12.19.2011

MISSing

Sudah 22 jam dan kamu belum juga memberi kabar. Kamu terlambat 22 jam. Dan Aku masih berdiam disini, menunggumu datang. Siapa tau kamu sedang terjebak macet yang tak bisa kamu jelaskan betapa padatnya dan susahnya kamu bergerak, sementara telepon genggammu mati, kehabisan pulsa atau ada di luar jangkauan signal kota. Yang pasti aku akan memberikan pengampunan untuk keterlambatanmu dan segala alasan yang memberatinya. 22 jam, 2 kali hujan dan angin kencang semalaman. Aku merindukanmu, tapi aku hanya bisa menunggu. Telepon genggamku sedang berjuang mengalahkan trouble, jemari tanganku juga sedang berperang melawan pengaruh pikiran dan perasaan. Aku pun kacau.

Di luar kaca jalanan masih sepi, gelap masih pekat angin masih menampar-nampar wajah malam. Mataku lelah terjaga semalaman. Kantuk benar-benar enggan menyapa perempuan yang sedang galau-balau memang. Sudah 2 pack rokok dan bergelas-gelas kopi kulewatkan tanpa cecap-sesap nikmat. Terlalu sibuk menunggumu. Kamu lama sekali. Ada apa?

Kalau kamu mau tau apa yang paling kubenci dari penantian kali ini adalah jarum jam. Sungguh aku tak pernah merasakan persis betapa cepat jarum detik berdetak menjadikan waktu pada hitungan menit. Dan sekarang tepat 22 jam dan 5 menit kau belum juga datang. Aku meletakkan jam kecil di meja ini, sungguh menyebalkan melihat 3 jarum berputar-putar. 22 jam 5 menit tanpa lampu, biar aku tak begitu terganggu dengan persis gerakan masing-masing jarum jam. Dan sia-sia saja, tetap mereka berdetak dalam bunyi, membuatku menghitung dalam hati, bahkan hatipun bisa menerka pasti pukul berapa ini.

Mataku lelah, sungguh..

***
23 jam lalu.

“Bisa kau akhiri cerita ini jika kau mengucapkannya didepanku sekarang juga. Bukankah 15 menit adalah waktu yang tak terlalu lama dibanding 3 tahun kebersamaan kita. 15 menit juga tak terlalu lama untuk aku menunggumu disini menyelesaikan segalanya diatara kita. Kutunggu disini, berhati-hatilah, aku tak akan mengganggu perjalanan beratmu, aku akan bersabar saja menunggumu disini.”

“Klik…” kamu memutuskan hubungan dari seberang dan telepon genggamku berdenyut gelisah. Tentu saja hatiku lebih dasyat lagi isyaratkan gelisahnya sendiri.

***
25 Jam lalu.

“Sudah kubilang, aku tak pernah menduakanmu sekalipun dengan pekerjaanku”
“Aku tau”

“Lalu kenapa kau begini padaku?”

“Itu yang aku tak tau. Jika kau tanya, tetap aku tak tau. Aku hanya tau aku mencintaimu. Aku yangt salah
memang.”

“Dimana salahku?”

“Ada, hanya saja aku susah mengatakannya.”

“Bisakah kamu lebih dewasa memilah cara penyelesaian masalahmu? Ayolah..”

“Aku hanya mau kamu memaafkanku. Cukup itu saja. Memang aku yang salah.”

“Aku tak bisa. Aku tak pernah menduakanmu, maka aku tak mau kau duakan sekalipun.”

Kalimat terakhirmu dalam sms. Kita selalu bertengkar dalam jarak.

***
29 Jam Lalu.

“Terimakasih sudah mengantarku pulang. Bisakah kita simpan malam ini hanya untuk kita berdua saja? Aku tak mau adikmu tau. Dia akan terluka jika tahu segalanya yang baru saja kita selesaikan.”
“Yang kita selesaikan barusan ini adalah segala hal yang kita simpan beberapa waktu sebelum kau mengenalnya. Bukan salahmu, tapi salahku yang telah membiarkanmu menungguku begitu lama.”
“Bisakah kita kembali seperti saat sebelum ada apa-apa diantara kita, walau aku telah menjalin sesuatu dengan adikmu?”
“Bisa kau pegang janjiku. Maafkan aku telah menyimpan kebodohan yang kupikir hanya akan menyiksaku seorang diri. Selamat malam.”

Sebelumnya waktu mempertemukan aku dengan kakakmu, membiarkan kami berada dalam satu tempat yang sama selama beberapa waktu, memberikan kami banyak kesempatan untuk saling jatuh cinta. Jauh sebelum aku mengenalkanmu. Kebodohanku adalah aku terlalu suka menunggu dan menyimpan. Kebodohannya adalah terlalu rapih menyimpan dan terlalu lama mempertimbangkan. Lalu kami berpisah dalam jarak dan waktu yang membuat kami pulang dengan pedih masing-masing.

Mengenalmu bukanlah sebuah kebetulan. Bertemu denganmu adalah sebuah keajaiban yang direncanakan Tuhan. Tapi mengetahui kau adalah adiknya adalah kebenaran yang membingungkan. Bukan karena rasa yang masih ada, tapi karena rasa yang tak pernah tersampaikan kembali muncul menjadi denyutan-denyutan yang mengganggu tumbuhnya cintaku untukmu.

Dan malam itu aku meminta kakakmu datang menyelesaikan urusan yang belum selesai dengan hatiku. Yang kau pikir adalah sebuah perselingkuhan, yang bagi kami adalah sebuah penyelesaian.

***
,div style="text-align: justify;">
03.15 am

Kakakmu datang. Hujan turun lagi. Aku hampir mati dihajar sakit hati.
“Kita butuh donor untuknya, kecelakaannya membuatnya harus dioperasi. Dia membutuhkan kamu.”

***
48 jam setelah itu

Aku masih disini. Kamu terlambat hampir 3 hari. Dan Aku masih berdiam disini, menunggumu datang. Kupikir ada sesuatu yang mengganggu perjalananmu, bisa jadi hujan yang turun beberapa hari ini, macet yang membuatmu sulit bergerak, atau ruang anatara kita yang sudah berbeda sama sekali. Yang pasti aku akan memberikan pengampunan untuk keterlambatanmu dan segala alasan yang memberatinya. Aku merindukanmu, tapi aku hanya bisa menunggu. Telepon genggamku sedang berjuang mengalahkan dimensi. Perasaanku sedang berperang melawan pikiran dan kenyataan yang mengatakan kamu sudah pergi dan tak akan datang lagi.





Di pojokku, pada 11:36
Di 171211
Mencoba Membuka Sesuatu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar