4.17.2012

Little Story at The Coffee Shop




Bermula dari pesanan yang tertukar. Aku yang membenci segala yang manis-manis dengan kecerobahanku yang melewati batas, dengan kamu yang sangat menyukai cokelat dengan penciuman peka yang sangat mengenal khas aroma kopi dalam cup tertutup.

“Mas! Ini cokelat! Bukan Kopi!”

“Permisi, saya pesan Hot Chocholate Mas, bukan Sidikalang.”

Lalu kamu dan aku, ah, kita saling bertukar tatap, berpaling kekanan dan kiri untuk bertemu tatap pertama kali, lalu saling tertawa menyadari minuman kita yang tertukar.

“Manis sekali.” Aku mengangkat cup tertutup yang seharusnya adalah pesananmu.

“Strong sekali.” Kamu menggeser cup tertutupmu di depanku. “Belum kuminum, aku bisa menebak dari wanginya yang khas. Silahkan jika tidak keberatan. Setidaknya Mas ini tidak terlalu lama melayani kita untuk kedua kalinya.”

“Terimakasih. Sonja.” Aku mengulurkan tanganku, menagih sebuah tukar nama untuk mempermudah ucapan terimakasihku yang semestinya.

“Shandy. Bahkan orang bisa tertukar memanggil nama kita.” Kamu membalas dengan semestinya.

“Terimakasih Shandy, aku kembali ke mejaku.”

Aroma sidikalangku menguak ketika kubuka penutup cup-nya. Ini favoritku, original black coffee. Dan akan memperlancar jemariku membentuk irama-irama kata dalam kalimat-kalimat yang terberai dalam kesemerawutan otakku. Aku sedang dalam kejaran deadline, dan ingin segera meloloskan diri dengan melunasi hutangku akan tanggungan naik naskah berikutnya. Besok hari terakhirnya, sedangkan insight belum juga lolos dari jeruji dalam otak sana.

Oke, Sonja, bagaimana jika kau mulai dengan membuat relaks dirimu dulu. Nikmati kopimu. Nikmati alunan music café ini. Resapi kesunyian dan kesenyapan sudutmu disini. Dan aroma musk white.

“Sonja, …”

Musk white?! Wait!! Aku tersentak dari tenggelam yang berangsur dalam kenyamananku menemukan insight. Terbangun dan berpaling ke arah sumber wewangian dan, ah dia lagi.

“Ya?”

“Kamu meninggalkan dompetmu dan struk pesananmu.” Oh, well. Payah sekali.

“Oh, sorry. Thanks. Ah, yeah. Thanks. Maaf aku jadi kagok.” Dobel payah!

“Ah, nggak. Aku yang harusnya minta maaf mengagetkanmu. Silahkan kamu lanjutkan tidurmu.” What?? Dia berpikir aku tidur? Di café shop?

“Ooo nggak. Ini sebenernya cuman lagi relaks. Aku nggak tidur.” Dan aku masih tetap tak tau kenapa aku harus menjelaskan ini padanya. Ah, kacau sekali!

“Well. Nikmatilah kopimu. Dan pencarian kenyamananmu.”

“Thanks, Shandy.”

Aroma Musk Whitenya pergi. Ah, sepi lagi. Aku merogoh tasku, mengoprek-oprek isi kantong depan. Mencari rokok dan pemantiknya. Rokok ketemu. Dan masih tetap bersikeras meyakini bahwa aku memasukkan pemantikku di kantong depan situ sebelum aku bergegas dengan terburu…

Terburu?
Ah, aku lupa! Bisa jadi masih di meja kerja dalam kamar kostku!

“Boleh aku join? Setidaknya aku punya pematik gas disini.” Musk White datang lagi, dan ada sesuatu yang berlompatan di dalam perutku.

Lalu kita bicara banyak hal. Tenggelam dalam cerita-cerita dan topik-topik menarik yang bergulir menemani menit-menit kedepan kita. Yang kusadari, aku tertarik padamu dan mendapatimu akan ada dalam kisah berikutnya. Entah mengapa saat kamu berbicara dan berapi-api bercerita, ada seuatu yang berdesir di dalam dada ini. Matamu yang memancarkan sorot menarik yang tak bisa kugambarkan selain dengan kata “Menarik”, bibirmu yang selalu menyunggingkan senyum selagi kamu bercerita, dan alis tegas yang meliuk naik-turun menunjukkan betapa bersemangatnya dirimu membagi cerita padaku. Dan sekali lagi Musk White membiusku.

Aku tau kamu teratrik padaku. Sama jelas dengan bagaimana kamu tau aku juga tertarik padamu. Kita sedang bermain pura-pura asik dengan topic. Dan aku menikmati caramu menggiringku kepertemuan selanjutnya.

“Hey. Bukankah berkencan dengan penulis di tempat semacam ini seharian adalah hal yang membosankan?”

“Rekomendasimu?”

“Jadi katakan mana yang kamu suka, gemerlap bintang atau gemerlap kota yang menyerupai bintang?”

“Bukankah yang asli adalah yang dicari?”

“Keduanya bisa kamu dapatkan ditempatku. If you don’t mind, Lady Sonja.” Manis. Tepat di saat yang tepat.

“As you wish.”

***

Di ketinggian sekian puluh meter. Di sebuah ruang yang dipenuhi aroma Musk White.


“So how? Apakah cukup membantumu menemukan insight mu?”

“Entahlah, Shan. Hanya saja aku sedang hanyut dalam wewangian di dalam sini. Dan di luar sana cukup dingin untuk melepas insight bebas berlarian.”

“Aku punya Timica* jika menurutmu itu menarik dan cukup membantu.”

“A cup of Timica,please.”

Bukan ruangan yang terlalu rapi sebenarnya. Masih terlihat beberapa pemandangan yang kurang menyenangkan di dekat pintu masuk. But over all, ini masih cukup rapi jika dibanding dengan beberapa kamar laki-laki yang biasa aku kunjungi. Setidaknya ruang tengah sekalian kamar tidur ini memiliki atmosfir yang cukup nyaman untuk kutinggali beberapa saat, ditambah dengan wangi Musk white yang menjelajah seluruh isi ruangan. Aku curiga ia menyemprotkan wangi perfumenya ke seluruh ruangan sebagai pengganti pewangi ruangan yang memiliki bau khas picisan.

Dan kamu kembali dengan 2 cup mengepul uap dengan 2 aroma berbeda.

Aku tenggelam dalam aroma Timica yang kau suguhkan, dan sisa musk white yang menguak dari badanmu. Tanpa kata-kata dan kalimat lain. Kita sedang menikmati diam dan sentuhan. Kita sedang menikmati malam diantara gemerlap bintang.

***

04.12, Esoknya. Kurampungkan ceritaku.


Terimakasih.

Kupinjam cerita kita seharian lalu untuk waktu dalam kisahku.

Aku pulang. Kau tau harus bagaimana jika tertarik untuk lanjutan kisah yang ku

berikan semalam.

Sonja



Lelaki dalam kisahku terbangun, mengambil secarik pesan dalam kertasku. Tersenyum. Aku tau kapan ia akan mencariku.





17.04.12
Bagaimana aku mengingatmu
Dalam banyak cerita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar