10.23.2010

On the Way Go Home

Alasannya adalah karena kami merasa ini hal yang paling logis untuk sama-sama kami lakukan. Kekasihmu selalu memiliki rumah untuk cintanya pulang. Ia selalu mengingat jalan untuk kembali dan pulang. Karena dia suamiku. Logis untukmu dan suamiku, mengendap-endap menjalin suatu hubungan penuh dengan gejolak dan gairah asmara bersamamu, perempuan 5 tahun lebih muda dariku yang untuk beberapa bulan belakangan mampu menyita suamiku dalam beberapa jam di tiap minggunya. Logis karena kalian merasa perlu untuk saling berbagi dan menyalurkan entah apa yang pada akhirnya membuat kalian terlibat dalam suatu hubungan yang kalian namai sebagai hubungan atas nama cinta. Dan pula menjadi logis bagiku untuk tetap memasang topeng pura-puraku dengan dalih untuk menjaga kehidupan rumah tanggaku dengan suamiku, yang notabene adalah makhluk berjenis kelamin pria yang mampu menutupi status ke-abnormalanku.

Semuanya menjadi agak adil. Impas.

Kekasihmu player dan akupun player. Kamu yang paling kasihan. Jangan Tanya kenapa. Karena sekitar 2 atau 3 bulan lagi kamu akan mendapatinya seranjang dengan perempuan lain dan berlagak tak pernah menjamah -bahkan mengenalmu- dikehidupan sebelumnya.  Kami sama-sama menemukan tempat persembunyian paling aman untuk saling berteduh dan berlindung dari status yg dilabelkan masyarakat negara kita -yang konon terlalu kolot- dalam menamai dan mengklasifikasikan berbagai hal dan fenomena. Yang bisa saja mereka mengkategorikan kekasihmu -atau boleh juga suamiku- sebagai lelaki maniac  karena kegilaannya akan fantasi dan sensasi seksual yang selalu menjadi orientasinya dalam menjalin hubungan dengan perempuan manapun dan perempuan macam apapun. Atau mungkin juga mereka dapat mengklasifikasikanku dalam sekelompok manusia dengan label biseks karena mungkin life style-ku yang baru kusadari 4 tahun lalu bahwa aku juga tertarik secara seksual untuk berhubungan dengan sejenisku. Lalu pernikahan antara aku dan kekasihmu yang saling berbeda kelamin adalah suatu ide terbaik dan paling logis untuk kami.

Aku ijinkan kekasihmu mengenalmu dan beberapa perempuan lain untuk menyalurkan dorongan insting dasarnya, dan aku diijinkan untuk berbagi segalanya dengan manusia jenis manapun juga. So far,… ini hal yang saling menguntungkan untuk kami. Jangan katakan aku tidak mencintai kekasihmu yang ternyata adalah suamiku. Aku mencintainya, dia juga mencintaiku ku kira. Tapi hubungan kami yang didasari atas ketertarikan secara fisik, yang kemudian berlanjut pada serentetan kompromi-kompromi atas kekurangan dan mungkin kelainan –atau sebutlah life style- kami masing-masing, telah terjalin begitu kuatnya. Aku selalu ingin memilikinya, karena itu aku menjadikan diriku sebagai tempatnya untuk pulang dan berbagi. Dia suamiku, ada saat dimana kamu harus mengembalikannya pulang padaku. Karena perlu kamu tau, dia tak punya tempat pulang lain, selain padaku, kasihanilah jiwanya.

 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku menikahinya dengan alasan yang paling masuk akal yang masih bisa kuterima. Aku tertarik dan tergila-gila secara fisik olehnya. Aku tak bisa menipu naluri terdalam yang -masih- tersisa denyutnya dalam kewarasanku. Aku mencintainya, dan dia cukup mencintaiku ku kira. Lalu apa yang membuatku harus ragu-ragu untuk memilihnya sebagai jalanku pulang suatu ketika nanti? Lalu kami semakin dekat dan membagi segala hal. Berbagi pasangan dan ranjang. Tak masalah bagiku ke-kurang-normalannya. Karena aku juga bukan sosok yang mendekati sempurna yang selalu ada untuk membahagiakannya. Lalu kami menikah. Dia tetap bisa berganti pasangan entah lelaki atau perempuan sejenis dengannya, dan akupun masih bisa seenakku berganti perempuan macam apapun yang aku mau.
Pernikahan kami bukan atas dasar penyelamat status sosial kami sebagai manusia normal di mata masyarakat. Pernikahan kami didasari rasa keinginan saling melindungi. Kami sama-sama sakit dan perlu memiliki tempat pulang untuk berlindung dan berbagi. Dia tempatku pulang. Karena itu aku selalu kembali padanya. Kukira dia pun sama. Aku mencintainya, lebih dari perempuan manapun yang kumiliki, hanya sayang aku tak mampu membendung dorongan insting dasarku untuk melakukan sesuatu dengan sejumlah perempuan yang berbeda. Bukan. Ini bukan berarti aku main-main menyatakan bahwa aku mencintainya segenap hatiku. Karena sesungguhnya bagi kami, mencintai bukan hal yang membuat kami saling membatasi satu sama lain.

Konsep cinta kami berantakan.
_____________________________________________________________________________________________________________

Delapan bulan lalu adalah malam terakhirku dengan suamiku.

Apa kabar dengannya?

Selama 8 bulan ini kami hanya bertatap muka tak lebih dari jumlah jari dikedua tangan kami masing-masing. Aku mulai merasakan ketidaknyamanan yang tak kukenali disini. Aku mulai merasa jijik dengan tubuh perempuan yang selama ini paling kupuja keindahan segala lekuknya. Aku mulai merasa mual dengan segala desah rayu mesra sejenisku, entah kenapa ini menjadi tak semenarik saat sebelumnya.
Dua bulan terakhir aku menghentikan permainan favoritku dengan sejumlah kencan lawan jenisku. Tak lagi menyenangkan. Sensasi yang berbeda, aroma yang berbeda, hangat yang berbeda, aku merasa begitu berantakan dengan terlalu banyaknya variasi. Perubahan. Ah! Bikin mual!
Suamiku,… pulang.

_____________________________________________________________________________________________________________


Hanya sekitar Sembilan atau sepuluh kali kurasa. Ini membuatku merindukannya ternyata. Bahkan aku telah berhenti berpetualang sekitar kurang lebih 3 bulan terakhir ini. Pulang sekitar 2 atau 3 kali, bertemu sejenak tanpa aktifitas apapun bersamanya, lalu pergi lagi.
Ada rasa tak nyaman yang begitu besar saat menatap matanya yang selalu menyambutku dengan kesan “malam ini tidur dengan siapa” khas yang kurasa ingin dilisankannya untukku. Kata sahabatku ini rasa bersalah. Tapi bagiku, ini lebih pada pertanggung jawaban akan keputusan dan pilihanku untuk menikahinya.
Percayalah, aku sungguh tak ingin sekalipun membuatmu terlukan dan tersakiti.
Aku telah mengekang hasrat instingtif-ku selama kurang lebih 3 bulan ini, untukmu. Bukan karena aku menghindari penyakit, tepatnya aku menghandiri kamu tersakiti. Paling tidak, perbolehkan aku mencoba menjadi yang mendekati sempurna untuk melindungi kamu.
Sekarang aku ingin pulang,…padamu.

 ___________________________________________________________________________________________________________

“Aku pulang”
“Selamat datang”
Aku melangkah padamu, kamu menatapku, berbeda, sangat lain.
“Aku kalah olehmu, aku menyerah.”
“Aku juga kalah olehmu. Boleh kita ulang segalanya dari awal?”

_______
Room 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar