9.19.2012

Malam Penantian




Batang keenam. Janjinya dalam hati, di batang ketujuh, ia akan pergi walau harus mengemasi sakit hati dan menelan bulat-bulat pil pahit yang diramunya semenjak tadi di café kopi. Desperate sekali perempuan satu ini. Lelaki yang sudah semestinya menjadi suaminya itu tak pulang malam lalu, kemarin malam, dan roman-romannya akan begitu juga malam ini. Hatinya sedang hening tanpa tuan rumah. Lampu-lampu kasih padam tanpa saklar ajaib yang disentuh untuk sekedar menghidupi rasa dan hantaran getar gelora dalam dinding-dinding cintanya.

Masih di meja yang sama. Sebuah persegi kayu dengan salah satu kakinya yang timpang, membuat resah semakin kentara setiap kali ia menjatuhkan beban lewat tumpuan sikunya dimeja. Kaki-kakinya seakan turut menciptakan irama gelisahnya, menciptakan goncangan-goncangan halus berirama pada tubuhnya. Kopi masih setengah cangkir, tak diacuhkan. Kopinya masuk angin, kedinginan dalam wadah. Badannya lebih banyak lagi diterjang angin. Tak jauh di depannya sebuah AC terpampang jumawa. Dia bukannya tak tau badannya terlalu sensitive merespon dingin, hanya saja dia sedang lupa, teralihkan oleh sibuknya aktifitas untuk menanti seseorang.

Batang keenam sudah musnah. Dihujamkan keras-keras penuh tekanan puntungnya di atas asbak. Tak puas, bara-bara kecil yang mengharap terang oranye pun masih disundut-sundut oleh puntungnya yang makin bengkok. Sakit hati menyalar diujung jemarinya. Matanya gelisah, jauh lebih gelisah jari-jemarinya, antara mengerling ke bungkus rokok, dan mengetuk-ngetuk acak permukaan mejanya. Cangkir kopi akhirnya. Disesap hingga seperempat, asam-pahit tertinggal di langit-langit mulutnya. Jelas tak sepahit apa yang dicecapnya sejak malam lalu.

Mengulang gelisah. Meja makin bergerak naik turun seiring dengan gerak tumpuan sikunya. Kaki berayun makin acak. Rambut diselipkan kebelakang dua sisi telinganya. Indera dengarnya dipersiapkan tajam-tajam menangkap sekecil apapun kemungkinan yang dinantinya.

“Last order, kakak.” Seorang waiters menunduk sopan di hadapannya. Membuyarkan kegelisahannya sekejap. Menjadi sepersekian alaasannya untuk sempat gelagapan, antara kaget dan upaya keras untuk menahan terjunnya airmata.

“Secangkir lagi hot mandaeling.”

“Baik, kakak.”

Ia mendengus. Antara lega dan kesal, entah dominan yang mana.

Seperempat gelas terakhir dihabisinya dalam sekali angkat dan teguk. Mirip-mirip tukang becak, setengahnya lebih mirip janda desperate. Lagi, jemarinya mengetuk dengan irama yang lebih jelas diatas meja. Ia memiliki alasan menunggu lebih lama kini, secangkir lagi hot mandaeling yang dipesannya.

Pandangan matanya berpindah-pindah, antara meja, ketukan jemarinya, mengulas pandangan sejauh mata memandang, dan smart phone yang tergolek di samping kirinya. Makin ngenes menyadari, tak ada yang sedang memikirkannya, terlebih, tak ada yang mencarinya.

Ia merutuki dirinya dalam hati. Merutuki harapan-harapannya yang kian hari kian membumbung tak tau diri. Merutuki diri yang kian lama kian keras kepala meyakini sesuatu yang tak juga persis pasti. Merutuki mengapa harus lelaki ini yang berbuat begini padanya. Terakhir, merutuki diri sendiri. Kembali ke dalam, menyakiti diri lagi.

Mandaelingnya sudah mengambil posisi di hadapan. Asap tipis mengepul. Aroma yang selalu dirindukannya. Khusus malam ini, aroma ini kalah saing dengan aroma lain yang menguar dari tubuh seseorang yang belum juga beranjak pulang padanya.

Kerlip merah. Mengedip nakal dari smart phone-nya. Hatinya makin gelisah. Ia memejamkan mata. Memanjatkan doa dalam hati, meraung-raung pada Tuhan yang diyakininya dalam hati, meminta dengan histeris,

“Biarkan dia Tuhan. Biarkan dia. Berilah dia untukku.”

Pelan, ragu, diraihnya gadget yang makin lama makin murah itu.

“Aku mencarimu… Kau tak ada…dimana?”

Aneh. Ia tak merasakan apa-apa lagi. Sepertinya tiga malam penantian cukup membiusnya untuk matirasa. Tak ada lega, tak ada getar. Ia sempat akan mencari dan memanggil rasa, tapi sesuatu yang kuat dalam dirinya berkata “Tidak”.

Batang ketujuh saat ini. Mandaeling masih menguapkan sisa aroma dan asap tipisnya.

Ia beranjak dari duduknya. Duduk gelisah semenjak beberapa jam lalu. Batang ketujuh masih terselip di sudut kanan bibir merah tipisnya. Kepalanya sedang dipenuhi akan arah.
Arah menemukan rumah baru.  


  


Meja berbeda yang tak pernah kunikmati bersamamu
190912
di 22.50
"ada harga yang harus kau bayar pas.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar