10.09.2013

Let Me To Let You Go


Kekasihnya mati.  Itu satu-satunya gaun hitam tersopan yang dimilikinya, dari kekasihnya, dan baru sempat dipakainya di pemakaman kekasihnya.

***

Sebuah pigura berkaca retak, mengaburkan gambar foto yang tersimpan di dalamnya. Bukan salah meletakkan, pemiliknya sedang marah pada kenyataan. Puntung rokok bertebaran, abu rokok menyatu dengan debu di lantai kamar. Bau kesedihan begitu kental disini. Tapi aroma kemarahan lebih semarak disini. Suhu paling rendah dari yang selama ini digunakannya bersama seseorang, ia merindukan kehangat yang selalu menjadi jaminan saat ia mengeluh kedinginan jika suhu kamarnya diturunkan hingga belasan derajat oleh kekasihnya dulu. Gelas tinggal satu di nakas, air berisi setengah, sejak 2 hari lalu. Air terakhir yang memasuki kerongkongannya yang tercekat ditengah ledak tangisnya. Air mata kering. Mata bosan di rodi terjaga dan menangis berulang kali.

Tak ada apa-apa selain kosong dan suara hati yang melolong.

***

Mereka baik-baik saja minggu sebelumnya. Saling melempar candaan sarkasme seperti biasa. Saling menertawakan kebodohan satu sama lain. Saling meributkan hal-hal kecil dan berakhir saling tuding yang diakhiri pelukan dan tawa kecil sebelum sebuah adegan. Tubuh mereka masih sama-sama hangat. Hati mereka masih sama-sama berdegub dalam getaran satu irama. Yang perempuan tertidur, yang laki-laki meninggalkan tempat tidur dengan gerakan seminimal mungkin, menjaga kekasihnya yang sensitive dengan hal-hal kecil untuk tetap terlelap tak tergaja. Dan paginya akan ada beberaapa pesan yang ditemukan perempuannya, di ponsel, di post it yang menempel di dinding dimana ia selalu menghadap ketika tertidur, di dalam post it yang tertempel di kaca kamar mandi.

Mereka masih sama-sama bahagia minggu sebelumnya.

Dimana yang perempuan bisa menyentuh laki-lakinya, dimana si laki-laki masih bisa menatapnya dengaan sebagaimana mestinya cara itu akan terasa sama persis dengan saat dimana mereka memutuskan untuk mengijinkan hati mereka saling jatuh cinta.

Mereka masih bersama-sama minggu sebelumnya.

Dimana ketika sang perempuan mengirim puluhan bahkan ratusan pesan singkat akan selalu direspon sama banyak oleh lelakinya. Dimana saat lelakinya ingin di buatkan sekedar mie instan si perempuan akan tersenyum dan beranjak dari apapun yang sedang menyita dirinya saat itu. Dimana makan siang bisa mereka lewatkan bersama dengan mencuri-curi waktu bekerja. Segalanya masih menyenangkan minggu sebelumnya.

***

Taun kemarin.

“ Aku akan menikah nanti.”

Ia berkata dengan keyakinan diri yang selalu membuatnya tampak memukau di mata siapapun yang memperhaatikannyaa saat itu. Dimana senyum merekah dan mata berbinar. Lelakinya yang menyibukkan kesadaran dengan hiburan televise di kamarnya, berpaling. Perempuan ini memang lebih menarik saat ia sedang menceritakan impiannya. Lelakinya tersenyum, lembuh, dan menuntun kepalanya rebah di bahu kirinya.

“Anakku satu ah. Satu tapi dia harus bahagia. Harus!”

Kali ini ada getar tak biasa dalam beberapa kata. Lelakinya tau ini soal apa, karenanya sekarang tangannya bergerak membelai kepala perempuannya dengan lembut, ia tak berkata-kata, tapi jemarinya bicara lebih dari sekedar kata.

“Lalu aku akan punyaa seorang anak yang cantik, matanya bulat cantik, rambutnya ikal tipis cantik”

Lelakinya berhenti. Tertawa kecil, lalu mengecup puncak keningnya. Membelai lagi.

Tak pernah ada kata yang berlompatan percuma saat itu hanya kata semata. Tak pernah ada taanggapan suara yang begitu bohongnya saat itu tak pernah terjadi nyata-nyata. Tapi seluruh diri lelaki tadi, selalu menjawab dengan caranya sendiri, dan menenangkan apapun yang sedang bergolak saat itu. Entahlah, perempuan ini selalu mampu menangkapnya.

***

Tengah tahun lalu.

Sebuah gelas pecah menjadi kepingan berserak di lantai. Kaca rias pecah sebagian, terantuk gelas yang sempat beradu dengannya sebelum berkeping di lantai. Ada banyak sekali noda air mata di sprei. Si perempuan terbujur tak beranjak dari sana selama 2 hari.  Ia mencoba membunuh dirinya dengan tidak mengijinkan apapun memasuki tubuhnya dan memberikan sarat kehidupan kecuali oksigen. Ada yang ingin mati menyudahi segala beban hidupnya, melepas segala sesak yang berhimpitan di dalam dirinya. Lelakinya sudah 3 hari tak ada kabar. Mereka pecah dalam tengkar.

Ia tak mau ada suara. Ia hanya ingin mendengar langkah ringan tergesa yang berhenti di depan kamarnya.  Satu-satunya indera yang diijinkannya tetap terjaga hanyaa pendengaarannya. Ia ingin mendengar lelakinya ada di dekatnya sebelum melihat nyata-nyata dan menyentuhnya.

Beberapa butir ragam obat bertebaran di nakas. Ia sedang tak ingin menghitung, ia hanya ingin mengira-ngira apakah yang terlihat sudah cukup menjamin dirinya untuk kehilangan nyawa dengan segera.

Laki-lakinyaa datang. Nyawaa perempuannya gagal hilang.

***

4 hari sebelumnya.

Sebuah pesan singkat. Jelas begitu menyakitkan bagi siapapun yang menjadi tujuan.

***

6 hari sebelumnya.

Lelakinya datang. Perempuannya berwajah pucat. Hari keempat tanpa asupan yang memadai sarat hidup. Sedang tidak berpijak nyata paadaa apa yang ada saat ini. Lelakinya berwajah dingin. Bahasa tubuhnya begitu asing. Tidak ada kaata-kataa bertebaran. Hanya ada beberaapa debaran tak biasa, debaran asing yang sama-sama gagal mereka terjemahkan.

“Kenapa datang?”

“Aku akan pergi. Kita lebih baik sendiri-sendiri”

“Ya. Aku sudah sendiri 4 hari. Aku bisa”

“Maafkan aku. Aku pergi”

Pintu di tutup. Punggung hilang. Perempuan menjerit menjadi dalam hati.

***

2 jam setelah lelaki pergi.

Sebuah pesan singkat dari seorang teman.

“Better you go find him in Hospital.”

Gelap.

***

“Kamu pergi. Dalam marahmu kaamu meninggalkan aku. Dalam marahku aku membiarkanmu menjauh hingga tak lagi bisa kuraih kembali. Apa yang sedang mempermainkan kita saat ini, dia pemenangnya.”

Sebuah gelas terguling, jejak air meresap di lantai marmer. Perempuan tak jauh terbaring, mulut berbuih.

 

 

 

 

 

 

 

 

My new 17 minutes

091013/00:17

Let me to let you go, please

 

S.O.S


Ini tidak mudah. Sungguh. Aku tak mengada-ada soal ini tidak mudah. Aku bersungguh-sungguh soal aku tidak ingin membenci siapapun. Aku masih di dalam pertempuranku sendiri, melawan suara-suara di kepalaku. Aku masih berjibaku sendiri, memenangkan pertarungan dalam labirin yang menjebakku berulang kali ke masa lalu. Aku tak akan mengemis lagi. Aku tak mau meminta – minta lagi, aku tak akan melukai diriku sendiri dengan bergantung pada siapa-siapa lagi. Aku akan memenanginya sendiri.

Pun aku tak ingin menjatuhkan air mataku lagi. Sungguh.

Aku tak ingin menangis apapun yang sudah begitu lama terjadi. Aku tak ingin menangisi apapun yang sudah begitu jauh terlewat dariku. Aku juga tak mau menangisi apapun yang membebani aku saat ini. Segala sakitku, segala sesak yang menghimpit di dalam sini, aku menerima mereka sebagai teman selama berproses. Aku tak akan mengutuk dan mengusir mereka pergi, aku ingin bersahabat dengan segala sakit, dengan semua sesak, karena aku ingin mereka bukan lagi menjadi masalah bagiku di saat prosesku selesai nanti.

Aku pernah bahagia.

Terakhir kuingat adalah saat pertama kamu membisikkan sesuatu di telingaku sebelum pergi, “have a safe sleep”. Aku menemukan seseorang yang menyayangiku segenap hatinya malam itu, dan yang membahagiakan adalah aku pun memiliki getaran yang sama dengannya, kami saling mencintai, saat itu, malam itu.

Aku pernah sangat bersedih. Terakhir kuingat adalaha ketika aku dibuang untuk kedua kalinya. Satu hal dari sekian banyak hal yang ingin kuucapkan saat itu adalah berteriak padanya, “Aku bukan sampah! Aku pun bisa bernafas, makan bahkan terluka sepertimu! Aku bernyawa dan aku pun begitu ingin bahagia!” Sakit dari segala sakit. Sore itu.

Aku sedang berada jauh dari lingkaran diriku. Aku mengasing. Aku hanya ingin berdua dengan sendiri. Aku hanya ingin mengobati diriku sendiri dengan egois yang sekian lama kulupakan untuk melindungi diri. Aku memasang bentengku lapis demi lapis lagi.

Apa yang terjadi ini?

Aku semacam robot yang ditiupi jiwa yang lupa bagaimana mestinya menghidupi kehidupnya sendiri. Aku mengejar segalaanya. Aku menenggelamkan diri pada apapun. Aku membawa serta sendiri dan sepi. Aku hanya ingin begini untuk beberapa waktu.

“Kalau aku mati kamu sedih?”

“Kalalu aku hilang kamu cari?”

“Kalau aku pergi kamu bingung?”

“Kalau aku gak lagi bisa bahagiakan kamu, kamu tetep disini?”

Dan kini jawabanmu dalam kepalaku hanya “tidak”.

Aku ingin berhenti mengasihani diri sebagai korban. Aku hanya ingin mengasihi diriku sendiri. Menyelamatkan diriku sendiri dari apapun yang tidak menjadi jalanku. Dari kamu, dari dia dari siapapun yang aku mungkin saja taak bisa menolaknya lantaran aku tak ingin menyakiti apapun lagi.

Aku lupa. Aku lupa mengeluarkan diriku sendiri dari lingkaran pengorbananku. Aku lupa menyelamatkan tubuh dari meja perjamuan yang tak semestinya. Aku tak bisa menyelamatkan diriku dari keterlibaatan rasa sepihak dan apapun yang semakin menyakiti aku lagi dan lagi.

Hanya saat ini, di mulai pada detik ini,

“Bisakah aku memilih hidupku? Aku pun ingin egois menjaga diriku sendiri…”

 

 

                                                                                                                                                25 minutes left .

                                                                                                                                                081013. 23:35

                                                                                                                                                S.O.S

9.01.2013

Cangkir Lain

Cangkir baru. Baru kutemukan diantara kumpulan cangkir yang kutau. Aku memecahkan cangkir favorit terakhirku. Cangkir yang hampir selalu kugunakan untuk menikmati kopi selama 2 tahun terakhir. Yang kujatuhkan hingga retak dan bopeng di beberapa sisi, yang masih terus kupakai untuk menyajikan kesenanganku sendiri, yang berkali-kali pula melukai bibirku dengan bopengan-bopengan di permukaan minumnya. Ya, memang ada kalanya kita harus merelakan beberapa hal yang kita sukai untuk berhenti membahagiakan kita lagi. Saat aku harus merelakan cangkirku digantikan cangkir lain yang lebih layak lagi. Tentu saja aku menyayangi bibirku ini, aku juga tak ingin merusak aroma kopi yang kusesap bercampur dengan anyir darah yang mengalir dari bibirku.
Awalnya memang aneh. Tentu saja, hal-hal baru membuatmu harus beradaptasi dengan segala yang tersaji bersamanya. But, yeah I know, it fix me.
010913 / 4:05pm
I found him near me, after I let you go with all us stuffs.
Aku menikmati Toraja Kalosi pertamaku di dalamnya. Volume yang berbeda dari yang biasa, suspense pun berbeda, yang kuminum tetap bernama Toraja Kalosi, tapi kadar pekatnya tak sepekat yang terakhir kuingat dalam cangkir lamaku yang sudah tak ada. Ah, ini hanya masalah waktu, lambat-laun aku yakin cangkir ini mengajariku bagaimana meracik Toraja Kalosiku sendiri. Tapi aku bersyukur, Toraja Kalosi pertamaku di dalam sini masih beraroma tanah yang khas, cangkir ini pun tetap menyajikan kopiku walau belum senada dengan apa yang pas bagiku.
Esoknya aku mengaduk Sidikalangku di dalamnya, aromanya sama dengan biasanya, semoga takaranku kali ini pas, semoga cangkir ini mampu mengajariku untuk bekerja sama menyajikan kopi yang menyenangkan. Aku memandangi Sidikalang di dalam cangkir baruku, tak yakin akan apa yang ditawarkannya pada setiap sesap di lidahku nanti. Aku tak yakin rasanya akan sama dengan yang biasa kunikmati. Tentu saja aku tak mungkin memanggil cangkir lamaku kembali, aku sendiri yang membuangnya. Aku tak tau diamana keberadaannya kini. Ini cangkir baruku, aku yang memilihnya sendiri. Aku akan meminumnya kini. Hmm, not bad.
Aku merindukan long black irish, ini kopi paling favorit. Masih ragu pada apa yang bisa kukerjakan dengan cangkir baruku. Aku tak yakin bisa bekerja sama dengannya membuat Irish ku dengan aroma wishky yang membuatku termanjakan. Sudah kutuangkan long black, tinggal beberapa takar syrup irish, “ Dear the new one, I beg you, give me some irish effect.”

8.29.2013

Day 26

I choose to let you go.
Go bring all memmories and pain.
I let you free.
 
 
Selepas kepergian pertama, melepasmu untuk kesekian kali rasanya lebih mudah dan lebih ringan. Bulu-bulu sayapku ber-regenerasi, beberapa yang patah bergantikan helai-helai baru lagi. Ya, aku sedang mengepakkan keduanya. Lahan rindu yang ini sudah tandus, aku tak bisa menghidupinya sendiri. Dewasa berjalan bersama waktu, aku terbang bersama waktu, ke ladang baru yang akan kuhidupi dengan lebih atau bahkan jauh lebih baik lagi dengan seseorang setelahmu. Ya, setelahmu.
 
 
Kepergian kali ini pun atas maumu, sepihak darimu. Somehow, ini memberitahuku, Tuhan mengirimmu sekali lagi untuk membersihkan sisa-sisa yang ada.
 
 
Aku sudah tiba di satu ladang rindu baru. Bukan ladang yang kugambarkan dalam keinginan, bukan ladang yang sama seperti yang aku dan kamu miliki sebelumnya, tapi di sini, ada seseorang yang memanggilku, aku belum tau apa aalasanku tinggal kali ini, tapi aku sudah tau pasti, aku sedang tak ingin bermain hal yang sama sekali lagi.
 
 
Aku melepasmu, bersama luka yang muncul saat bersamamu. Biar kusimpan semua cerita bahagia, biar kuramu dalam bentuk sedemikian rupa, kuletakkan di sudut khusus yang memang tercipta untukmu. Tak terganti, tak bergeser.
 
 
Dan kali ini,
"Sayonara" tak akan berubah menjadi salam sapa seperti sebelumnya.
Pergilah, .. bebaslah seperti maumu.
Baru aku tau, membebaskanmu sama leganya dengan membebaskan diriku.
 
 
"Kita bertemu untuk saling melepas kemudian, ini misi pertemuan kita."
 
 
 
 
 
290813
2 hari lewat, "sayonara"
Di sisinya. 

8.05.2013

Day 6

Seharian.
Aku berpikir, berperang di dalam sini.

Apa mauku?
Kembali? Oh ya?
Bahkan ketika kamu bilang "Oke kita balikan .. .. .."
Aku ingin berteriak "Nggak! Aku nggak akan menyakiti diriku dengan bersama biadap sepertimu", tapi lagi-lagi aku menelan kalimatku. Aku menelannya dan kesakitan sendiri karenanya.

Tak sadarkah kamu bahwa yang hidup bukan hanya dirimu?
Akunpun hidup dan bernafas sepertimu.

Tak sadarkah kamu bahwa yang punya hati bukan hanya kamu? Aku pun bisa merasa berharap, bahagia dan tersakiti.

Tak tau kah kamu bahwa yang ingin merasakan kebahagiaan bukan hanya kamu sendiri?!
Perempuan yang kamu hampirinlagi 2 bulan lalu ini juga ingin menemukan kebahagiaannya sendiri kembali tapi kau datang dan mematahkan ruas-ruas jembatannya untuk menyebrang kini.

Kamu hilang lagi.
Kamu lari lagi.
Larilah, aku tak akan jauh. Selalu di sekitarmu.
Kita lihat siapa yang lelah lebih dulu.



050813 ; 22:32
Pengecut!

Day 4

Dia mengingkari janjinya. 

3 hari dan tak pernah ada kabar. Dia melakukannya lagi. Dia pergi macam pelaku kriminal dan lagi-lagi aku adalah korbannya. Dia sangat mudah diprediksi. Sayangnya kali ini aku tak ijinkan dia lari. Setidaknya ini tak semudah kemarin. Aku bertaruh hatiku sendiri.

Susah sekali mengajarkanmu soal kedewasaan dalam satu hal ini. Ironisnya kamu adalah sosok yang cukup pandai bicara ini-itu soal revolusi hubungan. Sayangnya semua kalimat motovasimu adalah sampah bagi dirimu sendiri. Hanya sebuah rangkaian kata apik yang tak berfungsi dengan benar dalam tatanan konsep dirimu. 

Aku turut bersedih atas hal itu.
Juga atas diriku yang dengan bodohnya melucuti senjataku satu persatu.

Pagi ini aku menghibungimu lebih dulu. Selalu begitu sejak dulu. Kamu kehilangan kelelakianmu begitu seringnya tanpa kamu sadari itu. Kanu lelaki lemah yang tak lebih dari sekedar pengecut untuk apa yang kau muntahkan dari mulutmu sendiri, dalam kata-katamu. Kamu menyedihkan. Bukan aku yang telah mampu mengampunimu, tapi kanu yang tak mampu menahan diri untuk tak lagi menyalahiku.

Tentu saja aku marah. Tentu saja aku sakit hati. Kau bilang "teman dekat". 

Dimana otakmu?! Dimana hatinu?!

Aku begitu ingin melempar piring dihadapanmu, melemparnya ke kepalamu. Supaya entah gumpalan apapun yang membuat otakmu sulit bekerja dengan benar bisa pecah dan mengembalikanmu pada jalan pikir yang waras.

Begitu ingin aku membenturkan kepala kencang-kencang menyadarkan diri dari kebodohan uang kulakukan 2 bulan ini. Gila! Aku sama tak warasnya denganmu. Sial! Aku menyambutmu! Cinta ini bebal untuk cepat-cepat berlalu meninggalkan hatiku.

Aku mencintai setan sepertimu!

Tuhan mengutukku.

"Kita pasangan"
Katamu setelah mengucap janji-janji yang akh sendiri tak tau kau paham betul artinya atau tidak.
Aku sedang berjalan ke pemakamanku sendiri.


030813 : aroud 2pm
Harusnya kamu yang membunuhku

Day 1

Kami duduk berhadap-hadapan. Aku lelah. Dia nampaknya juga begitu. Rhumraisin ice coffee di hadapanku tinggal setengah. Ia menatapku sebentar sebelum kemudian beranjak menuju meja pesanan memesan sesuatu untuknya sendiri. Aku datang lebih dulu. Menjnggu dalam ketidak pastian selama 3 puntung rokok. Dia kembali, menghempas badannya pada kursi stainless persis di hadapanku, membuang nafas berat, yang bagiku berkesan seperti "hhh apalagi ini".

Sedikit basa-basi.
"Gimana ujianmu?"
Dia menjawab dalam paparan. Kalimat dari kalimat berlompatan. Aku sedang menikmati pembicaraan sebelum bagian inti ini, karena bisa saja segalanya berubah setelah ini.

Kali ini gilirannya berbasa-basi.
"Gimana kerjaan tadi?"
"Well. Ancur.. "
Aku menikmati bagaimana aku masih bisa bicara ringan bersamanya tanpa bermain-main dengan asumsi dalam kepala. Karena aku tahu, segalanya belum tentu akan sama setelah apa yang akan aku bicarakan selanjutnya.

Sudah saatnya kurasa.
"Aku sebel sama kamu belakangan. Kamu main kabur-kabur lagi. Kenapa soh?"
Kamu pasti tak perna sadar bahwa setiap inci tubuh turut bicara. Aku menangkapnya. Terserah apa pembelaanmu. Kamu tak nyaman, kamu merasa diseret ke meja sidang.

Kamu mencoba mengelak, aku mencecar, kita perang tatap dan bahasa. Sampai kembali kamu lontarkan kalimat yg pernah menyakitiku begitu dalam dulu.

Kamu brengsek!

Aku tak pernah menyangka kamu bisa mengulang hal yang sama. Kamu mengerikan! Bahkan sarat akan manusia tak ada padamu! Hati dan otakmu tak bekerja! Emosi meletup-letup di dadaku. Meradang. Kepalaku sakit, sesuatu di dalam dadaku mendesak sesak.

Kamu bangsat!

Aku tak pernah mengira kamu bisa mengulang kekejaman yang sama setelah segala hal manis yang kamu berikan. Setelah kami setengah memohon atas maafku. Apa masih bisa aku menyebutmy manusia?!

"Kita jalani aja"
Katamu kemudian, mengakhiri janji-janjimu soal perbaikan.



300713, around 10 pm
Kenapa kau tak mati saja

8.01.2013

Agustus Terluka Lagi

Kamu pembunuh!

Dia bertumbuh lagi di dalamku, hidup dan berdenyut karenamu. Dia bernafas bersamaku karena ulahmu. Dia mengakar di dalamku atas ulahmu. Dan sama seperti sebelumnya, kamu membunuhnya! Entah apa sebenarnya kamu ini, bahkan syarat akan manusia hampir tak lagi bisa benar-benar kuyakini ada dan menetap padamu.

Aku telah berproses. Menghabisi waktu demi waktu, mengupas lapis-lapis kemarahan, mengampuni begitu banyak kesalahan, melepasmu. Dan di depan pintu kemenanganku kamu datang dengan ribuan keluhmu. Memintaku mengulurkan tangan. Memberikan ruang untuk lebih dari sekedar maaf. Kamu masuk terlalu dalam, tidak mengindahkan pagar-pagar kewarasan dan kekinian yang kamu tau pasti telah susah payah aku rangkai.

Aku jatuh pada putaran cinta bersamamu. Dan kamu tak bergeming seperti dulu. Apa kamu pernah peduli? Apa kamu pernah mau tau?

Dimana hatimu..
Kamu mau membunuhnya sekali lagi.
Dia menjerit-jerit di dalamku, memohon ampun
Kamu tak peduli.



010813
Harusnya aku tak lahir bulan ini

7.28.2013

(me) Mati (kan) Rasa


Apa yang bisa kamu pertanggung jawabkan pada jiwamu?


Bisakah kamu menjamin untuk tak lagi membiarkan hati terluka dan batin tersiksa?


Apa sih yang bisa aku hindari dari sakit dan kehilangan?

Apa yang bisa kamu pertanggung jawabkan pada jiwamu

Bisakah kamu menjamin untuk tak lagi membiarkan hati terluka dan batin tersiksa?

Aku tidak bisa sebegitunya menjaga hatiku untuk kemudian tidak terluka lagi. Bahkan tanpa aku memintaterkadang hati memiliki kehendaknya sendiri. Naluri berjalan sendiri terlepas dari urusan logis – tak logis.

Lalu apa yang lebih bijak dari membiarkan hati lepas dan bebas merasakan apapun semau-maunyaJatuh cintakemudian dibumbung tinggikan asa-asadibuai-manja suka cita termasuk kecewa, terluka patah hati hingga kehilangan.

Tidak ada yang bisa ku control dari itu semuaHati akan selalu menemuinya. Yang bisa aku upayakan dengan keras dan lebih keras lagi hanyalah berhenti terhanyuttetap berdiri sebagai sentral, sebagai porosbukan terombang-ambing rasa dan ikut larut bahkan terlalu larut di dalamnya.

Entahlahhanya sajabagiku sungguh kurang begitu bijak jika aku begitu mengatur hatimemanipulasi rasa dan mencekik segala rasa tanpa pilah-pilih. Kututup hatiku dar segala rasa dan bahaya. Bagiku ini sama saja dengan kutulikan pendengaran jiwaku, kubutakan mata hatiku dan kubekap suara hatiSeperti mencacati diri sendiri. Aku tak mau.

Dan sebagai gantinyaada harga mati yang tak bisa kutawar dari sebuah pilihanaku membuka hati untuk segala kemungkinan rasa yang datang dan hinggapentah sementara atau bahkan menetap.

Bukankah datang dan pergi selalu terjadi? Bukankah pergantian dan perubahan adalah sesuatu yang hampir pasti?

Siap?

Entahlah.

Hanya saja semenjak saat ituaku merasa setengah matirasa.Suka-luka-duka-cita hinggap dan melompat kesana kemariaku hampir tak bisa menyimpan segala rasa yang mampir dengan baik dan semestinya.

Mungkin benaraku pun saat ini masih berprosesentah menjadi apa dan bagaimanamenuju suatu perubahan tentu sajaHanya saja aku belum mampu meramalkan akan lebih baik atau bagaimanahanya saja aku begitu menginginkan aku semakin kuat dan dimampukan olehNya tentu saja.

Segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan.

Aku selalu yakin semua yang terjadi selalu memiliki tujuan.Persetanini urusan Tuhanurusanku hanyalah menjalaninya sebaik-baiknyasekuat dan mampukuhanya saja aku takut Tuhan berhenti membelaiku hingga aku berjalan lagi pada jalan-jalan setapak yang membuatku begitu mudah menghilangkan nyawaku sendiri.

Jika perluaku akan membayangkan bahwa siapapun yang aku cintai adalah orang-orang dengan masa hidup yang pendeksupaya aku mampu menghargai kekinianapa yang masih kumiliki bersamanya tiap detiknyaSupaya aku tak begitu cerobih menghambur-hamburkan waktu dan mengotori memori.Mengalah itu jelas. Cinta ahli melakukannyahanya saja tak semua manusia mampu memahami cintabagaimana cinta,hakikatnya dan apa yang dimaui cintaTak semua manusia memedulikan cinta yang ada di dalam dirinya, yang tumbuh dan mengakar dalam jiwanya.

Andai saja .. 





280713 , 23:48
Kalau saja..

7.23.2013

Pesan

Tiba-tiba terbersit untuk merengek pada Tuhan, memintamu lagi. Tapi aku sendiri juga tak begitu yakin untuk keinginan yang ini. Inginkah? Sekedar butuh sarat afeksi kah? Atau memang benar hati ini hanya melihatmu.

Entahlah.

Entahlah.

Sejujurnya aku masih terlalu lelah untuk melawan dunia, mengingkari semesta soal kita. Seperti yang lalu-lalu. Entahlah. Aku tak tau. Aku tak paham betul seperti apa ini dan apa pula yang sedang dikonspirasikan semesta dan waktu padaku, yang ada kamu di dalam putarannya. Sejujurnya aku masih takut. Luka yang lalu masih basah tentu saja. Masih terlalu mudah untuk dicongkel dan berdarah lagi, oleh siapapun.

Membayangkanmu bersama sosok lain? Melewati dan melakukan segala ritual rutinitas kita dulu?
Ah, bunuh saja aku!

Sekali lagi aku lebih rela menelan berbutit-butir pil aneka rupa daripada diminta untuk membayangkan atau memposisikan diri disana. Aku hanya tak ingin semakin melukai diriku. Apakah bukan hakku untuk menyayangi diri ini seutuhnya? Apakah bukan hakku untuk menjaga hati ini tetap tegar dan baik-baik saja?

Kamu yang dulu pergi dengan segala penolakan dan kekejaman padaku. Bukan aku yang memintamu. Tapi tak apa. Segala hal terjadi untuk sebuah alasan. Aku tak pernah tau apa alasan dibalik segalanya. Tuhan paling pandai bermain-main dengan rahasia. Dan kita manusia, tenggelam dalam asumsi-asumsi kita.

Terkadang aku teringat lagi akan betapa kejamnya kamu membuang aku. Akan begitu jijiknya kamu dan menolakku untuk menjaga hati tetap padamu. Menyakitkan.

Mau tau bagian mana yang paling menyakitkan?
Bagian saat kamu memperlakukan aku seperti fans groupies-mu, yang seakan-akan aku rela telanjang di depanmu hanya untuk bisa bersamamu sedikit lebih lama. Kamu lupa, aku pun punya harga diriku sendiri, kehormatanku sendiri. Jika kamu pernah menolaknya dan menghempaskannya pergi, maka jangan pernah menudingku tak berperasaan saat aku mulai lupa bagaimana menerimamu dengan baik kembali.

Kamu perlu tau, luka yang tertinggal disini, tak mudah kuobati seorang diri.



230713 at 02:14
Sakit ini masih disini

7.19.2013

Part

1 : Aku takut. Dan masih selalu takut sampai kalian bisa menjaminku tak apa-apa dan aman-aman saja disini bersama kalian di dalam kamu. Apa yang kamu lakukan barusan?! Kamu menakutiku lagi. Lihat ini! Aku menangis ketakutan lagi kini! Aku hanya mau aman. Jangan bawa-bawa aku setidaknya. Aku hanya ingin tenang.

2 : (ia marah. Sembunyi lagi diantara 2 lututnya. Tenggelam dalam guncang halus. Aku sangat tak ingin melihatnya pecah dalam guncangan yg lebih hebat. Tak mau lagi. Aku tak mau si kecil tadi ketakutan karena melihatnya menangis terguncang-guncang lagi)

3 : Pergi! Jangan dekati aku lagi! ( tentu saja matanya memerah kini. Napasnya memburu amarah. Dia marah, tak lain lagi, padaku satu-satunya)

5 : Aku sudah peringatkanmu. Kau berkeras. Alasan kemanusiaan, alasan memegang janji, segala alasan kau dewakan! Lihat apa yang kamu dapat! Penghianat tak perna belajar bagaimana caranya menjaga amanat! Masalah padamu! Kau terlalu mudah membuka lebar semua pintu-pintumu! Dengan kurang ajarnya dia masuk dalam segala penjuru kelemahanmu, kemurahanmu. Kau mau menyakiti kami lagi?! Kau mau menyiksa dan memecah belah kami lagi?! Membuat kami saling terasing dan membentengi wilayah kami sendiri-sendiri?


Self : Maafkan aku, aku tak bermaksud memberi jalan pada luka. Menyakiti kalian adalah jalan bunuh diri untukku. Maafkan aku, aku menyayangi kalian, menyayangi diriku dan ya, aku masih menyayanginya. Maafkan aku, aku tak ingin memberikan hati alasan ubtuk terjatuh dan terluka lagi. Tapi aku tau, kalian perlu tau, kita semua harus tau, bahwa tak satupun dari kita, bisa benar-benar menjaga hati dari sakit hati. Jangan marah, jangan hakimi aku, aku hanya mengikuti naluriku, mendengarkan apa kata hati. Mencoba memahami pesan ilahi. Aku membutuhkan kalian, aku menyayangi kalian, jangan begini. Aku pun tak ingin tersakiti lagi. Ya, aku tau, kita perlu lebih berhati-hati.



                                                                                                                           190713. At 01:09
                     Tutup pintu. Ketukanmu membuatmu sopan saat bertamu.
                                     Ini hati, bukan dunia fantasi

7.10.2013

Tuhan,..

Tuhan, .. Pantaskah aku?
Aku mendamba seseorang yang menuntunku padaMu
Aku mendamba kasih yang jelmaan dari perpanjangan kasihMu
Aku mendamba pemilik nama yang kau tulis dalam kitab akhir
nasibku




100714
Tuhan,..
00:35

7.08.2013

Surat Doa

Tuhan apa yang terjadi?

Kau mengembalikan makna hidup pada genggamku namun mengambil nyata darinya.

Tapi Tuhan, … Jika ini adalah hukuman atas bagaimana aku begitu takabur mengingkari nikmatMu, maka kumohon sebuah kekuatan dan kebesaran hati untuk menerimanya.

***

Aku berdiri di depan cermin setinggi satu seperempat kali tinggiku. Ada yang berbeda. Entahlah aku tak yakin, tapi aku merasa sorot tatapku tak lagi sama. Aku merasa wajah ini begitu suram.

Kurang tidur?

Bisa jadi. Mengingat pola hidupku yang semacam nyaris terbalik dari kebanyakan manusia normal dalam kurva mestinya. Aku jatuh terlelap dalam tidur-tidur ayam menjelang subuh dan seringnya terbangun dengan kondisi terkaget di beberapa jam kemudian. Kalau aku tak salah mengingat dan menghitung, tiga atau empat jam bukanlah waktu cukup yang ideal untuk ditiduri.

Aku rasa banyak orang religious yang selalu benar akan kalimat Ketuhanan mereka.

Tuhan mendengar segala doa, dan memenuhinya.”

Tuhan mendengarkan doa ku, aku ingin kurus. Dan dia memberiku kesempatan memenuhinya lewat insomnia dan siklus muntah-muntah di tengah malam.

Well.. Normal was boring, I know, but God, I missed to be it.

Badanku mengurus. Aku tak memercainya sampai aku sendiri bosan mendengar testimoni sekitar yang mengataiku ini-itu soal penyusutan drastis bobot tubuhku, yang bagi mereka terlihat begitu signifikan pada bentuk tubuhku. Sampai suatu malam aku menyadarinya dengan mataku sendiri, kaki-kakiku mengurus, dan lengan atasku menyusut diameternya.

Aku terlihat menyedihkan. Lucunya ini terjadi ketika aku memutuskan untuk bahagia.

Lalu aku mulai meragukan diriku sendiri. Aku tak yakin ini sekedar gangguan tidur dan pola makan. Aku mencurigai diriku sedang menyakiti dirinya lagi. Oh kumohon jangan lagi, jangan di saat aku ingin kembali menyayangi diri ini.

Sejujurnya belakangan aku merasa begitu sering “melayang”. Entahlah, ini terasa begitu ringan. Bisa jadi karena aku kehilangan beberapa kilo dari bobot semulaku. Atau bisa jadi karena aku dilanda shock kepala setelah menguras habis isi perutku. Sejujurnya aku mulai merasa takut.

“Tuhan, bolehkah aku minta baik-baik saja? Aku ingin kembali pada makna normal seutuhnya. ”





080713/04:06
God, Save Me


6.01.2013

CHEATER!


Apa yang terjadi sebenarnya. Kamu pergi, dan aku percaya ini karena kita. Karena aku yang begini dan kamu yang begitu, karena kita tak menemukan sebuah cara baru yang bisa kita pakai bersama-sama untuk adil. Aku sempat menyalahkan diriku atas apa yang terjadi diantara kita, dan rasa itu menghukumku. Aku sakit di banyak tempat, aku terluka di banyak waktu, dan aku tergelincir beberapa kali di beberapa moment. Dan ini semua beberapa persennya berkat ulahmu. Akui itu.

Aku mau pergi. Aku mau bisa juga melangkah jauh ke depan -menuju arah yang tak lagi sama denganmu- sepertimu. Aku ingin langkah-langkah ini ringan menapak maju. Aku tak mau diberati ketak-mampuanku atas apa yang terhubung denganmu. Aku ingin pergi meninggalkan sakit, seperti caramu pergi meninggalkan aku. Kamu pernah berjanji, ah bukan, kita telah sepakat masalah menjaga tali-tali kebaikan untuk saling bertautan, tapi kamu mengingkarinya di malam perdana kita untuk membuktikannya. Kamu menjadi setan yang bertubuh kamu, bertingkah semenyebalkan dan sekejam penjahat dalam sosok kamu. Kamu bertingkah acuh –come on aku tak memintamu menggandeng dan memeluk pinggangku- berjalan begitu jauh di depan seakan aku perempuan bau yang tak nyaman untuk sekedar kamu jajari saat berjalan. Kamu bicara seakan aku adala anggota fans beratmu yang rela kamu apa-apakan untuk membayar kesempatan bersama. Aku baru saja bisa berdiri tegak malam itu, dan kamu menghantamku telak dengan tingkahmu. Sesusah itu berlaku baik pada aku yang dulu ada sosok untukmu?

Aku tak tau dimana hatimu saat itu. Dimana rasa kemanusiaanmu.

Malamnya aku memenuhi apa yang belum kulakukan denganmu dan hanya malam itu kesempatan aku memakai baju kedua sekaligus yang terakhir yang kamu belikan untukku. Aku tak peduli kamu sadar/tidak, aku melakukannya untuk kebutuhanku sendiri. Supaya aku lega dan tak merasa tak berhutang pamer. Dalam mobil yang minim suara. Aku masih baik-baik saja. Sampai entah tiba-tiba kamu menyebalkan dengan mengumpat sumpah serapah yang selama usia hubungan kita yang lalu, tak lagi pernah kamu ucapkan. Kamu menjadi makhluk mengerikan malam itu. Belum lagi temperamenmu yang berubah seakan aku tak pernah mengenalmu sebelumnya. Kamu mengangkat telepon dari suara perempuan yang diseret manja di sebelahku. Sedangkan aku, aku harus bertindak sewajarnya untuk kenyamananmu dan kepentinganku sekaligus.

Sepanjang umur hubungan kita, seingatku kamu tak pernah mempermasalahkan hal sepele sebegini pentingnya, seakan ini urusan hidup-mati yang membawa-bawa nyawa. Kamu protes padaku yang kurang pas menutup pintu mobil (papa)mu. Aku minta maaf. Kamu mengungkit lagi. Aku muak, ya, kali ini giliran aku yang bilang bahwa ini ‘akumulasi kemarahanku atas tingkahmu seharian’. Aku menangis, menelepon ibu (kamu orang yang mengembalikanku pada fungsi keluarga), aku bercerita semua yang terjadi dan menyebalkan hari itu. Ibu meminta untuk aku menjaga diriku sendiri tanpa lagi memberati kamu. Aku tak yakin. Tapi aku tau pelan-pelan aku pasti bisa mengerti.

Sampai suatu hari aku merasa kamu tak lagi membutuhkanku ada dalam hidupmu. Aku pergi, demi keleluasaanmu, demi kemudahanku, sekali lagi demi kita walau kini aku dan kamu bukanlah kita lagi. Aku memutuskan semua kontak. Aku memutus akses. Aku bersiap menambah speedku, dan mengembalikan segala kebebasan padamu. Supaya kamu tak perlu takut-takut atau tak enak hati saat ingin memajang foto bersama perempuan barumu.

Aku menemukan sebuah temuan dalam link-link pertemanan kita. Tuhan berbicara lagi padaku. Aku menemukan sebuah foto, melihat tanganmu merangkul pundak perempuan lain. Ha. Bingo! Kamu tak bisa membunuh sensibilitasku, dan kamu perlu tau, kadang apa yang bisa kita lihat berbicara jauh lebih banyak dari apa yang bisa mulut katakana dengan jujur. Besoknya aku tau kenyataannya, kamu sedang menjalin sesuatu bersama salah satu objek kecurigaanku sejak dulu.

 Hebatnya kamu.

Apa yang sedang kamu mainkan dengan apik di belakangku selama ini? Apa yang sedang kamu rajut dengan rapih tanpa sepengetahuanku selama ini?  Sedangkan aku yakin kamu tau persis sejauh apa aku menghukum diri karena aku menyalahkan diri atas segala yang terjadi diantara kita, dan ini karena aku percaya, tidak pernah ada siapa-siapa.

Maka jangan tanya kenapa aku tak mau menjawabmu. Kamu masih mengenal caraku marah. Dan bagaimana bicaraku padaku yang sedang marah. Maka gunakan otakmu kali ini, bawa hatimu serta dan perlakukan semestinya.





1st 0f June 13
010613 , 03:09
Ruang Panas
Ya, aku meninggalkan pesan

5.29.2013

Laki-Laki dan Perempuan Luka



Bukan aku pelakunya. Bukan aku pembunuhnya. Aku tak keji, aku berhati nurani dan aku tak kan pernah sampai hati. Aku yang menumbuhkannya, aku yang membesarkan, aku sendirian.

***

Foto terbingkai dalam wadah logam berlapis kaca design modern minimalis. Classy. Seorang perempuan mencuri lihat dalam lirikan sekilasnya yang ditujukan pada isi bingkai. Setengah takut, setengahnya lagi rindu, keseluruhannya dilakukan untuk menguji keberadaan rasa dalam hatinya. Meja kerjanya entah mengapa dirasa tak lagi sama. Bukan soal ukuran, dari dulu selalu 1,25 x 100 cm. Juga bukan soal warna, dari dulu tetap khas cream kayu. Yang berbeda adalah isi. Seperangkan PC tentu masih bertengger di sudut kanan, tray dan file holder masih berderet rapih di sisi kiri, bagian depan , bingkai foto dan isinya, disana yang berbeda.

Tadinya jika seharian ini adalah neraka baginya, maka isi bingkai foto itu akan menjadi moodbooster yang mengingatkannya bahwa ada jaminan kebahagiaan di penghujung hari. Atau jika seharian penuh ini dirasanya lebih parah dari sekedar neraka yang ia bayangkan, ia bisa segera meratap lewat smartphone-nya, ditujukan pada isi bingkai foto.

Ia masih bisa merasakan ada getaran lembut yang turut berdenyut bersama dengan degub kemarahan dan getar sakit hati yang bercampur di dalamnya. Mendominasi untuk merusak mood beberapa jam kedepan atau bahkan seharian. Berkali-kali ia berniat membuang bingkai beserta foto yang menjadi isinya atau sekedar menelungkupkannya supaya isi foto tak terlalu mengganggu harinya lewat pandangan pertama. Tapi selalu diurungkan dengan berbagai macam alasan, mulai dari rasa sampai alasan kemanusiaan.
Kita semua tau, dia sedang tak ingin membunuh apapun, walau isi foto itu adalah alasan mengapa ia harus terluka.

***

Kamar ini masih sama, langit-langitnya masih tinggi, tak pernah runtuh walau hatinya runtuh menimpa harapan-harapannya akan sesuatu yang berpengaruh dalam masa depan yang dirakitnya dalam angan. Perempuan tadi berdiri di depan pintu kamarnya, lampu masih belum  menyala, atmosfir masih sama, sedikit lembab seperti biasa kala ia meninggalkan kamar agak lama. Disapukan pandangannya ke seisi kamar, langit-langit, menoleh kebelakang, ada harapan tersisa, minta dihidupi oleh keyakinan-keyakinan yang mati perlahan.

“Hhhh” ia menghelah nafas sebelum akhirnya menghilang dalam kamar.

Ia meletakkan sepasang stiletto di rak sepatu yang bertengger dibalik pintu. Terhenti beberapa saat sebelum meletakkan sepatunya di bagian tengah atas. Selalu tersisa satu spaceuntuk sepasang sepatu di deretan atas. Dan ia akan kosong dalam waktu yang tak bisa dipastikan sekarang. Tersenyum kecut. Diletakkan sepatunya di space special tadi, ia ingin mengacaukan pola yang diaturnya begitu teratur selama 2 tahun belakangan ini.

Dinyalakan sepuntung rokok, dinyalakan AC, mendengus tawa sinis. Ia tau tak aka nada nada protes dan teguran nyinyir lagi setelah kebiasaan lama yang diulangnya kembali 2 minggu ini. Perutnya lapar. Setelah menyalakan Tv di chanel yang selalu itu-itu saja, ia pergi ke meja dapurnya, mengecek bahan apa yang tersisa dan bisa dimasaknya jadi makan malamnya. Beberapa kali ia harus tersenyum dengan berbagai expresi. Saat menyalakan Tv di chanel yang selalu sama, saat membukan kotak persediaan bahan makanan dan menemukan saus barbeque dan parsley kering yang mengingatkannya pada chicken cordon bleu buatannya yang menjadi favorit seseorang, saat menemukan sepasang sumpit di dalam laci piring, bukannya di laci sendok garpu. Diambilnya beberapa butir telur, daun bawang, mix vegetable, keju dan korned, menu kesukaan seseorang yang paling sering dibuatnya.

Air matanya jatuh dalam penggorengan.

***

Aku sedang muak. Aku tak ingin menjalaninya lagi. Aku tak ingin mengulur sakit lebih lama lagi, aku tau ini percuma. Aku yang akan pergi, demi hati.

***

Lelaki ini ingin disebut lelaki sebenarnya. Dan seperangkat PC yang bertengger di sisi kiri meja kerjanya adalah pengalih sempurna dari apa yang sedang dihadapinya saat ini. Sibuk dengan socmed, dengan jejaring-jejaring maya yang digilainya sejak lama, tempat yang membesarkan harga diri dan jati dirinya, tempat dimana orang akan menerimanya tanpa penolakan yang sering dialaminya di dunia nyata. Ia meracau ini-itu, membual beberapa untai kata yang praktiknya adalah kosong. Ia tau itu, ia menyadarinya, tapi kenyamanan semu sudah terlanjur dinikmatinya sejak lama. Ia tak bisa pergi dari tipuan eksistensi.

Batinnya sedang berperang, bukan satu lawan satu, tapi satu lawan sekian. Nuraninya sedang tercabik, ia sedang tak menjadi dirinya. Walau sebenarnya itu sudah teradi sejak lama. Tapi kali ini, ia merasa bahwa ini lebih-lebih lagi. Bukan kebebasan, ia tau ini pembebasan sementara, ia sudah memprediksi kapan luka akan datang padanya dari gerakan kebebasan yang baru-baru saja dilakukannya. Ia tau persis akan aturan karma. Ia sedang diburu sesuatu, dan ia tau apa yang bisa dilakukannya untuk terus lari dari itu semua.

Malam ini adalah waktunya.

***

Tempat ini, deru kebisingan ini, ia pernah merindukannya, tapi kini ia tak yakin apakah ini yang benar-benar ia rindukan, sekarang tak ada lagi yang melarangnya pergi kemari dengan berbagai alasan moralitas. Ia sedang bersama para pengalih rasa, teman-teman yang selalu hampir di nomor utamakan, menggeser peran seseorang dalam hidupnya. Ia tau, sekarang ia bebas menghabiskan waktu dengan teman-teman pencari eksistensinya. Tapi hatinya belum terbiasa untuk merasa nyaman kembali melakukannya.

Musik menghentak. Ia menyibukkan segala yang terbangun dalam dirinya untuk terjun ke lantai dansa. Sedangkan di mejanya, sebotol minuman yang sama sedang menunggu. Minuman yang dipesannya di kencan pertamanya di depan perempuan lamanya, minuman yang menghantam kesadarannya. Ia tau malam ini ia akan sukses berlari. Tapi ia tak yakin apan yang terjadi nanti-nanti, ia tau ia tak bisa begini dalam waktu yang lama sekali. Tapi toh lelaki ini sangat menekankan fenomenologi, kini, ini dan saat ini.

Musik menghentak, kesadarannya berontak dan meledak.

***

Pukul 2 dini hari. Semua yang dirumah sudah tertidur. Dilucutinya semua busana, tertinggal boxer yang selalu melekat padanya. Tanpa membasuh apapun, dirobohkan tubuhnya di ranjang  sepi. Sejenak menoleh ke kiri, menyentil memori, tadinya ada perempuan yang tidur sembunyi-sembunyi di sisi kiri ini. Lalu terpejam. Bawah sadarnya menari-nari. Memunculkan ribuan memori dan beberapa perempuan yang sedang didekatinya kini, perempuan lama tak pernah lepaskan kendali mimpi, ia masih disini.

“14 hari. Sepi sudah kuhabisi”

Lelaki tadi mengigau dalam sepi.

***

Alarm berbunyi.

Laki-laki terbangun, entah itu dering keberapa, ia yakin ini bukan yang pertama kali. Dan ia kembali ingat, tak ada lagi yang akan marah-marah membangunkannya lagi. Setidaknya untuk saat ini dan beberapa waktu hingga entah kapan nanti. Ia tak mau ambil peduli, toh yang penting adalah masa kini. Alarm dalam ponsel ditekan mati. Pergi ke kamar mandi. Di bawah shower ia membasuh luntur cideramata peninggalan mimpi.

Biasanya sepagi ini aka nada perempuan yang mengomel dari ujung jari, membombardir ponselnya dengan ratusan pesan yang semuanya meratap ini – itu dan mebahas apapun kesana-kemari. Kini paginya tenang, seperti yang ia impikan, tapi kini (lagi-lagi) ia tak yakin bahwa ini yang dimaui. Akhirnya seperangkan PC menjadi penghibur lagi.

***

Jam makan siang. Makanan kantor menyusahkannya yang berlidah pemilih. Ia harus keluar. Kali ini sendiri. Tak ada perempuan lagi yang bisa diajaknya berunding soal “enaknya lunch dimana”. Pilihannya jatuh pada 


Dia bingung, ada beberapa option, beberapa tempat makan disekitar bilangan kantornya sudah dipenuhi perempuan lamanya. Pada akhirnya ia memilih melesat ke kedai mie ayam di seberang sana, dengan asumsi tak terlalu banyak kenangan soal perempuan tadi disana. Sampai disana tubuhnya menuntunya menempati kursi yang sama. Ia salah perhitungan. Kenangan disini terlalu kuat. Kenangan dimana ia memutuskan untuk mengakhiri kisah dengan perempuan itu.

Ia melihat baying perempuan itu di hadapannya, menunduk, membungkuk dalam tubuhnya yang mengurus, wajahnya tak bahagia, ia hamper tak mengenalinya, tapi kenangan ini kuat memainkan jatah di sebagaian besar otaknya. Ia merasa ada hentakan-hentakan keras yang memukul-mukul dinding nuraninya, ia mulai menyadari apa yang diperbuatnya pada seseorang. Tapi sayang, lelaki ini tak begitu pintar mengolah airmata, hanya saja asin dirasa mengalir di kerongkongannya. Mie ayam pun tak tampak begitu menarik lagi untuknya walau ya, ia harus mendewakan porsi logisnya untuk tetap makan, alih-alih menghindari merasa sama menyedihkannya dengan perempuan yang dicampakkannya. Tak ada yang perlu tau bahwa ia pun terluka.

***





Di 290513 , pada 9:52
Tanah ini, sedingin yang di dalam sini.
Aku masih mau tau