benar memang menakutkan, tapi saya juga butuh kepastian untuk kemudian meminta pertanggung jawaban pada Mas Tono. Hasil Lab positif, hasil yang sama. Dan satu kenyataan pedih lagi. Saya juga dinyatakan positif terjangkit HIV. Oh gustiiiii…

“Mas, saya perlu bicara sama Mas.” Suatu ketika saya memberanikan diri menelepon Mas Tono lagi.

“Siti?”
“Iya, Mas, ini saya. Saya perlu bicara sama Mas.”

“Ti, maafin saya…”

“Mas Tono, saya minta Mas mau berbaik hati menemui saya sekarang. Saya tunggu di Apotek sepulang kerja nanti Mas. Tolong ya Mas…”

Malamnya Mas Tono datang. Tidak terlihat seperti Mas Tono yang akrab di dalam ingatan saya sebelumnya. Mas Tono terlihat pucat, kurus dan kotor. Entahlah, saya merasa sibuk sendiri dengan perasaan saya yang nggak jelas jluntrungnya waktu itu. Saya berjalan di samping Mas Tono, kami berjalan beriringan, membiarkan kaki-kaki kami melangkah tanpa tau kemana dan tanpa bicara.

“Mas Tono, saya positif…” saya mengucapkannya dengan penuh emosi dan suara bergetar, saya menangis.
“Mas Tono menghentikan langkah kakinya,…” diam. Mas Tono menatap saya, matanya merah terbelalak, menakutkan. Diam, menatp saya. Lama. Saya menunduk.

“Nduk,…maafin saya… saya ndak maksud nularin kamu,nduk. Iya, saya memang egois, ndak seharusnya saya melakukan itu sama kamu. Tapi saya nggak tau, waktu itu saya hanya ingin melakukannya sama kamu…maafin saya…” Bergetar, berat. Ini Mas Tono yang saya kenal, dan sebagian diri Mas Tono yang baru saya kenali malam ini.

“Saya juga positif hamil, Mas…” kali ini tangis saya pecah. Dan Mas Tono ternganga yang nggak bisa saya mengerti persis, apa yang dirasakan Mas Tono saat itu.

“Ini nggak boleh, Ti… Harusnya nggak seperti ini…”

“Saya takut, Mas… ini terlalu berat buat saya.”

Sekarang usia janin dalam kandungan saya sudah 3 bulan. Dan saya ada disini. Di ruangan yang penuh kursi dan sejumlah calon ibu. Saya menunggu.

“Nyonya Siti Ruminasih.”
Saya berdiri dari duduk saya. Diam. Menarik napas dalam dan berat. Mengelus dinding perut tempat dimana calon bayi saya berdenyut disana.

“Ini yang terbaik untuk kamu,… maafkan ibumu. Ibumu ndak member kamu pilihan, nak. Tapi kalau kamu tau, sebenarnya ibu ingin memiliki kamu, …” 

Saya beranjak dari diam saya, melangkah memasuki ruangan dengan bau tajam obat-obatan yang menusuk penciuman saya. Sekarang saya disini, hanya sendiri, tanpa Mas Tono yang seminggu lalu juga pergi karena panggilan-Nya.




(Sebuah nyawa, adalah renungan untuk pilihan hidup)

MARRY ME (KisahKasih)

Alasannya adalah karena kami merasa ini hal yang paling logis untuk sama-sama kami lakukan. Kekasihmu selalu memiliki rumah untuk cintanya pulang. Ia selalu mengingat jalan untuk kembali dan pulang. Karena dia suamiku. Logis untukmu dan suamiku, mengendap-endap menjalin suatu hubungan penuh dengan gejolak dan gairah asmara bersamamu, perempuan 5 tahun lebih muda dariku yang untuk beberapa bulan belakangan mampu menyita suamiku dalam beberapa jam di tiap minggunya. Logis karena kalian merasa perlu untuk saling berbagi dan menyalurkan entah apa yang pada akhirnya membuat kalian terlibat dalam suatu hubungan yang kalian namai sebagai hubungan atas nama cinta. Dan pula menjadi logis bagiku untuk tetap memasang topeng pura-puraku dengan dalih untuk menjaga kehidupan rumah tanggaku dengan suamiku, yang notabene adalah makhluk berjenis kelamin pria yang mampu menutupi status ke-abnormalanku.
Semuanya menjadi agak adil. Impas.
Kekasihmu player dan akupun player. Kamu yang paling kasihan. Jangan Tanya kenapa. Karena sekitar 2 atau 3 bulan lagi kamu akan mendapatinya seranjang dengan perempuan lain dan berlagak tak pernah menjamah -bahkan mengenalmu- dikehidupan sebelumnya.  Kami sama-sama menemukan tempat persembunyian paling aman untuk saling berteduh dan berlindung dari status yg dilabelkan masyarakat negara kita -yang konon terlalu kolot- dalam menamai dan mengklasifikasikan berbagai hal dan fenomena. Yang bisa saja mereka mengkategorikan kekasihmu -atau boleh juga suamiku- sebagai lelaki maniac  karena kegilaannya akan fantasi dan sensasi seksual yang selalu menjadi orientasinya dalam menjalin hubungan dengan perempuan manapun dan perempuan macam apapun. Atau mungkin juga mereka dapat mengklasifikasikanku dalam sekelompok manusia dengan label biseks karena mungkin life style-ku yang baru kusadari 4 tahun lalu bahwa aku juga tertarik secara seksual untuk berhubungan dengan sejenisku. Lalu pernikahan antara aku dan kekasihmu yang saling berbeda kelamin adalah suatu ide terbaik dan paling logis untuk kami.
Aku ijinkan kekasihmu mengenalmu dan beberapa perempuan lain untuk menyalurkan dorongan insting dasarnya, dan aku diijinkan untuk berbagi segalanya dengan manusia jenis manapun juga. So far,… ini hal yang saling menguntungkan untuk kami. Jangan katakan aku tidak mencintai kekasihmu yang ternyata adalah suamiku. Aku mencintainya, dia juga mencintaiku ku kira. Tapi hubungan kami yang didasari atas ketertarikan secara fisik, yang kemudian berlanjut pada serentetan kompromi-kompromi atas kekurangan dan mungkin kelainan –atau sebutlah life style- kami masing-masing, telah terjalin begitu kuatnya. Aku selalu ingin memilikinya, karena itu aku menjadikan diriku sebagai tempatnya untuk pulang dan berbagi. Dia suamiku, ada saat dimana kamu harus mengembalikannya pulang padaku. Karena perlu kamu tau, dia tak punya tempat pulang lain, selain padaku, kasihanilah jiwanya.

Aku menikahinya dengan alasan yang paling masuk akal yang masih bisa kuterima. Aku tertarik dan tergila-gila secara fisik olehnya. Aku tak bisa menipu naluri terdalam yang -masih- tersisa denyutnya dalam kewarasanku. Aku mencintainya, dan dia cukup mencintaiku ku kira. Lalu apa yang membuatku harus ragu-ragu untuk memilihnya sebagai jalanku pulang suatu ketika nanti? Lalu kami semakin dekat dan membagi segala hal. Berbagi pasangan dan ranjang. Tak masalah bagiku ke-kurang-normalannya. Karena aku juga bukan sosok yang mendekati sempurna yang selalu ada untuk membahagiakannya. Lalu kami menikah. Dia tetap bisa berganti pasangan entah lelaki atau perempuan sejenis dengannya, dan akupun masih bisa seenakku berganti perempuan macam apapun yang aku mau.
Pernikahan kami bukan atas dasar penyelamat status sosial kami sebagai manusia normal di mata masyarakat. Pernikahan kami didasari rasa keinginan saling melindungi. Kami sama-sama sakit dan perlu memiliki tempat pulang untuk berlindung dan berbagi. Dia tempatku pulang. Karena itu aku selalu kembali padanya. Kukira dia pun sama. Aku mencintainya, lebih dari perempuan manapun yang kumiliki, hanya sayang aku tak mampu membendung dorongan insting dasarku untuk melakukan sesuatu dengan sejumlah perempuan yang berbeda. Bukan. Ini bukan berarti aku main-main menyatakan bahwa aku mencintainya segenap hatiku. Karena sesungguhnya bagi kami, mencintai bukan hal yang membuat kami saling membatasi satu sama lain.
Konsep cinta kami berantakan.

Delapan bulan lalu adalah malam terakhirku dengan suamiku.
Apa kabar dengannya?
 Selama 8 bulan ini kami hanya bertatap muka tak lebih dari jumlah jari dikedua tangan kami masing-masing. Aku mulai merasakan ketidaknyamanan yang tak kukenali disini. Aku mulai merasa jijik dengan tubuh perempuan yang selama ini paling kupuja keindahan segala lekuknya. Aku mulai merasa mual dengan segala desah rayu mesra sejenisku, entah kenapa ini menjadi tak semenarik saat sebelumnya.
Dua bulan terakhir aku menghentikan permainan favoritku dengan sejumlah kencan lawan jenisku. Tak lagi menyenangkan. Sensasi yang berbeda, aroma yang berbeda, hangat yang berbeda, aku merasa begitu berantakan dengan terlalu banyaknya variasi. Perubahan. Ah! Bikin mual!
Suamiku,… pulang.


Hanya sekitar Sembilan atau sepuluh kali kurasa. Ini membuatku merindukannya ternyata. Bahkan aku telah berhenti berpetualang sekitar kurang lebih 3 bulan terakhir ini. Pulang sekitar 2 atau 3 kali, bertemu sejenak tanpa aktifitas apapun bersamanya, lalu pergi lagi.
Ada rasa tak nyaman yang begitu besar saat menatap matanya yang selalu menyambutku dengan kesan “malam ini tidur dengan siapa” khas yang kurasa ingin dilisankannya untukku. Kata sahabatku ini rasa bersalah. Tapi bagiku, ini lebih pada pertanggung jawaban akan keputusan dan pilihanku untuk menikahinya.
Percayalah, aku sungguh tak ingin sekalipun membuatmu terlukan dan tersakiti.
Aku telah mengekang hasrat instingtif-ku selama kurang lebih 3 bulan ini, untukmu. Bukan karena aku menghindari penyakit, tepatnya aku menghandiri kamu tersakiti. Paling tidak, perbolehkan aku mencoba menjadi yang mendekati sempurna untuk melindungi kamu.
Sekarang aku ingin pulang,…padamu.


“Aku pulang”
“Selamat datang”
Aku melangkah padamu, kamu menatapku, berbeda, sangat lain.
“Aku kalah olehmu, aku menyerah.”
“Aku juga kalah olehmu. Boleh kita ulang segalanya dari awal?”


Room 12
(Would you?)

Kata K.A.M.I Berakhir (sebuah pesan)

“Aku sudah selesai”
“Apa?”
“Aku sudah mengakhiri kisah untuk kita berdua”
“Bagaimana bisa? Aku baru sampai tengah mengeja rasamu”
“Iya karena itu aku muak!”
“Hei, ini bukan salahku!”
“Salahkan dengkulmu!!”
“Hei!”
“Apa?!”
“Tak bisakah kita perbaiki?”
“Oh, kamu ingin memulainya dari awal lagi?”
“…”
“Memulai dr awal dengan ketumpulan hati yg sama??”
“Aku akan perbaiki…aku janji”
“Perbaiki dulu dengkulmu! Otakmu tertinggal disana!”
“Hei!!”
“Apa?! Aku MUAK!!!”
“Ayolaahh… Biarkan aku mencobanya sekali ini… ”
“Cari Jalang lain yg bisa kau terlantarkan sana!”
“Hei!!!”
“Sebut namaku laki-laki tengik!!! Aku bukan ‘HEI’ !!”
“Maaf…Ampun…”
“Maaf juga, Jalangmu yang ini sudah lunasi hutangnya akan janji yang kau beli dengan katamu!”
“Aku akan mati…”
“Aku akan datang di pemakamanmu. Aku akan menangis telah kehilangan lelaki bodohku”
“Sungguh! Aku akan mati!!! Biar kamu kehilangan!”
“Kehilangan?”
“Ya!! Lalu kamu merasa aku sungguh berarti! Biar kamu merasa bersalah sampai mati!!”
“Oh ya…tentu saja.”
“…”
“Aku akan merasa bersalah sampai mati. Tentu.”
“…”
“Tapi aku akan lebih cepat mati bila terus bersamamu”
“kenapa?! Kamu Tak adil!!!”
“Ya”
“Kenapa??”
“Karena kamu menyimpan hati untuk dirimu sendiri.”
“Apa?”
“Hentikan Apa-Kenapa-mu!!! Aku bosan ,dungu!!!”
“Tak kah tersisa bekas untuk ku korek kenangannya biar kamu kembali pulang?”
“Pulang?”
“Ya, karena aku tempat hatimu kembali…”
“Ya…sayangnya hatiku tlah ku gadai untuk tebus bebasku”
“Aku mencintai kamu”
“Bahkan cinta saja tak pernah cukup untuk menghidupi jiwaku!”
“…”
“Tandatangani perceraian hati kita!!”
“…”
“…”
“KAMU JALANG TER-BENGIS YANG PERNAH KUTIDURI CINTANYA!!!”
“Terimakasih”



 
(kucabut nafasku dari hatimu, ..maaf)