4.26.2012

My Name is Je

Rambutnya lurus, agak berombak dibagian bawah, tidak begitu hitam berkilau, tapi seppertinya lembut, mungkin karena pewarnaan beberapa kali. Tentu saja. Dia sangat modis mengikuti trend. Tidak terlalu tinggi, kutaksir setinggi daguku. Jika kita berdiri berhadapan, mungkin aku bisa dengan mudah mengecup keningnya lembut. Selalu mengenakan baju yang tak membalut habis tubuhnya, selalu ada kesan seksi khas yang dieksplorenya dalam berbusana. Tidak begitu kurus, tapi tetap seksi di mataku, tetap sempurna, sesempurna bagaimana ia mengawali harinya dengan khas gayanya.

Dia tidak berjemari lentik, hanya saja bentuk jemarinya sangat membuatku tertarik, tetap saja, dia memukauku dengan caranya sendiri. Walau bisa saja dia pun tak pernah bermaksud begitu. Bisa jadi karena aku terlalu terobsesi.

Obsesi?

Entahlah.

Tidak sebegitunya kukira.

Pagi ini dia mengenakan terusan berwarna putih yang berhenti sebatas seperempat bagian bawah pahanya. Lutut yang bagus. Betis yang proporsional bagiku, dan sekali lagi, ia sempurna bagiku. Rambutnya yang panjang tergerai begitu saja, agak kusut tertiup angin kecil, atau bisa juga karna ia menyisirkan jarinya kebelakang, seringkali dilakukannya ketika sedang tak sabar atau gugup, yang mana entahlah. Matanya masih sama, masih khas dengan caranya menatap nyalang ke berbagai arah, sepertinya sedang mencari-cari, entah apa.

Aku selalu tertarik dengan sudut matanya yang tajam terangkat, membuat ia selalu tampak misterius. Sekarang ia berjalan ke arah kubikelnya, meletakkan hermes putihnya, menarik kursi dan menghempaskan badan dengan anggun –masih dengan cara yang kubaca begitu- dikursunya. Kali ini kuku-kuku cantiknya dipoles kuteks berwarna gelap, entahlah warna apa, semacam ungu, atau hitam mungkin. Sambil menunggu unit PC nya menyala, ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, suara benturan anatara kuku dan kaca dimeja terdengar berderap nyaring. Sekali lagi, aku suka.

 “Je, klien lo udah dateng di depan.”

 “Darimana?” sambil memalingkan sebagian badan memutar kebelakang, beberapa helai rambutnya ikut bergerak.

Wah!

 “Outsource yang di Jakarta.”

 “Okay. Minta suruh tunggu ya, Bi.” Ia berdiri, merapikan bagian bawah terusannya yang sedikit terangkat ketikan ia duduk. Merapikan sedikit rambutnya. Dan pergi.

 Jeremiah baru saja 2 minggu bekerja disini. Sebagai bagian dari departemen perusahaan yang sama dengan tempatku bekerja. Aku merekrutnya dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sangat picisan dan sangat norak, tapi aku sedang mengalaminya, dan aku menikmatinya. Aku tak tau banyak, yang aku tau, aku sudah beristri dan rumah tanggaku sedang tergoncang setahun belakangan. Istriku infertile, ada keanehan dengan system reproduksinya. Tadinya kami baik-baik saja, bahagia, seperti kebanyakan pasangan suami-istri di masa-masa awal perkawinan, bergairah dan dimabuk kepayang. Setelah 2 tahun pernikahan dan belum juga membuahkan hasil dari persilangan malam-malam yang giat kami lakukan, Teresia mulai merasakan ketidak beresan dalam dirinya, dengan tubuhnya. Dan dokter menambahkan bumbu untuk semakin dramatisnya kisah rumah tanggaku dengan Teresia. Dokter menyatakan Teresia infertile dengan alasan kelainan pada rahimnya, yang selalu menggagalnya tiap benih yang kutanamkan padanya. Teresiaku mulai kalut, jatuh semakin terpuruk dalam kesedihan dan rasa bersalah akan ketidakmampuannya melengkapi kebahagiaanku.

Teresia menjadi semakin sering menangis tengah malam, semakin kurus dan semakin limbung. Hingga mulai terjadi beberapa pertengkaran antara kami. Sebenarnya aku tak pernah mempermasalahkan ketidakmampuan Teresia dalam memberikanku seorang keturunan, aku sungguh memahaminya. Namun paranoia yang hinggap di dalam benaknya seakan betah dan enggan pergi, semakin meluas dan semakin mengakar. Teresia semakin jauh dariku. Enam bulan lalu kami berpisah ranjang. Ia memilih tidur di kamar tamu, ditemani perasaan-perasaan insecure dan segala pikiran paranoidnya tentang perkawinan kami dan kebahagiaan kami yang aus terkikis perlahan.

 “Mr. G. Sudah melamunnya?” Jeremiah menepuk pundakku lembut. Yang mengejutkan adalah wangi Kenzo yang sangat khas melekat diingatanku. Parfume yang sama dengan yang selalu kuhirup aromanya saat aku bersama Teresia.

 “Ya?”

 “Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla”

 Entahlah apa yang ia bicarakan, aku sedang menikmati bibir tipis merah muda yang sedang bergerak-gerak menjelaskan sesuatu padaku, juga wangi Kenzo.

 “Oke. Lakukan.”
 “Oke Mr. G.”

 ***

 Aku bukannya tak tau lelaki itu tertarik padaku. Sejak pandangan pertama matanya menatap padaku, aku tau ia tertarik. Bagiku tak mudah menarik perhatiannya untuk selalu menatap padaku dan terpusat padaku. Aku harus tampil dan bergerak dengan cara yang memukau. Ia pun sebenarnya tak terlalu jelek. Aku tertarik pada ada bidang dan punggung yang sedikit melengkung itu. Juga rahangnya yang tegas dan alis mata yang rapi membingkai kaku sepasang mata elangnya.

Namanya Gerry. Dan sialnya ia sudah beristri. Dan tiba-tiba aku sudah bekerja disini. Duduk persis di hadapan lelaki ini, hanya tersekat sebuah kaca dua arah yang membedakan ruanganku dengan ruangannya. Tentu saja aku tau dirinya selalu memperhatikanku diam-diam. Mencuri-curi tatap ke arahku saat aku sedang memecah focus antara mengintainya diam-diam dan menyelesaikan apa yang semestinya kuselesaikan. Dan nampaknya aku terlibat dalam percintaan terlarang kembali jika permainan pura-puraku ini kuteruskan.

Aku mencari tau tentang Gerry. Aku tau istrinya sedang depresi, entah karena apa, yang aku tau hubungan pernikahan mereka sudah diujung tanduk. Persisnya, ini mempermudah jalanku untuk mengundangnya datang pada tawaran hatiku, toh dirinya pun sudah terjerat semakin dekat. Pernah kudengar dari beberapa teman, entah sekedar isu atau memang begitu adanya, Gerry sering menghabiskan malamnya di sebuah Klub Malam. Malam ini pembuktiannya.

“Mr. G, sudah melamunnya?” aku menyukai punggungnya yang dengan leluasa bisa kunikmati dari sini. 

“Ya?” Gerry terlonjak. Semakin terlonjak ketika mendapati aku berdiri di belakangnya. Aku hanya melengkungkan senyumku, menarik kursi disebelahnya menjelaskan apa yang tadi terlewat dalam lamunnya.

“Apa saya harus mengulang kembali? Well, nampaknya iya….bla..bla..bla” aku tau ia tidak menaruh focus penuh pada apa yang kukatakkan. Aku menggodanya dengan bibirku, dengan caraku berbicara. Dengan mataku yang menantang menatapnya.

 “Oke. Lakukan.”

 “Oke Mr. G.” Aku melenggang perlahan, keluar dari ruangannya. Meninggalkan sedikit pesonaku, membiarkan Gerry terusik dari apapun yang ia lamunkan tadi.

Kutinggalkan Gerry dalam kesibukannya petang tadi. Aku harus mempersiapkan diri dengan baik untuk clubbing malam ini.  Bisa saja aka nada perjamuan malam ini.

 ***

 Sial! Pekerjaan memang tak pernah mau menunggu. Dan seperti biasa, aku tertinggal bagai sebuah fosil yang satu- satunya mendiami tempat ini. Dalam gedung perkantoran ini. Sudah 2 jam yang lalu teman-teman meninggalkanku, yah, meninggalkan kantor ini tepatnya. Dua jam kulewatkan dengan tumpukan laporan dari beberapa bawahanku serta perangkap PC yang sedari tadi ku rodi untuk membantuku menyelesaikan tugas demi tugas. Pukul 9 malam. Pulang jam segini yang ada aku akan mendapati Teresia menangis meraug dalam kamarnya, lalu dia akan menyumpah serapahku. Entahlah, belakangan ini aku lebih memilih melewatkan malam hingga larut di sebuah Klub.

Aku selalu tersulut setiap kali Teresia mengajukan tuduhan-tuduhan tak beralasannya. Menurutnya aku telah lama berselingkuh dengan beberapa perempuan karena kekecewaanku padanya atas ketakmampuannya memberiku keturunan. Jikapun aku selingkuh, itu dikarenakan aku menyesalkan tuduhan-tuduhan kejamnya padaku, bukan karena ketidak berdayaan yang Tuhan berikan padanya. Kubereskan meja kerjaku, menuju parkiran di basement, melajukan mobilku, menghamburkan sebagian gajiku di klub malam. Disini, dimeja biasanya, tempat dimana aku dan beberapa teman biasa menghabiskan segalanya, hanya saja malam ini berbeda, aku sendirian, tanpa pilihan. Aku tidak berniat mabuk malam ini, karena itu hanya kupesan koktail biasa. Aku hanya ingin mencari tempat untuk melewatkan waktu hingga pukul 12 malam. Yah, setidaknya untuk dua setengah jam ke depan ‘lah.

 “Mr G..”

 Aku terkaget dengan sosok akrab yang belakangan ini sering kuamati diam-diam. Tidak menyangka dia akan ada disini, di tempat yang sama denganku malam ini. Jeremiah. Entah mengapa kemunculannya yang tiba-tiba dihadapanku dan penampilannya yang,…yang,…ah, entahlah, aku hanya bisa membatin, “Wow!” 

Terusan hitam yang melekat erat ditubuhnya, membalut hingga bagian sepertiga atas lututnya. Serta tatanan rambut yang diurai begitu saja seperti biasa, setelah sisir dengan jemari kebelakang. Wanginya bercampur dengan aroma beberapa perempuan disini. Pantas saja aku tak begitu mengenalinya dengan cepat.

 “Hei, Je. Dengan siapa?”

 “Suntuk Mr, sendiri saja.”

 “Come on, kamu tidak perlu memanggil begitu ketika atmosfir profesionalitas sudah berganti.

” Jeremiah tersenyum, entahlah, aku menangkap sedikit tingkah nakal, ah, bisa saja hanya persepsiku.

 “So, Gerry, dengan siapa km disini?”

 “Sendiri kebetulan. Berniat menghabiskan waktu bersama?” tanpa tedeng aling-aling, tentu saja bukan karena dibawah pengaruh alcohol, aku tidak mabuk tdntu saja, aku menawarkan untuk menghabiskan waktu bersama Jeremiah.

 Jeremiah menghempaskan diri ke sofa, persis disampingku, dekat sekali, kulit lengannya yang terbuka sempat bersinggungan dengan lengan kemejaku yang kusingkap sebatas siku. Ada sesuatu yang berdesir aneh. Ada yang berdegub menggedor dadaku kencang. Dan wajah kami semakin mendekat.

 ***

 “Aku harus pulang.”

 “Haruskah?”

 “Ya,…istriku pasti ketakutan di rumah. Maaf.”

 “Bisakah kita mengulanginya lagi?”

 “Entahlah. Tapi, maafkan aku. Aku yang membawamu pada kesalahan ini.”

 Ada yang tau rasanya menjadi sampah? Aku sedang mengalami ini kembali. Jeremiah, 27 tahun, tinggal sendiri, dan ketagihan menjalani hubungan terlarang. Naasnya!
15.28/26.04.12 Mendingin disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar