2.07.2012

God,..If Only

Aku tidak tau apa yang sedang dipermainkan waktu padaku, padamu, pada ini semua. Mula-mula aku sendiri ditemani waktu menjalani kisah sedihku. Waktu menemaniku ketika aku dalam masa penantianku. Waktu saksi yang melihatku dihempaskan lantang oleh sesuatu yang menyakitkan. Waktu juga yang memberikan aku hantaman telak yang membuat aku jatuh terjengkang. Waktu membuat aku berada pada masa dimana aku dicampakkan olehnya, sendirian, kesepian dan bertemu kamu. Waktu satu-satunya yang ada diantara kita. Diantara segala hal. Dan Tuhan memberikan kita banyak waktu yang tepat untuk saling mengenal, dekat, lekat dan saling jatuh cinta.

“Katakan kamu akan menikahiku.” Di tengah diam, diantara hangat pelukan, aku menuntutmu. Kamu menurunkan kepalamu, menatapku, tersenyum dalam anggukan.
“Katakan.”
“Iya.”
“Apa?”
“Aku akan menikahimu.”
“Kapan?”
“Ketika waktunya, entah kapan.”
Mencelos.
Hatiku kecut mendengarnya. Kata entah kapan-mu menyiratkan pesan mengerikan untukku. Pesan yang memiliki arti serupa dengan, “Bisakah aku hanya memacarimu? Apakah aku perlu menikahimu dan hidup selamanya bersamamu?”
Aku merunduk makin dalam. Bersembunyi dalam pelukanmu. Kalau bisa, aku memilih tak akan pernah keluar dari sana. Karena sesungguhnya aku pun tak pernah membutuhkan pernikahan jika kita bisa damai tinggal bersama dalam waktu yang lama. Sangat lama. Minimal sampai aku menutup mata untuk selamanya, lalu kamu boleh pergi kemana saja.
Apakah berdosa jika aku mencintaimu dengan takaran yang sedikit melebihi batasan? Aku hanya sedang kesulitan
mengatur segalanya yang berasal dari hati dan getaran saat aku bersama kamu. Aku hanya sedang merasa kecanduan dengan saat-saat bersama kamu.
Kamu tau bagaimana pesonanya candu kan? Kamu pernah tau atau sekedar melihat, mendengar atau apalah yang mengingatkanmu pada seorang pecandu yang merindukan candunya kan? Kurang lebih begitu yang kurasakan saat aku jauh darimu. Tak nyaman. Sangat tak nyaman. Kamu tau hal apa yang sangat ingin aku lakukan saat aku merasakan siksanya? Aku ingin berlari. Berlari menghampirimu, mencarimu, atau mungkin berlari dari tikaman-tikaman menyakitkan dari rindu. Yang mana saja, asal bisa membebaskanku dari sesaknya merindukan kamu.
Bisakah kita tinggal bersama?
Setidaknya jika kita tinggal bersama aku akan menjadi semakin jarang merindukan kamu. Sama artinya dengan aku akan jarang disiksa kangen yang semakin menjadi ketika aku tak bersama kamu. Setidaknya jika kita tinggal bersama aku akan lebih memiliki banyak waktu untuk kulewatkan bersama kamu di malam hari. Aku tak meminta 24 jam. Aku hanya mendambakan 18 jam saja. Bersama kamu. 18 jam di setiap harinya.
Sudah kubilang. Aku kecanduan kamu.

***

“Mungkin kita nggak usah menikah saja.” Aku memunggungimu. Menyakitkan sekali mengatakan itu sambil menatap mata teduhmu.
“Kenapa?”
“Terlalu banyak yang berbeda.”
Bagaimana bisa kita mengucap sumpah pernikahan yang sama, sedangkan caramu dan caraku memanggil Tuhan saja berbeda. Sedangkan arahmu dan arahku untuk memuja Tuhan saja berlainan. Sekali lagi waktu berperan dalam andilnya mempertemukanku dan kamu yang berbeda.
“Semuanya akan lebih mudah jika kita sama.”
Kamu melonggarkan pelukanmu, tak banyak, tapi sangat terasa. Kamu mencium puncak kepalaku, dalam. Aku memejam, menahan luka yang tergores entah disebelah mana. Di dalam sana tentu saja. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Apakah patut aku menyalahkan Tuhan? Apakah patut aku memperdosakan leluhurku, leluhurmu dan leluhur lain dalam keyakinannya memuja Tuhan? Apakah aku yang salah mencintaimu? Ataukah rasa kita yang salah jika saling bertautan? Atau justru sakit ini yang salah telah berhinggapan di hati-hati kita? Entahlah.
Aku tak tau. Semakin merasa tak tau.
“Apakah mencintaimu adalah dosa besar?” aku berputar, mengahadapmu lagi. Mencari jawaban lewat sepasang matamu. Kamu tenang, aku tau kamu sedang membohongi kasatku. Aku tau kamu juga menyimpan resah yang sama. Entahlah, lebih besar mungkin, atau gusarku lebih besar lagi. Tapi aku tak pernah benar-benar tau, apakah kamu resah jika tak lagi bisa atau tak lagi diijinkan untuk mencintai aku.
“Enggak sayang.” Kamu membelai lembut kepalaku. Mendaratkan sebuah kecupan lembut di keningku. Kamu tau, kecupanmu terasa begitu bimbang. Getarannya sampai padaku. Isyaratnya tertangkap oleh naluriku.
“Kamu pernah berpikir untuk menikahiku?”
“Ya, tentu saja.” Lebih mantap dan memang begitu.
“Kamu ingin hidup bersama aku?”
“Sangat”
“Kamu bahagia bersama aku?”
“Sangat bahagia sayang.”
“Tidak terlihat seperti itu.” Kamu diam. Menatapku. Lama. Aku tak bisa mendefinisikannya. Aku kehilangan kepekaanku membacamu. Atau…aku ingin membunuh mereka, kepekaanku untuk membaca segala isyarat tersiratmu. Aku mengutuknya.
“Aku mencintai kamu dan aku ingin hidup bersamamu juga.”
“Andai saja..”
“Ya, Andai saja..”

***

Apakah kita bukan orang baik, Tuhan?
Apakah kita adalah orang-orang yang salah telah bertemu dan saling jatuh cinta?
Apakah cinta yang Kau ciptakan bukanlah suatu anugerah bagi kita?
Apakah Kau tak mencintai kecintaan kami pada satu sama lain dan perdamaian antara kami?
Bukankah kau membenci permusuhan, Tuhan? Bukankah Kau mencintai perdamaian dan hangat berbagi?
Kami melakukannya Tuhan, dan semakin menghayatinya ketika kami bersama-sama. Semakin kami menyembahMu dan semakin kami mengagungkanMu, atas kemurahanMu dan kasih sayangMu yang telah mempertemukan kami.

Dengan cara kami masing-masing, kami menghadapMu, Tuhan. Kami memohon dengan cara kami masing-masing. Memohon kepadaMu untuk kebahagian kami, untuk meminta padaMu mempersatukan kami dalam cara terbaikMu, cara yang tak hanya membuat kami bahagia, tapi seluruh orang di sekitar kami.
Apakah kami salah memujaMu dengan cara yang berlainan, Tuhan?
Bisakah turun pada kami dan beri tahu kami, cara terbenarMu. Cara yang membuat semuanya terang dalam bertindak dan lurus dalam berjalan, ke arahMu.
Beri tau kami, Tuhan. Bagaimana melewati ini semua. Bagaimana kami tetap bisa bersama tanpa menyalahi apapun. Karna sungguh, Tuhan, sungguh demi Kau segala pemilik dan pencipta segala, kami tak pernah tau bagaimana melewati segalanya dengan baik-baik saja tanpa bantuanMu.
Apakah kami bukan orang baik Tuhan?
Apakah saling cinta diantara kami adalah dosa besar bagiMu, Tuhan? Karena sungguh, teramat menyakitkan saat dihadapkan pada jurang dengan tebing yang curam, dan kami terpisah diantaranya.
Kau pemilik segala bahagia dan seluruh rasa sakit yang ada Tuhan. Kau yang paling mengerti sakit yang paling menyiksa dan kebahagiaan yang paling kekal.
Harus dengan apa kami memohon padaMu?
Bolehkah aku memohon kebahagiaan untuknya dan untukku, Tuhan?
Bolehkah aku memohon sebuah kebahagiaan yang sama untuk kami dan orang-orang yang kami sayangi?
Ini sangat menyakitkan bagi kami, Tuhan. Karena sesungguhnya tak ada satupun dari kami yang ingin tersesat dalam memujaMu.
Tak Ada.

***

“Kamu tau sayang, hal yang paling menakutkan bagiku adalah saat kita harus berpisah dalam keadaan yang baik-baik saja. Karena tidak mudah membunuh segalanya dengan tangan yang sedang menggenggam cinta.” Aku berpaling kembali padamu, memelukmu dengan pelukan paling erat dan ketakutan yang teramat yang pernah ada. Andai kamu tau, andai kamu tau.

“Jikapun harus berakhir, aku ingin kita tetap mengenangnya dengan baik. Dan hingga detik ini, cinta di dalam sini tak berubah sedikitpun.” Kamu membalas pelukanku, sama erat dan sama risau dengan yang kuberikan. Kita sama-sama
sedang mebayar harga termahal dari perjanjian hati kita.
Kita diam. Hanya getaran hati masing-masing yang menyampaikan kalutnya lewat tatap, lewat pelukan, bulir air mata dan cinta yang terluka.
Tidak ada yang mengutuk Tuhan.
Tidak ada.
Kita masih memohon, pada Tuhan yang satu, Tuhan yang sama, dengan cara yang berbeda.






Kuselesaikan malam ini
310112/23:45
Dalam kalut kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar