12.20.2010

Love Au De Latte


Sepagi ini aku sudah menghabiskan seperempat jam pertamaku di teras samping dengan secangkir kopi, memandang langit biru, tersenyum-senyum, mengingatmu. Kamu membuatku selalu mampu mengingatmu, setiap katamu, setiap kalimatmu, caramu mengatakannya, caramu tertawa, dan caramu membisikkan sesuatu di dekat telingaku, sensasi menggelitik yang selalu kurindukan walau pasti kuhafal detil kronologisnya. Kamu seperti kopi ini, aku menyukaimu sama seperti aku memposisikan kopi dalam hidupku. Kamu adalah hitam pekat yang kadang manis kadang pahit, kental dan khas dengan irama yang selalu kuinginkan. Kamu! Hhhh, aku mengingat persis aromamu, seperti aku mengingat khas aroma kopi yg selalu kuminum ini. Aku tergila-gila pada cinta yang kamu tawarkan, sama persis dengan aku tergila-gila pada kopi di setiap decap yang kuteguk setelahnya. Kamu menggodaku, sama seperti kopi yang selalu menggoda lidahku untuk mencicipi tiap tetesnya yang tak pernah luput dari setiap tegukku.

Lalu, sebentuk benda putih ini, yg menemani setiap teguk kopiku. Membuat rasa dan aroma kopi semakin sempurna terekam dalam sensori lidahku. Sebatang rokok menthol yg selalu meninggalkan sensasi dingin segar di hidung dan kerongkonganku, sama seperti kamu, selalu meninggalkan kenangan manis yang menggoda untuk ku ulang-ulang dalam memoriku. Ah!! Aku benar-benar jatuh cinta padamu nampaknya. Dan posisimu kini setara dengan secangkir kopi dalam genggamku tiap pagi dan waktu-waktu lain.

Kamu tau, kopi adalah sumber inspirasiku! Dan rokok ini adalah drive dan power untuk jemariku bergerak gesit merangkai kata menyusun kalimat dalam laptopku. Lalu hupla!!! Terlahirlah suatu karya. Kamu juga begitu. Kamu sama seperti kopi dan rokok kesukaanku, kamu adalah sumber inspirasi dan nafas baru bagi setiap karya yang kulahirkan setelah mengingat segalanya yang terlewat bersamamu. Kamu selalu membuat aku memiliki alasan untuk menuangkanmu dalam ruang ingatku, memainkanmu dalam peran-peran di imaginasiku, memposisikanmu sebagai pemberi nyawa dalam tulisanku. Aku selalu kecanduan untuk menyatukanmu bersama sensasi kopi dan rokok menthol ini, memadukan segalanya menjadi satu untuk kulukis detil dalam ratusan kata yang bisa dibaca.

Perjamuan semalam, seperti apa kamu menilainya?

Aku mengingat jelas bagaimana rupamu saat aku membukakan pintu rumah untukmu, mengingat jelas seperti apa caramu menatapku dan melengkungkan senyum ,yang entah apa artinya, untukku. Bahkan untuk mengingat yang begini saja aku bisa melahirkan puluhan kata-kata untuk melukiskan berisik dan riuhnya gejolak dalam hatiku. Lalu setangkai mawar putih itu, yang tanpa tedeng aling-aling lantas kau sodorkan begitu saja padaku, sambil, aku tau, menahan kikukmu yang setengah mati kau sembunyikan dank au gantikan dengan dehem beratmu, ingin menyampaikan kesan gentle yang agaknya kurang tersampaikan di mataku. Lalu aku tersenyum menikmati pertunjukkan motorismu, perpaduan koordinasi antara reaksi fisikmu dan perintah otakmu yang sedang terkacaukan oleh rasa nervouse mu. Ha! Kena! Aku menikmatinya. Lalu setelah kamu masuk dan duduk di ruang tengahku, ruangan paling nyaman yang sengaja kutata untuk membantuku memperlancar munculnya insight. Ruangan paling hangat yang ku dominasi dengan paduan warna cokelat, caramel, dan putih. Lalu kita berbincang seperti biasa, kerjamu, kerjaku, aktivitas, tulisanku, dan banyak lagi. Makan malam bersamamu, membuat aku kurang mampu mengoptimalkan kerja indra perasaku, lidahku terlalu sibuk mengikuti kerja otakku yang melompat kesana-kemari mengikutin imaginasi-demi imaginasi yang bermunculan di kepalaku karena kamu.

Lalu kita sama-sama menikmati kopi di teras samping, memandang langit malam yang jauh dari bintang. Cuma ada bulan yang cukup kita sukuri sebagai objek pengalih berhatian beberapa saat, ketika kita sedang sama-sama mati gaya atau kehabisan topik lalu berusaha mencarinya. Lalu aku kehilangan ingatanku tentang kronologis itu, tiba-tiba saja ingatanku hilang dan menguat secara selektif pada suatu bagian dalam erjamuan semalam. Yang aku ingat adalah kepalaku bersandar dipundakmu, kita bicarakan masalah hati, dan tanganmu erat menggenggam tanganku, aku tenggelam dalam pelukmu. Yang aku ingat adalah, malam itu tiba-tiba posisimu selevel mengungguli secangkir kopi dan rokok mentholku, tapi tidak semenggairahkan seperti saat menuangkan rahasia bersamamu di atas keyboard. 

Malam tadi kamu membisikkan banyak kata. Terlalu banyak hingga hatiku menggembung sesak terpenuhi letupan-letupan emosi yang memancing rekahan senyum dan tawa bahagia. Kamu membuatku melupakan jam minum kopi dan menit merokok yang selama ini rutin kujalani. Kamu dan bisikan-bisikanmu membuat aku selalu ingin melompat menghampiri laptopku, menuangkan dan melukiskan segala rasa yang membuncah malam itu dalam ratusan kata-kata, berbaris-baris kalimat. Tapi hangat yang kamu tularkan untukku malam tadi telah melenakanku jauh terjatuh dalam nyaman yang benar-benar enggan untuk aku lewatkan.

Kamu membuat aku merasakan benar-benar memiliki duniaku sendiri dalam perjamuan semalam kita. Kita bicara soal hati, semakin dalam dan semakin sakral.

Dan pagi ini, aku terbangun disebelahmu, mendapati wajahmu sebagai pemandangan terindah yang bisa kunikmati puas-puas seketika setelah aku membuka mataku. Menikmati sosokmu dengan inderawiku yang berangsur memasuki keterjagaannya. Kita benar-benar menghabiskan malam dengan banyak cerita. Kamu membuatku memiliki banyak benih kata untuk kujalin satu sama lain.

“Selamat pagi,…”

“Hai, pagi… kopimu di meja tengah ya…”

Aku menunggu aka nada pertunjukan apa setelah ini… darimu tentu saja, dengan aku sebagai pemeran utama keduanya.


20.12.10 (02.10 pm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar