1.03.2011

Cerita Antara Saya dan Mas Tono

Mas Tono bilang dia akan ada di dekat saya kapanpun saya membutuhkannya. Mas Tono bilang saya sudah melakukan hal yang benar untuknya, untuk kita, saya dan Mas Tono sendiri. Tapi saya merasa kacau akhir-akhir ini. Mas Tono selalu bilang sangat mencintai saya, menyayangi saya. Yang saya tau sayang itu adalah segala-galanya bahkan punya level lebih tinggi dan lebih sakral daripada cinta. Dan Mas Tono memberikan keduanya kepada saya. Seharusnya tak ada alasan untuk saya merasa galau seperti sekarang, kecuali siklus mens saya yang tiba-tiba telat. Saya sudah berkali-kali berniat membicarakan ini dengan Mas Tono, saya ingin menjadikan dia bukan hanya tempat untuk berbagi hasrat, tapi juga berbagi segalanya termasuk apa yag saya alami sekarang, saya berantakan. Tapi berkali-kali juga saya urungkan niat saya. Saya takut Mas Tono meninggalkan saya. Saya takut Mas Tono akan sama seperti laki-laki kebanyakan, yang hobi menebar benih sebagai penanda wilayah sebelum mereka pergi. Ini ketakutan yang belum sanggup saya bagi dengan Mas Tono, sosok yang selama ini saya percaya untuk mendapatkan segalanya dari saya.

“Mas,…sampeyan dimana?”

“Siti??”

“iya mas ini saya, siti…sampean dimana?”

“Aku kerja,Ti…”

“Dimana mas? Di kantor toh?... lha kok sepi toh mas kantornya?” saya curiga. Cara bicara Mas Tono tidak terdengar seperti biasanya. Sebenarnya nggak semencurigakan itu. Tapi batin saya mengatakan Mas Tono sedang berbohong. Kata ibu saya, batin seorang perempuan itu kuat. Maka saya mempercayai kata batin saya, karena alasan bahwa ibu merupakan sosok paling benar bagi saya.

“Wes toh, Ti… saya ini kerja banting tulang buat cari modal nikah kita…mbok ya kamu percaya saya toh…Ada apa toh ini?”

“Saya mau ngomong, Mas…Ada yang penting ini.”

“Iyo…iyo. Wes, nanti saya datang ke kost kamu. Sudah ya, saya lanjut dulu kerjaan saya..”
Di tutup. Hati saya semakin kacau. Bukan karena Mas Tono yang nggak mau diajak bicara sekarang, tapi karena tadi sebelum menutup telepon saya samar-samar mendengar ada suara perempuan memanggil Mas Tono. Apa iya Mas Tono sedang kerja? Hati saya semakin galau. Inikah benarnya firasat seorang perempuan? Saya nggak tau apa ini juga berlaku untuk gadis belasan tahun seperti saya.

Saya mengenal Mas Tono di tempat saya bekerja. Ini Surabaya. Kata ibu, ini kota besar, kata ibu juga, kota besar itu sarang orang-orang berhati hitam. Ya, yang saya tau di sana-sini banyak copet, orang-orang disini harus benar-benar ekstra waspada menjaga diri dan harta yang melekat di tubuh mereka. Dan saya ada disini karena jasa teman ibu yang mempekerjakan saya di apotek miliknya. Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, setelah 9 tahun lalu ayah pergi karena panggilan-Nya. Ibu hanya perempuan biasa, dari keluarga biasa, orang jawa, dan hanya berlatar belakangan pendidikan sampai kelas 4 SD. Saya anak ibu satu-satunya, setelah Mas Teja yang setahun lalu juga dipanggil-Nya dalam sebuah kecelakaan. Tanpa saya membebani, hidup yang ibu jalani sudah terlalu berat. Karena itu saya memantapkan hati dan meyakinkan ibu supaya mengijinkan saya berangkat ke Surabaya untuk bekerja, di usia saya yang ke 15 tahun.

Setahun bekerja di Apotek lumayan membantu kehidupan saya, memang melelahkan, tapi ini juga demi hidup saya sendiri dan ibu. Saya bangga bisa kirim uang untuk sekedar bantuan belanja ibu di Solo. Selebihnya dari gaji saya, bisa saya irit untuk biaya kost, makan dan Alhamdulillah kalau bisa nyimpen tabungan di celengan. Saya pingin mengumpulkan modal untuk ibu buka usaha took kecil disana. Biar ibu nggak harus kerja mburuh tani di sawah orang, panas-panasan, kaki kering pecah-pecah terkena air potas. Dan Saya mengenal Mas Tono saat itu. Mas Tono adalah laki-laki paling tegas yang pernah saya kenal. Awalnya saya hanya menghafal namanya saja, Tono. Dari surat resep obat tebusan dari dokter. Tapi karena seringnya Mas Tono datang menebus obat ke Apotek, saya jadi akrab pelan-pelan, sampai suatu ketika, saya bisa ngobrol dengan mas Tono dan berkenalan sebagaimana mestinya. Malam jam 9, Apotik sudah hampir tutup, hujan, dan Mas Tono datang sambil basah-basahan mendatangi saya di menja penyerahan resep, saya bilang apotek mau tutup, Mas Tono memohon, terlihat sangat bingung, dan saya kasihan. Setelah itu kami mulai menjadi akrab, setelah maalam itu juga Mas Tono mengantar Saya pulang ke kost.

Kami berpacaran sudah lebih dari dua bulan ini. Mas Tono memang laki-laki yang bisa membuat saya bahagia karena cinta. Terkadang saya memang ragu, apa iya gejolak yang saya rasakan saat ini adalah cinta yang sebenarnya. Tapi berkali-kali pula Mas Tono bisa membuat saya yakin, saya mencintainya. Dan karena saya mencintainya, saya menyerahkan segalanya untuk Mas Tono. Segala tempat pertama untuk Mas Tono, bahkan untuk keperawanan saya. Saya menginginkan Mas Tono menjadi yang pertama, dan terakhir untuk saya.

Sekarang sudah genap seminggu saya menunggu Mas Tono. Dari terakhir saya telepon sampai sekarang, Mas Tono belum juga mendaatangi saya. Entah kemana Mas Tono. Saya juga ngga tau dimana Mas Tono sekarang. Nomer Hp Mas Tono juga mati. Saya mengkhawatirkan Mas Tono, juga siklus bulanan saya.

“Piye toh mbak ikiii,…” samapai suatu ketika saya memutuskan untuk menceritakan apa yang menjadi kegalauan saya pada Mbak Sri, penjaga rumah kost yang saya tempati selama ini.

“Pakai alat tes kehamilan aja, Ti. Pasti hasilnya. Asal ya gitu, kamu makainya juga kudu bener, Ti.”

“Saya ndak berani, Mbak. Saya tau alatnya, bisa saya ambil dari apotek, tapi saya ndak tau gimana makainya. ”

“Lah, ka nada petunjuknya toh, Ti. Dibelakangnya situ. Kamu baca. Wes yoh, nduk. Kamu coba dulu… Nanti biar kamu tau pastinya.”

Semalaman saya nggak bisa tidur. Saya takut. Takut kalau hasilnya menyatakan kalau saya positif. Berarti saya hamil. Ada calon bayi di dalam tubuh saya. Beberapa kali saya sempat tertidur sebentar dan bangun lagi karena mimpi. Saya memimpikan bayi laki-laki, matanya sama seperti mata saya, hidungnya seperti hidung Mas Tono, tersenyum. Saya menginginkan bayi dalam mimpi saya tadi, tapi saya juga takut. Saya nggak mau mengecewakan ibu, saya nggak tega melihat wajah ibu yang terluka karena saya, dan satu lagi, saya nggak tega kalau harus melunturkan jabang bayi ini dari tubuh saya. Tapi sesungguhnya saya juga belum siap, umur saya masih terlalu muda, 16 tahun.

Akhirnya saya nggak tidur di sisa malam ini. Test Pack, alat tes kehamilan yang dijual di apotek tempat saya bekerja, tergeletak di kasur saya, dan saya memandanginya cukup lama. Tadi sudah saya baca cara pemakaiannya, saya sudah paham. Strip satu berarti negatif, saya nggak hamil. Strip dua berarti neraka bagi saya. Positif, dan saya akan memiliki bayi. Ini menakutkan. Begitu terus sampai saya mendengar adzan subuh. Saya berdiri, beranjak dari kasur saya, menyelempangkan handuk di bahu saya, membawa baju ganti, dan menyelipkan test pack diantara baju ganti saya, menurut petunjuk pemakaian, ini akan bekerja kalalu saya memakainya pada air seni pertama saya di pagi hari.

Saya takut. Beberapa langkah lagi kamar mandi sudah bisa saya masuki.

“…tuuut…tuuuut” Alhamdulillah nyambung. Siang ini saya mencoba menghubungi hp Mas Tono lagi, dengan kekacauan hati yang tidak beda jauh dari sebelumnya.

“Halo?...”

Astaghfirullah.. perempuan mana ini yang bersama Mas Tono sekarang?! Saya takut. Perasaan saya kacau, tangan dan seluruh tubuh saya gemetaran, lalu hp dan tubuh saya jatuh bersamaan. Saya tertidur. Dalm tidur saya, teringat kejadian subuh tadi, saya menunggu 3 menit, berjongkok di depan alat test kehamilan yang saya pakai, menunggu munculnya strip yang sangat menentukan hidup saya kemudian. Sekita pada menit pertama satu strip muncul, merah jelas. Mata saya perih. Saya merunduk lama, lebih dari 5 menit, berdoa berkali-kali menyebut nama Tuhan memohon untuk tidak memberikan apa yang tidak saya inginkan terjadi, menangis, gemetaran. Dan muncul strip merah terang berikutnya diatas strip pertama. POSITIF.

Mbak Sri bilang kadang kala test pack memiliki tingkat akurasi yang rendah, Mbak Sri menyarankan saya untuk test urine di lab. Benar memang menakutkan, tapi saya juga butuh kepastian untuk kemudian meminta pertanggung jawaban pada Mas Tono. Hasil Lab positif, hasil yang sama. Dan satu kenyataan pedih lagi. Saya juga dinyatakan positif terjangkit HIV. Oh gustiiiii…

“Mas, saya perlu bicara sama Mas.” Suatu ketika saya memberanikan diri menelepon Mas Tono lagi.

“Siti?”
“Iya, Mas, ini saya. Saya perlu bicara sama Mas.”

“Ti, maafin saya…”

“Mas Tono, saya minta Mas mau berbaik hati menemui saya sekarang. Saya tunggu di Apotek sepulang kerja nanti Mas. Tolong ya Mas…”

Malamnya Mas Tono datang. Tidak terlihat seperti Mas Tono yang akrab di dalam ingatan saya sebelumnya. Mas Tono terlihat pucat, kurus dan kotor. Entahlah, saya merasa sibuk sendiri dengan perasaan saya yang nggak jelas jluntrungnya waktu itu. Saya berjalan di samping Mas Tono, kami berjalan beriringan, membiarkan kaki-kaki kami melangkah tanpa tau kemana dan tanpa bicara.

“Mas Tono, saya positif…” saya mengucapkannya dengan penuh emosi dan suara bergetar, saya menangis.
“Mas Tono menghentikan langkah kakinya,…” diam. Mas Tono menatap saya, matanya merah terbelalak, menakutkan. Diam, menatp saya. Lama. Saya menunduk.

“Nduk,…maafin saya… saya ndak maksud nularin kamu,nduk. Iya, saya memang egois, ndak seharusnya saya melakukan itu sama kamu. Tapi saya nggak tau, waktu itu saya hanya ingin melakukannya sama kamu…maafin saya…” Bergetar, berat. Ini Mas Tono yang saya kenal, dan sebagian diri Mas Tono yang baru saya kenali malam ini.

“Saya juga positif hamil, Mas…” kali ini tangis saya pecah. Dan Mas Tono ternganga yang nggak bisa saya mengerti persis, apa yang dirasakan Mas Tono saat itu.

“Ini nggak boleh, Ti… Harusnya nggak seperti ini…”

“Saya takut, Mas… ini terlalu berat buat saya.”

Sekarang usia janin dalam kandungan saya sudah 3 bulan. Dan saya ada disini. Di ruangan yang penuh kursi dan sejumlah calon ibu. Saya menunggu.

“Nyonya Siti Ruminasih.”
Saya berdiri dari duduk saya. Diam. Menarik napas dalam dan berat. Mengelus dinding perut tempat dimana calon bayi saya berdenyut disana.

“Ini yang terbaik untuk kamu,… maafkan ibumu. Ibumu ndak member kamu pilihan, nak. Tapi kalau kamu tau, sebenarnya ibu ingin memiliki kamu, …” 

Saya beranjak dari diam saya, melangkah memasuki ruangan dengan bau tajam obat-obatan yang menusuk penciuman saya. Sekarang saya disini, hanya sendiri, tanpa Mas Tono yang seminggu lalu juga pergi karena panggilan-Nya.




(Sebuah nyawa, adalah renungan untuk pilihan hidup)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar